13

142 40 3
                                    

Ruangan rapat sudah penuh dengan para dokter dan beberapa ilmuwan. Direktur terlihat duduk di kursi utama berseberangan dengan tempat duduk presdir yang berjarak 5 meter, tengah tersenyum menatap Dokter An yang baru saja memasuki ruangan. Setelah bersitatap sejenak, Dokter An menempatkan diri dengan pikiran yang masih berkecamuk. Antara masih ragu atas keputusan yang diambilnya.

Setelah semua tempat duduk penuh, dan menandakan semua undangan rapat telah hadir, direktur memulai rapatnya. Ia melakukan pembukaan dengan sangat santun dan dengan cepat langsung mengarah pada inti pembahasan. Cara bicaranya benar-benar meyakinkan. Yang dibicarakan direktur intinya masih sama dengan yang dibicarakan bersama Dokter An kemarin. Hanya saja, pembahasan pada rapat kali ini hanya terfokus pada pembentukan tim pengembangan obat baru. Sebagian besar peserta rapat mengangguk-anggukkan kepala, dari gelagatnya mereka nampak menyatakan dukungannya dalam hal itu.

Rapat berakhir. Dengan persetujuan sebagian besar peserta rapat dan keputusan final yang diambil oleh presdir, tim pengembangan obat baru akan dibentuk nanti siang, secepatnya harus diselesaikan.

Dokter An memutuskan untuk pergi ke laboratorium, menuju tempat monyet percobaan mereka disana. Ia juga menghidupkan layar komputer, melihat perkembangan obat pada objek disana.

"Bagaimana perkembangannya, Dokter?" Tanya direktur.

"Impuls saraf mereka bekerja lebih baik, susunan otaknya pun menjadi normal. Kita hanya perlu menambahkan antibodi, efek samping dari obat ini membuat imun pasien nanti jadi lebih rendah, mengingat obat ini bisa dibilang keras." Dokter An menjelaskan tentang skema otak di layar komputernya.

"Luar biasa! Efek sampingnya masih bisa ditangani. Tidak seburuk seperti dugaan-dugaan kita sebelumnya." Direktur berdecak, langkah awal proyek ini bisa dikatakan sukses. Tinggal menerapkannya kepada manusia maka sukses sudah gerbang pembukaan.

"Mungkin besok kita bisa mengujinya kepada pasien. Hanya saja, aku ragu jika Erla adalah yang dijadikan bahan percobaan disini. Kalau gagal, dia bisa lebih parah dari sebelumnya." Dokter An terlihat khawatir.

"Anda seringkali pesimis, Dokter. Hanya Erla yang dari segala segi mendukung, pasien yang lain terlalu ringkih. Aku malah takut jika pesimismu itu benar maka akan membunuh mereka." Direktur memberikan pendapat.

"Kita sudah lihat, obatnya bekerja sesuai harapan. Sistem otak mengalami perbaikan. Ini sudah cukup untuk meyakinkan bahwa proyek kita mendekati berhasil." Lanjut direktur.

Dokter An manarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dan mengagukkan kepalanya. Ia akan mengambil keputusan.

"Baiklah, Direktur. Aku rasa, operasi akan dilakukan besok pagi." Dokter An berkata mantap.

Direktur kemudian mengangguk dan tersenyum lebar. Keduanya berjabat tangan.

Direktur menuju ke bangsal anak-anak, beberapa bocah berumur 5 sampai 15 tahun kemudian mendekatinya. Sayangnya, mereka bukan seperti anak-anak pada umumnya. Di usia sedini ini, mereka sudah merasakan beban hidup. Keterbelakangan mental, fisik yang tak sempurna, berbagai penyakit yang bisa membunuh nyawa mereka kapan saja.

Seorang berkepala 'teleng' tanpa tangan kanan menyapa direktur dengan senyum lebarnya, direktur menepuk pucuk kepala bocah itu pelan kemudian duduk di salah satu kursi dalam bangsal.

"Besok teman kalian akan ada yang menjalani operasi. Doakan lancar ya, anak-anak. Kalau operasinya sukses, kalian akan bisa menjadi lebih pintar." Kata direktur. Beberapa anak yang agak mengerti kalimat direktur langsung memejamkan mata dengan kedua tangan diletakkan di depan dada, seolah berdoa.

"Dokter, apa aku bisa punya tangan?" Tanya seorang bocah lelaki berusia sekitar 7 tahun. Direktur menatapnya miris.

"Dokter, aku juga ingin punya kepala yang bagus." Kata anak berkepala 'teleng'.

"Andai aku bisa melihat."

"Kalian enak, bisa berjalan bebas."

Ini adalah pemandangan yang sudah biasa nampak di matanya, namun rasa iba terus saja semakin menjadi-jadi. Belum lagi tatapan polos tanpa dosa mereka membuat sesuatu di balik dadanya berdenyut, perih.

Direktur kemudian merogoh saku jas dokternya, mengeluarkan beberapa permen coklat disana. Anak-anak itu menyambutnya girang.

Selama ini, sosok anak-anak seperti mereka selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang di luar sana. Bahkan orang tua mereka sendiri pun tak merasa peduli, beberapa ada yang dengan sengaja membuang anaknya dengan alasan mereka tak mampu berbuat apa-apa, hanya menyusahkan orang normal lainnya.

Pandangan direktur beralih pada seorang bocah yang terus menerus mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebelum ia berada di bangsal ini, anak itu sempat mendapat tindakan kekerasan oleh orang tua dan saudara-saudaranya. Hal tersebut membuat anak itu trauma, hampir sepenuhnya menjadi gila. Memori pahit yang ada di otaknya membuatnya sering melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Hari itu, para dokter menggunakannya untuk percobaan pertama penghapusan memori pada otak, dan berhasil. Anak itu terlihat lebih baik sekarang.

"Anak-anak yang malang. Suatu saat nanti, orang-orang diluar sana tak akan bisa meremehkanmu lagi." Gumamnya lirih.

Tiba-tiba ponsel pada sakunya bergetar, layar ponselnya menunjukkan bahwa ada pesan masuk. Ternyata salah satu ilmuwan datang berkunjung.

Direktur kemudian pamit kepada anak-anak di bangsal dan menemui tamu kehormatan sekaligus kawan lamanya.

Di ruang kerjanya, direktur mendapati seorang pria menggunakan kemeja rapi berwarna biru dan celana bahan berwarna hitam. Pria itu merentangkan tangannya. Direktur tertawa, kemudian balas melakukan hal yang sama. Keduanya berpelukan singkat.

"Wah wah. Aku dengar kau sedang ada proyek sosial." Pria itu membuka pembicaraan.

"Ya begitulah, Tomy. Sedikit melakukan percobaan medis untuk menemukan obat baru." Direktur menimpali kemudian beranjak mendekati dispenser di sudut ruangannya, menyeduh kopi untuk mereka berdua.

"Wah, kalau begitu tim medismu bisa mendapat apresiasi dari pemerintah. Lagipula, sekarang banyak lembaga penelitian yang sedang bersaing dalam berbagai kasus. Mereka melakukan hal yang bisa dibilang, gila."

"Kau benar, mengingat beberapa kasusnya sendiri kini juga semakin menggila. Kondisi manusia semakin hari semakin menghawatirkan."

"Termasuk suasana pemerintahan yang sedang memanas. Demonstrasi terjadi dimana-mana. Perang bisa kembali meletus kapan saja."

Ruangan hening sejenak.

"Aku hanya sedang memikirkan sesuatu. Andai tidak ada manusia yang cacat." Direktur berkata lirih sambil menatap kosong secangkir kopi di hadapannya.

Perkataan itu membuat Tomy menaikkan sebelah alisnya.

"Dan aku berinisiatif mewujudkannya." Lanjut direktur kemudian.










Bersambung....

A/N
Yo, Minna. Sepertinya baru sekali ini saya menyapa readers tercinta seperti kalian. Maklum, author agak gimana ya.... gak biasa berkata-kata manis sih :v Gimana ceritanya? Saya sendiri juga bingung sebenarnya, ini cerita kok bisa nyamber kesini. Hehe. Maaf kalo topiknya gaje. Toh, pada dasarnya saya ini cuma pelajar SMK bau kencur yang biasanya cuma ngotak-atik jeroan komputer, ehh malah bikin cerita tentang kedokteran. Kan ga nyambung bgt yak? :v Duh malah curhat.
Oke, Nantikan part berikutnya ya! Setiap part saya 'usahakan' semaksimal mungkin kok(sebatas kemampuan maksudnya). Jangan lupa vote n comment, kritik pedas juga boleh. Sampai ketemu di next part.
Salam cinta dari Roh, jangan baper :v

What ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang