22

54 15 1
                                    

Sore harinya, Zhio melangkahkan kaki menuju lantai dasar untuk berkunjung ke kamar yang ditempati oleh Pak Edrick. Hari ini ia ketinggalan begitu banyak pelajaran fisika. Ia berniat mengejar ketertinggalannya.

"Tok tok tok" Zhio mengetuk pintu kamar tanpa nomor itu, hanya ada ukiran yang bentuknya sudah tak nampak.

Pintu terbuka saat Zhio mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu itu kembali. Dari balik pintu, muncul Pak Edrick tengah mengenakan kaos santai dan celana panjang. Rambut yang beruban itu terlihat masih basah. Zhio menerka bahwa gurunya itu baru saja selesai mandi.

"Masuklah, Zhio." Ucap Pak Edrick sembari membuka pintu lebih lebar.

Zhio mengangguk kemudian melangkahkan kakinya memasuki kamar gurunya yang berada di dalam asrama tersebut. Dengan ekor matanya, ia mengamati ruangan itu. Terlihat 2 kali lebih luas dari kamarnya yang dihuni 6 orang. Ada 2 sofa berhadapan yang diantaranya terdapat sebuah meja kayu. Di sisi lain ada dinding yang terdapat pintu, Zhio dapat pastikan bahwa itu kamar tidur Pak Edrick.

"Duduklah, Zhi." Pak Edrick mempersilahkan muridnya itu untuk duduk. Zhio mengiyakan kemudian mendudukkan dirinya di sofa itu sedangkan Pak Edrick melangkah menuju ke sisi lain ruangannya.

Pemuda itu mengalihkan pandangannya melihat tirai tebal berlukiskan kuda berzirah, tirai itu membentang menutupi dinding di sisi yang berlainan dengan kamar Pak Edrick.

Pria yang hampir setahun menjadi gurunya itu kembali sembari membawa 2 gelas minuman. Pak Edrick mendudukkan dirinya pada sofa yang bersebrangan dengan Zhio, menyodorkan segelas teh hitam.

"Terimakasih." Zhio menarik pegangan gelas itu mendekat ke arahnya, menyambut pemberian gurunya itu.

"Ingin mengejar pelajaranku?" Tanya Pak Edrick menyandarkan punggungnya pada sofa.

"Tentu." Zhio mengangguk, bersyukur gurunya paham maksud kedatangannya sehingga ia tak perlu banyak bicara lagi.

"Baiklah, mau langsung mulai atau kau mau bersantai dulu?" Tanya pria itu.

"Langsung mulai_" Pemuda itu menggantung kata-katanya.

"_kalau Anda tidak keberatan." Lanjutnya.

"Aku tidak akan merasa waktuku terganggu. Kalau kau mampu, sampai esok pagi pun tak masalah buatku." Pak Edrick menaikkan salah satu sudut bibirnya, menyeringai.

"Kita lihat saja." Zhio mendengus. Pemuda itu mulai melihat sisi 'hangat' seorang Edrick Lochato.

Zhio membuka buku pelajarannya, membaca materi disana dan Pak Edrick mejabarkannya.

"Hei, Zhio. Sudah waktunya makan malam dan kau sama sekali belum menyentuh teh buatanku." Pak Edrick menginterupsi Zhio yang sedang berkutat dengan rumus-rumus di atas bukunya.

Zhio menegakkan kepalanya, mengedarkan pandangan ke jendela yang tirainya belum ditutup.

"Hn, benar juga." Zhio kemudian agak menggeser bukunya. Menggambil segelas teh hitam yang sudah dingin. Menyesapnya.

Pak Edrick mengamati Zhio yang mengerutkan kening ketika meminum sajian darinya.

"Apa ada yang aneh, Zhi?" Tanya Pak Edrick.

"Tidak. Hanya saja, aku baru kali ini merasakan teh hitam yang seperti ini." Jawab pemuda itu setelah menghabiskan tehnya. Sebenarnya bukan hanya itu, Zhio merasakan ada yang berbeda dengan tubuhnya, seperti lebih ringan. Mungkin karena Pak Edrick memasukkan herbal di dalamnya.

"Jadi kau mau makan malam bersamaku disini?" Tanya Pak Edrick lagi.

"Hn. Ku pikir, masakan gedung lampion membosankan." Zhio mengiyakan.

Kali ini Pak Edrick tersenyum tipis. Keduanya menyiapkan makan malam di dapur. Zhio memanggang roti sedangkan Pak Edrick memasak potongan daging ayam bersama brokoli dan wortel yang dipotong dadu. Zhio juga membuat ramen sesuai dengan yang diminta Pak Edrick.

Makanan telah terhidang di meja tempat mereka tadi mengulang pelajaran fisika.

"Aku tak terlalu pandai memadukan makanan yang cocok. Ku pikir roti isi tak mengenyangkan dalam waktu lama." Ucapnya sembari mengambil sumpit, lalu menyantap ramennya diikuti Zhio.


Tanpa terasa sudah hampir dini hari, mereka melanjutkan pembelajaran 10 menit setelah makan malam. Zhio merasakan matanya sudah berair. Diam-diam Pak Edrick mengamati Zhio lewat ekor matanya. Pemuda itu masih saja gigih menggerakkan penanya di atas kertas dengan cepat.

"Kupikir sudah waktunya istirahat, Zhio." Pak Edrick berujar setelah sebelumnya berdehem.

Zhio menatap beberapa lembar kertas yang sudah penuh dengan coretan rumus-rumus di atasnya. "Hn. Baiklah. Aku akan pulang."

"Aku tak keberatan jika kau manginap disini, ada kamar rekanku dulu yang sudah tak terpakai." Tawar Pak Edrick. "Sudah terlalu larut untuk berkeliaran meski di dalam asrama. Kita tidak akan tahu kalau bisa jadi ada siluman yang menunggu santapan." Lanjut pria itu setengah bercanda.

"Hn, baiklah. Tapi dengan aku menerima tawaran ini. Bukan berarti aku percaya apa yang barusan Anda katakan." Zhio mengalihkan pandangannya dari Pak Edrick yang menatapnya sambil menyeringai.

Pria itu kemudian berjalan menuju dinding yang ditutupi tirai lebar berlukiskan kuda berzirah, kemudian menyingkap tirai yang cukup tebal tersebut. Nampaklah pintu kayu yang tertutup.

Zhio agak melebarkan matanya. Pak Edrick menarik sesuatu dari balik kerah bajunya, Zhio mendapati gurunya itu mengeluarkan sebuah kunci untuk membuka pintu kamar yang sebelumnya dihuni rekan Pak Edrick dulu.

"Tidurlah di dalam, Zhi. Tenang saja, aku masih rutin membersihkannya." Pak Edrick bergeser setelah membuka pintu, membiarkan Zhio masuk.

"Terimakasih." Ucap Zhio. Pak Edrick hanya bergumam pelan kemudian bergegas ke kamarnya sendiri.

Zhio menutup pintu kamar yang akan ia tempati malam ini, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Mengamati kamar itu. Ranjang dengan kasur juga bantal serba putih. Di dekat kepala ranjang ada meja kecil yang bersih. Tak satupun barang ada di atasnya.

Zhio besiap tidur, sebelumnya ia mencari saklar. Pemuda itu terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Ia menuju dinding dekat lemari, saat hendak menekan saklar. Matanya yang sudah berat itu menangkap selembar kertas tetselip di belakang lemari. Tangannya tergerak untuk mengambil kertas tersebut. Rupanya sebuah foto.

Zhio mengibaskan foto itu sembari menutup hidungnya dengan salah satu lengannya. Pemuda itu berlanjut meniup permukaan foto, membersihkan sisa debu yang menyelimuti foto itu kemudian mengamatinya. Tergambar ada 7 orang disana, 3 wanita dan 4 pria. Salah satunya adalah Pak Edrick yang terlihat beberapa tahun lebih muda. Zhio menggeser pandangannya, matanya mengenal wajah wanita di samping Pak Edrick. Wanita itu adalah Dokter Eri, ia hampir melewatkannya.

Setidaknya hanya 2 orang dalam foto itu yang dikenalnya. Sekali lagi ia mengamati selembar foto yang ada di tangannya. Ia merasa familiar dengan wanita di samping Dokter Eri. Ia mencoba mengingat baik-baik orang-orang yang pernah ia temui sebelumnya. Tapi rupanya Zhio tak berhasil mengingatnya. Pemuda itu menghela napas. Tangannya kembali tergerak untuk memasukkan foto itu ke dalam tasnya. Ia kemudian membaringkan tubuhnya, memejamkan mata yang sedari tadi sudah terlalu berat untuk ditopang.






Bersambung.....

What ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang