5

145 48 0
                                    

Ash terdiam agak lama di depan pintu kamar bertuliskan angka 107, kamar Miss Ayrla. Ia sudah mengetuk pintu beberapa kali, namun penghuni kamar itu tak kunjung membukakan pintunya. Mungkinkah Miss Ayrla sudah tidur?

"Ash." Sebuah suara membuatnya menoleh, sosok yang ia tunggu sejak tadi berdiri tak jauh darinya. Rupanya Miss Ayrla baru saja pulang dari perpustakaan.

"Miss baru pulang? Saya ada agar-agar. Teman saya tadi membuat terlalu banyak. Jadi saya ingin membaginya dengan Anda juga." Ash menyodorkan piring berisikan potongan agar-agar kepada Miss Ayrla, membuat penjaga perpustakaan itu tersenyum tipis.

"Terimakasih, Ash. Mungkin kamu mau mampir dulu?" Tanya Miss Ayrla sambil menerima sepiring agar-agar itu.

"Lain kali saja, Miss. Sudah malam. Anda butuh istirahat." Kata Ash sambil berjalan meninggalkan Miss Ayrla setelah sebelumnya menganggukkan kepala, mengisyaratkan pamit, undur diri.

Miss Ayrla menatap punggung Ash yang semakin menjauh, cukup lama sampai siswi itu benar-benar menghilang di belokan koridor asrama. Pandangannya beralih pada sepiring agar-agar ditangannya, senyuman terukir di wajah ayunya. Ia kemudian mengeluarkan kunci dari saku blazer, membuka pintu kamar dan masuk. Benar kata Ash, ia butuh istirahat. Hari ini terasa lebih melelahkan dari hari-hari biasanya.

♠♠♠

Jam pelajaran pertama kelas X MIPA 1 hari ini adalah pelajaran olahraga. Kini mereka telah berbaris di lapangan. Dihadapan mereka berdiri seorang guru paruh baya bertubuh jangkung. Pak Ade berdiri dengan mata menyipit, menyorot Azko yang tidak mengenakan kaos seragam olahraga.

"Kau, dimana kaosmu?!" Tanya guru itu dengan penekanan di setiap kata. Matanya menatap Azko tajam hingga yang ditatap meneguk ludah.

"Masih di penjahit, Pak. Kaosnya kebesaran." Azko tak tak berani menatap gurunya itu.

"Saya tidak peduli apapun alasannya! Pokoknya, siapapun yang tidak mengenakan kaos seragam olahraga ketika pelajaran akan dihukum!" Tukas Pak Ade.

"Sekarang, kamu lari keliling lapangan 10 kali! Membantah, hukuman 2x lipat. Cepat lakukan!" Lanjut Pak Ade menyeru, Azko tanpa berkata-kata mengikuti perintah gurunya itu dengan wajah lesu. Beberapa murid lainnya meneguk ludah, sesekali melirik teman di samping kanan kirinya takut-takut.

"Sekarang kita lanjut materi." Suara serak Pak Ade kembali terdengar. Pelajaran dimulai, sedangkan Azko masih menjalani hukuman mengelilingi lapangan sepak bola Bryan Larimar yang tak bisa dibilang sempit.

3 jam pelajaran berlalu.

Murid kelas X MIPA 1 menghembuskan nafas lega. Menjalani 135 menit bersama Pak Ade terasa sangat lama, belum lagi suasana pembelajaran terasa mencekam. Bagi mereka, guru-guru di SMA Bryan Larimar memiliki kepribadian yang aneh, sedikit sekali yang sikapnya bersahabat kepada para murid. Entah karena mereka belum mengenal sosok guru mereka yang sebenarnya, atau memang benar faktanya begitu. Tak ada yang tahu, lebih tepatnya belum.

Pulang sekolah, Ash kembali ke perpustakaan. Kini selain Miss Ayrla, ada seorang gadis yang dihadapannya tergeletak sebuah buku tulis yang terbuka, menampakkan beberapa sketsa disana.

Ash melewati gadis itu menuju meja Miss Ayrla sambil mengeluarkan buku yang kemarin dipinjamnya, hari ini mungkin ia akan meminjam buku yang lain.

Ia melewati jajaran rak buku di perpustakaan. Tiba pada rak ketiga, matanya tertuju pada sebuah novel bergenre fantasi. Sebenarnya ia kurang menyukai genre itu, namun sampul novel itu mampu menarik perhatiannya. Ash kemudian mengambil novel itu dan kembali menuju meja Miss Ayrla. Setelah pendataan selesai, hari ini Ash memutuskan untuk langsung pulang menuju asrama. Namun rupanya, tubuhnya tidak bekerja selaras dengan pikirannya. Ketika melewati satu-satunya siswi selain dirinya yang ada di perpustakaan, Ash kembali melihat buku tulis di hadapan siswi itu yang masih sama seperti yang ia lihat ketika memasuki ruangan ini, membuat Ash tiba-tiba menghampiri siswi itu yang sedang memainkan pensil dengan jari-jemarinya.

"Wah, gambaranmu bagus." Ash menyapa membuat gadis itu agak berjingkat dari duduknya.

"Ah, terimakasih." Gadis itu menunduk dalam, sambil meremas ujung rok lipit selututnya.

"Aku Ash. Siapa namamu?" Tanya Ash.

"Chelsi." Jawab gadis itu singkat.

"Ash?" Chelsi kembali membuka suara setelah hening beberapa saat. Ash menoleh sambil tersenyum.

"Apa kau suka menggambar?" Tanya Chelsi.

"Bisa dibilang begitu." Jawab Ash apa adanya.

"Baiklah, aku akan menggambar untukmu dan kau boleh menggambar untukku." Kata Chelsi. Ash mengangguk setuju.

Tapi bukan sketsa atau gambaran yang Chelsi buat, melainkan tulisan.

'Apa aku boleh bercerita? Tapi kau harus menjawab pertanyaanku seolah kau sedang membantuku menggambar.'

Chelsi menunjukkan tulisannya sambil menatap Ash penuh harap. Ash mengangguk dengan raut keheranan membuat Chelsi berbinar.

'Aku sedang diancam.'

Chelsi kembali menggoreskan pensilnya. Ash terbelalak melihatnya.

"Siapa yang mengajarimu?" Tanya Ash.

'Friska, teman sekamarku' Chelsi dengan cekatan menggoreakan pensilnya di permukaan buku tulis.

"Ayahku juga senang mengambar. Beliau sesekali mengajakku menggambar bersamanya ketika hari libur." Katanya menanggapi pertanyaan Ash.

Chelsi kembali menggoreskan pensilnya, agak lama.

'Kemarin aku mengetahui rencananya untuk membunuh Tasya, teman sekamarku dan dia mengetahuinya. Aku tidak tau apa motifnya, tapi kemudian dia memasang penyadap suara di tubuhku dan mengancam akan membunuhku juga apabila aku membocorkan rahasianya.'

"Aku agak kesulitan pada bagian ini." Kata Chelsi.

"Aku akan membantumu. Atau kau juga bisa menghubungi guru seni." Kata Ash agak memberikan penekanan pada kata 'guru'.

Chelsi menggeleng "Itu tak mungkin kulakukan."

"Besok aku akan bertanya pada guru seni. Kita punya hobi yang sama. Bolehkah aku minta sesobek kertas? Aku akan menggambar untukmu." Tanpa persetujuan Chelsi, Ash langsung menyobek 3 lembar kertas yang tertera tulisan Chelsi. Ash manggambar sketsa wajah di buku tulis Chelsi yang masih utuh.

Chelsi agak heran dengan perbuatan Ash. Ash melipat sobekan kertas itu kemudian memasukkanya ke saku blazer. Ash tahu, Chelsi akan berada dalam bahaya apabila Friska menemukan kertas itu.

Masih dengan buku tulis dan pensil tercecer di atas meja. Seorang gadis menghampiri keduanya.

"Chelsi, yang lain mencarimu." Kata gadis itu. Suaranya terlampau datar.

"Ah, Friska!"

'Deg!' Ash mengamati sosok gadis di depannya.

"Aku akan ke asrama bersama kalian." Ash tersenyum kepada Friska yang malah mengacuhkannya. Sedangkan Chelsi masih dengan senyum lebarnya.

'Syukurlah kalau Chelsi mudah menyembunyikan apa yang barusan terjadi.' Ash berkata dalam hati.

Mereka bertiga kembali ke asrama setelah sebelumnya Ash berpamitan kepada Miss Ayrla.

Chelsi dan Friska sampai lebih dulu di depan kamarnya, kamar no 330. Sedangkan kamar Ash beberapa langkah lagi.

"Aku duluan, Ash. Sampai jumpa." Ucap Chelsi sebelum menyusul Friska memasuki kamar. Ash hanya tersenyum tipis.

Sosok Friska memang misterius, sikapnya dingin dan cenderung tidak bersahabat. Ia tak habis pikir. Bagaimana mungkin murid tahun ajaran baru sudah segila itu? Seakan-akan membunuh adalah hal yang ringan. Persiapannya juga sudah matang, sampai membawa penyadap suara yang entah bagaimana didapat?











Bersambung.......

What ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang