"Om, tante." Sapa Mira sambil masuk ke dalam ruangannya Vivi.
Vino tersenyum ke arah Mira, ia berjalan menghampiri Mira lalu menepuk pundak Mira dengan pelan. "Makasih, ya. Kamu emang berani."
Mira tertawa kecil, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gapapa, om."
"Mamahmu ada, Mir?" Tanya Shani.
Mira menunjuk bagian administrasi dengan tangan kanannya, "Lagi ngurus administrasi."
Shani menganggukkan kepalanya, ia menyentuh tangan Vino sebentar kemudian berjalan keluar menghampiri mamahnya Mira. Vino menatap wajah Mira yang babak belur dan tangan kiri yang tergantung di leher, keadaan Mira tidak jauh berbeda dengan Vivi, tapi Mira terlihat jauh lebih ceria daripada Vivi.
"Pah, aku mau ngomong berdua sama Mira." Ucap Vivi dengan nada datar.
Vino mengangguk sekali, ia menepuk pundak Mira lalu berjalan keluar, tidak lupa menutup pintu ruangan Vivi. Ia memberikan privasi kepada Vivi dan Mira, sembari menunggu Vivi dan Mira selesai berbicara, alangkah baiknya ia menemui Chika yang masih menjalani rontgen.
Mira duduk di kursi samping ranjangnya Vivi, "Gue seneng lo udah sadar."
Vivi memalingkan wajahnya ke samping, "Kenapa lo datang?"
Mira mengerutkan keningnya bingung, "Dateng kesini?"
"Ke rumahnya Gita."
"Oh, buat nyelametin elo lah."
"Kenapa?"
Mira menaikkan satu alisnya ke atas, "Kenapa? Lo masih tanya kenapa?"
"Iya!" Bentak Vivi, ia menatap ke arah Mira dengan raut wajah kecewa. "Kenapa lo nyelametin gue?"
"Lo temen gue."
Vivi menggelengkan kepalanya, "Gak, jangan sebut kata temen."
Mira benar-benar dibuat bingung oleh Vivi, ia mengorbankan seluruh tubuhnya bahkan tangan kirinya hanya untuk menolong dan memastikan Vivi masih hidup. Tapi kenapa malah Vivi terlihat tidak suka?
"Tangan gue lumpuh." Lirih Vivi sambil menatap tangan kanannya, sesaat ia menoleh ke arah Mira. "Kalo lo gak dateng kemarin, lo gak bakal babak belur, tangan lo gak bakal patah."
Mira mengepalkan tangan kanannya, ia menatap tajam Vivi. "Lo pikir gue bakal diem aja liat lo diculik? Lo pikir gue seneng liat lo mati? Hah? Gue lebih rela kehilangan tangan gue daripada kehilangan elo."
Mira menggeleng pelan, kepalanya menunduk dengan tangan yang berada di wajahnya. Ia meringis mencoba menahan tangisannya yang akan pecah saat membayangkan kalau Vivi benar-benar pergi.
"Lo pengen tahu alasan gue pergi?" Tanya Vivi.
Mira mengangkat kepalanya, "Karena lo brengsek?"
"Karena Gita bener, gue cuma beban buat orang-orang disekitar gue. Bokap gue pergi bukan karena gue mirip sama nyokap gue, tapi karena gue itu beban. Gue selalu nyusahin elo, Ara, Chika, bu Melody, tante Veranda, semuanya."
Vivi menatap Mira, ia tersenyum tipis dengan air mata yang sudah menetes, "Gue pecundang, Mir."
"Gak. Itu cuma bualannya Gita." Tegas Mira.
"Tujuan gue cuma pengen tahu alesan kenapa bokap gue ninggalin gue dulu, tapi sekarang gue udah tahu alesannya. Jadi buat apa gue tinggal lebih lama lagi? Gue penyakitan, Mir. Orang penyakitan itu selalu nyusahin orang lain."
Mira menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tangannya menyentuh tangan Vivi yang lumpuh. "Gak, itu gak bener."
"Gue cuma gak mau jadi beban orang lain. Gue gak mau orang lain susah gara-gara gue. Gue gak mau elo terluka cuma karena nyelametin gue." Ucap Vivi sambil menatap ke langit-langit ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
Teen FictionBagaimana jadinya seseorang dengan sebutan si Nona Peringkat 150 harus tinggal dibawah atap yang sama dengan seseorang yang peringkat 3? Ayo kita cari tahu sama-sama.