9

130 44 7
                                    

Pulang sekolah, seluruh murid kelas 10 masih berada di kelasnya masing- masing dengan 2 orang pengurus OSIS di setiap kelasnya. Hari ini adalah pemilihan kegiatan ekstrakulikuler peminatan. Kegiatan ekskul tidak dibatasi, dalam artian, semua bebas menentukan jumlah ekskul yang akan diikuti.

Di mejanya, Ash memainkan bolpen di tangan kanannya setelah mengisikan identitas dalam blangko kosong tersebut. Matanya terfokus pada dua lembar kertas di hadapannya, berpikir ekskul mana saja yang akan ia pilih. Tak lama kemudian tangannya tergerak untuk menorehkan tanda ceklist dalam lingkaran depan nama ekskul tersebut. Ash memilih ekskul beladiri, musik, PMR, dan jurnalistik. Total ekskul yang diikutinya menjadi 5 dengan ekskul wajib kepanduan.

"Ah, aku tak menyangka kau mau ikut PMR." Celetuk Zhio yang baru saja melirik formulir di tangan Ash dengan senyum meremehkan.

"Bukan urusanmu 'kan?" Ash bertanya sinis.

"Yang ada, nanti pasienmu mati ditangani oleh orang kasar sepertimu." Zhio berkata seenaknya.

"Hei, kau tidak tahu apa-apa tentang diriku ya." Ash semakin kesal. Zhio hanya mengedikkan bahu.

Setelah semuanya selesai, mereka kemudian mengumpulkan formulir itu kepada kedua pengurus OSIS yang bertugas.

"Besok kalian langsung berkumpul di tempat pelaksanaan ekskul masing-masing. Waktu dan tempat sudah tertera di lembar pemberitahuan yang kami berikan bersama formulir tadi. Mohon di cermati. Ada pertanyaan?" Kata pengurus OSIS itu, tapi seisi kelas bungkam.

"Baiklah, kalau tidak ada kami akan undur diri dan kalian bisa pulang. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih, Sampai berjumpa kembali." Lanjut pengurus OSIS yang satunya setelah dirasa tidak ada yang bertanya.

Murid-murid langsung berhamburan kembali ke asrama begitu pengurus OSIS di kelas mereka tadi keluar.

"Kalian ikut ekskul apa saja?" Tanya Luhan kepada penghuni kamar 333 lainnya.

"Aku hanya ikut Tari." Tara menjawab lebih dulu. Gadis anggun sepertinya memang pantas menjadi seorang penari ditambah fisiknya yang mendukung.

"Aku ikut PMR." Sambung Fani.

"Voli dan musik." Dwita menimpali.

"Beladiri dan fotografi" Mita menambahkan.

"Beladiri, musik, PMR, jurnalistik." Kata Ash yang langsung membuat kelima temannya serentak menatap dirinya dengan tatapan yang berbeda-beda.

"Kau yakin?" Tanya Tara.

"Tentu, memang ada apa?" Tanya Ash tak mengerti.

"Kau yakin tak kelelahan?" Tanya Fani.

"Aku rasa tidak. Masing-masing ekskul yang aku pilih punya jadwal di hari yang berbeda." Ash menjelaskan.

"Memang kau ikut ekskul apa, Luhan?" Lanjut Ash bertanya kepada Luhan.

"Aku ikut basket dan musik." Kata Luhan kemudian. Kelima gadis lainnya mengangguk-anggukkan kepala.

Mereka kembali ke asrama, setelah membersihkan diri, penghuni kamar nomor 333 duduk di atas karpet plastik bergambarkan animasi doraemon. Kini, mereka sedang mengerjakan tugas Matematika. Dwita, Luhan, dan Ash cukup mumpuni dalam materi pelajaran yang dipandang menakutkan oleh sebagian besar anak sekolah.

15 soal telah selesai dalam waktu 20 menit. Itu adalah PR pertama mereka dalam mata pelajaran matematika. Kemudian mereka beralih pada tugas biologi, sebisa mungkin semua tugas hari ini diselesaikan secepatnya agar tidak menumpuk. Saking asyiknya, tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 8 malam.

"Udah dulu, ayo makan malam." Luhan mengomando. Yang lain mengiyakan, perut mereka memang sudah keroncongan.

Setelah membereskan buku dan alat tulis masing-masing, mereka kemudian berjalan menuju gedung lampion. Beberapa penghuni kamar lain juga terlihat di koridor asrama. Gedung lampion sudah ramai oleh para murid.

Seperti biasa, setelah mengantri dan mendapatkan menu malam ini. Mereka menempatkan diri di bangku dekat pagar pembatas. Lonceng dibunyikan dan mereka mulai makan.

"Setelah ini, ke supermarket dulu yuk. Persediaan camilanku sudah menipis." Celetuk Fani tiba-tiba.

"Kau makanan terus yang dipikirin." Luhan menimpali.

"Tak apa lah, aku juga mau beli kopi." Ash menyahut.

"Ya sudah aku ikut." Kata Dwita disertai anggukan yang lain.

"Luhan, kau ikut saja. Jangan sampai kau diculik psikopat karena ke asrama sendiri." Perkataan Ash membuat penghuni kamar nomor 333 bergidik ngeri, terlebih Luhan yang merasa bulu kuduknya sudah berdiri.

"Jangan membuatku takut, Ash." Luhan memukul pelan bahu Ash.

"Fakta, toh kita bahkan tidak tahu kalau-kalau ada psikopat yang mendengar perbincangan kita." Ash melanjutkan.

Lagi-lagi penghuni kamar nomor333 terhipnotis oleh perkataan Ash. Mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling.

'Aku mendengarnya'

"Uhukk!" Ash tersedak, Tara buru-buru menyodorkan segelas air putih. Ash merasa hidungnya perih sekarang.

'Hei santai saja. Aku tak akan membunuhmu.' Terdengar sebuah suara di antara kebisingan. Ash mengedarkan pandangannya. Tubuhnya menegang sekarang. Kalau sudah dua kali mendengar suara yang tidak jelas asal-usulnya begini, sudah jelas bahwa ia tidak berhalusinasi.

'Tak perlu mencariku.' Suara itu terdengar lagi.

"Kau kenapa, Ash?" Tanya Mita melihat gelagat aneh Ash.

"Kalian dengar suara laki-laki bicara? Maksudku... dia menimbrung obrolan kita." Ash menatap kelima temannya yang dibalas tatapan aneh.

"Tidak ada orang lain selain kita berenam yang berbicara disini." Dwita menimpali yang lainnya mengangguk sedangkan Ash memijit pelipisnya pelan.

'Hanya kau yang bisa mendengar suaraku.' Suara itu terdengar lagi.

Ash menatap kelima temannya yang masih asik dengan santapan masing-masing. Suara itu benar, hanya Ash yang mendengarnya. Seketika tubuhnya merinding, seumur hidup ia tak pernah percaya hantu. Itu adalah hal astral yang terjadi di luar nalar. Hantu hanyalah mahluk yang tercipta oleh halusinasi sendiri. Lalu, darimana asal suara ini? Ini menjadi misteri tersendiri.

Lampu-lampu berwarna kuning menyinari kegiatan yang sedang berlangsung di gedung lampion. Malam hari adalah kesempatan berlama-lama di tempat ini. Ash sendiri memilih berdiam diri menatap jauh ke arah Alun-alun Bryan Larimar, sedangkan teman-temannya yang lain asik dalam perbincangan yang Ash sendiri sama sekali tidak memperhatikan. Kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang tak tersampaikan. Sudah kesekian kalinya ia menatap pemandangan yang sama. Pagar tembok setinggi 7 meter, gapura asrama yang megah, pohon-pohon besar yang rimbun, dan sedikit pendar cahaya lampu yang berasal dari pabrik-pabrik di sekitar kawasan Bryan Larimar ketika malam.

Ash sama sekali tak menyadari bahwa ada seseorang tengah memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan. Sama seperti Ash, sosok itu pun juga mengabaikan topik perbincangan teman-temannya. Memilih berdiam diri mengamati gadis yang berjarak 5 meter darinya.










Bersambung.....

What ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang