Pagi hari ini semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, kabar tentang kematian mamahnya Mira membuat guncangan kepada mereka semua terutama Mira, tentu saja Mira yang paling terguncang karena yang meninggal itu mamahnya. Tapi ada satu hal yang membuat semuanya bingung dan terus menerka-nerka, mamahnya Mira meninggal dengan cara menggantung di kamarnya Mira.
“Kita dapet tiket jam 8 pagi.” Ucap Chika yang berdiri di depan pintu.
Vivi menegakkan tubuhnya, “Sampe Jakarta jam berapa?”
“Sekitar jam 10 di sini dan itu artinya jam 16 di Jakarta.” Gumam Chika, ia menatap ke arah Vivi, “sekitar jam 4 sore.”
Vivi mengangukkan kepalanya, ia meraih ponselnya yang masih terhubung dengan papahnya, “Kita kira-kira sampe jam 4 sore, pemakamannya nunggu kita pulang bisa, kan?”
“Nanti papah urus, kamu siap-siap aja.”
“Oke, pah.”
Chika berjalan masuk ke dalam kamar, ia menarik laci meja dan mengambil kunci kamar hotel dan paspor miliknya dan milik Vivi, “Aku mau ngurus hotel sama pesawatnya, kamu bantu Ara sama Mira.”
Vivi menahan tangan Chika, ia menatap Chika dari atas sampai bawah, “Gak mau ganti dulu gitu? Celanamu kependekan.”
Chika menundukkan kepalanya, benar ucapannya Vivi, ia hanya mengenakan kaos pendek dan celana pendek saja. Ia terlalu pusing harus melakukan ini dan melakukan itu sampai ia tidak memperhatikan penampilannya.
“Aku pergi dulu, kalo udah selesai aku langsung kesini.” Chika mengecup bibir Vivi sekilas lalu berlari keluar dari kamar itu setelah mengganti pakaiannya dengan sedikit lebih tertutup.
Vivi tertawa kecil, ia menggeleng-gelengkan kepalanya menyadari tingkah Chika yang sangat lucu. Beruntung sekali dirinya bisa mendapatkan Chika, dan bonusnya semalam mereka sudah mandi bersama. Ia merasa malu kalau mengingat kejadian kemarin, bagaimana dirinya saat mengajak Chika mandi bersama dan bagaimana saat mereka berada di dalam satu bath up, bagaimana tangannya yang menjelajah setiap inci kulitnya Chika, dan bagaimana---
Vivi menepuk keningnya pelan, “Astaga, mamahnya Mira meninggal, gue malah mikir yang enggak-enggak.”
Vivi segera memasukkan pakaiannya dan pakaiannya Chika ke dalam koper dengan cepat, ia tidak bisa berlama-lama dengan melipat pakaiannya itu satu persatu, ia harus memaksa supaya koper itu bisa tertutup dengan rapat. Satu masalah utama saat berlibur adalah kapasitas koper yang tiba-tiba mengecil saat hendak pulang, padahal yang dimasukkan ke dalam koper itu baju yang sama, pakaian yang sama.
“Oke, semuanya udah beres.” Gumam Vivi, ia meraih ponselnya lalu berlari keluar dari kamarnya menuju kamarnya Mira dan Ara.
Vivi melihat Ara dan Mira yang masih memasukkan pakaian ke dalam koper masing-masing. Gerakannya Mira sangat lambat dan Mira harus melipat satu persatu pakaian lalu dimasukkan ke dalam koper, tidak jarang sesekali Mira menangis. Ah, kalau begini bisa-bisa mereka semua ketinggalan pesawat.
“Biar gue aja.” Vivi menarik tangan Mira agar duduk di tepi kasur, ia menepuk pundak Mira, “Lo di sini aja.”
Vivi mengambil semua pakaiannya Mira dari dalam lemari lalu ia letakkan di dalam kopernya Mira begitu saja. Ia menutup kopernya Mira sambil merapikan pakaian yang keluar dari kopernya Mira. Ara hanya menatap bingung ke arah Vivi yang mengemas pakaian ke dalam koper dengan cara yang sedikit bar-bar.
Vivi menatap Ara, “Bantuin nekan kopernya, malah liatin doang.”
Ara mengerjap sekali, ia menekan permukaan koper itu dengan kedua tangannya, “Lagian baru kali ini gue liat ada orang yang ngemas pakaian pake cara gini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
Teen FictionBagaimana jadinya seseorang dengan sebutan si Nona Peringkat 150 harus tinggal dibawah atap yang sama dengan seseorang yang peringkat 3? Ayo kita cari tahu sama-sama.