Plak!
"Aw." Vivi memegangi pipi kirinya yang terasa perih dengan bekas warna merah di pipinya itu. "Sakit, Mir."
Mira menatap tajam ke arah Vivi, rasanya satu tamparan itu belum cukup untuk Vivi, ia ingin sekali menghajar Vivi dengan tangan kanannya sendiri.
"Otak lo dipake dimana sih?" Ketus Mira sambil menunjuk pelipis Vivi berulang kali.
Vivi menempelkan tisu di bawah hidungnya yang masih mengeluarkan darah, "Gue cuma mimisan, bukan kena serangan jantung. Jangan lebay deh."
Mira menghela napas panjang, ia menggaruk keningnya kasar. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Vivi yang selalu saja bertindak sendirian. Ia tahu kalau itu hanya mimisan dan mungkin tidak akan berpengaruh besar pada sebagian besar, tapi tidak bagi Vivi yang juga menderita sakit jantung dan paru-paru.
"Paling bentar lagi berhenti." Gumam Vivi.
Mira menarik turun tangan Vivi yang memegang tisu, ia melihat darah yang masih keluar dari hidungnya Vivi. "Gue telfon nyokap lo."
"Eh jangan." Vivi menahan tangan Mira yang hendak mengeluarkan ponsel, ia menggelengkan kepalanya. "Nyokap gue panikan, ntar malah dia yang kena serangan jantung."
Mira berdecak sebal, ia tadi ditelfon oleh Gita yang mengatakan kalau Vivi mimisan dan sekarang berada di UKS. Karena kebetulan ia sudah selesai mengerjakan ujian jadi ia langsung segera menuju ke UKS dan mendapati Vivi duduk sambil menempelkan tisu di bawah hidung.
"Sekali aja, Drun. Pikirin diri lo sendiri. Sekali aja." Ucap Mira sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas.
"Gue gapapa, Mir." Vivi memberikan tisunya kepada Mira, "Tolong ambilin tisu lagi dong."
Mira membuang tisu bekas mimisan Vivi ke dalam tong sampah, ia mengambil satu kotak tisu dan ia berikan kepada Vivi. "10 menit gak berhenti, gue telfon nyokap lo."
"Bokap gue aja gimana?" Tawar Vivi.
"Gue gak punya nomernya bokap lo."
Vivi menurunkan tangannya, ia mengambil ponselnya lalu ia berikan kepada Mira. "Telfon bokap gue."
"Oke." Mira menerima ponsel itu, ia mencari kontak nama papahnya Vivi dan langsung menekan tombol telfon saat itu juga.
"Jangan sekarang ju--"
"--Halo."
Mira tersenyum miring, ia mundur ke belakang beberapa langkah, "Halo om, aku Mira, Vivi dari tadi mimisan tapi gak berhenti-berhenti."
"Sampe sekarang?"
"Iya, om."
"Yaudah, om ke sekolah sekarang."
"Iya, om." Mira tersenyum penuh kemenangan ia memberikan ponsel itu kepada Vivi.
Vivi berdecak sebal, ia merebut ponselnya dari tangan Mira. "Bokap gue itu pejabat negara, pasti dia sibuk."
"Kata siapa? Waktu rapat aja banyak kursi yang kosong."
"Itu bukan kursi bokap gue."
"Ada baiknya bokap lo tahu dan bawa lo ke rumah sakit, kalo ada sesuatu kan bisa langsung ditangani." Mira menarik tisu dari hidungnya Vivi, ia tersenyum melihat hidungnya Vivi tidak lagi mengeluarkan darah.
Vivi mengambil tisu lagi, ia menempelkan tisu ke bawah hidungnya. "Tadi gue bawa Gita ke panti asuhan."
"Kenapa?"
"Sengaja." Vivi mengangkat bahunya acuh tak acuh, "Dia orang baik, anak-anak juga gampang akrab sama dia."
"Gita hampir bunuh elo sama gue." Ucap Mira yang mengingatkan Vivi tentang kejadian beberapa hari yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
Teen FictionBagaimana jadinya seseorang dengan sebutan si Nona Peringkat 150 harus tinggal dibawah atap yang sama dengan seseorang yang peringkat 3? Ayo kita cari tahu sama-sama.