Vivi berjalan menuruni tangga, ia melintas di depan Chika yang sedang duduk di sofa depan tivi tanpa mengucapkan apa-apa. Vivi membuka pintu kulkas, matanya langsung berbinar saat mendapati berbagai macam es krim di dalam kulkasnya.
"Ini udah malem, gak baik makan es krim malem-malem."
Vivi menoleh ke belakang, "Udah malem? Perasaan masih siang deh."
Shani berjalan menghampiri Vivi, ia menutup pintu kulkas sebelum Vivi dapat mengambil es krim. "Kamu dua hari diem di kamar terus, gak pernah keluar."
"Aku tadi dateng ke persidangan jadi saksi." Ucap Vivi.
Shani membuka lemari, ia mengambil satu bungkus roti dan ia berikan kepada Vivi. "Jangan makan es krim."
"Roti sama es krim enak, mah."
"Kalo kamu makan es krim, trus adekmu liat, nanti mereka minta es krim juga. Lagian sekarang udah jam 9 malem, mending sekarang kamu tidur."
Vivi membuka bungkus roti, "Aku baru aja bangun tidur, mah."
Shani menghela napas panjang, ia mengibaskan tangannya dan berjalan menuju kamarnya, "Yaudah terserah kamu mau ngapain, mamah mau tidur."
"Selamat malam, mah." Vivi melucuti bungkus roti dan ia taruh di atas meja. Ia keluar dari dapur dan menghampiri Chika yang masih asik menonton tivi sendirian.
Vivi duduk di samping Chika, ia membaringkan tubuhnya di atas sofa dan menjadikan paha Chika sebagai bantalannya. Ia ikut menonton tivi sambil memakan roti itu.
Chika menundukkan kepalanya, ia melihat Vivi yang asik makan sambil tiduran. Tangannya terangkat dan menyingkirkan anak rambut Vivi yang menutupi wajahnya Vivi. Ia membelai pipi Vivi dengan lembut, menyalurkan kasih sayang melalui jari tangannya.
Selama dua hari Vivi mengunci diri di kamar dan tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam kamar, bahkan Chika sekalipun tidak diperbolehkan masuk ke kamarnya. Vivi hanya keluar waktu tengah malam karena lapar setelah itu kembali ke kamar sampai tengah malam berikutnya. Baru hari ini Vivi keluar siang hari untuk mengikuti sidangnya Sinka dan Dhea, walaupun tidak sampai selesai.
"Chik," panggil Vivi.
"Hn."
Vivi memutar tubuhnya menjadi menghadap Chika, "Dio sama Dhea, kan, kembar?"
"Iya."
"Pernah kepikiran gak kalo nanti anak kita juga kembar?"
Chika terdiam, ia memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Baru saja Vivi menyebut 'anak kita', ya, Vivi dengan jelas dan lantang mengatakan 'anak kita' bukan 'anakku' tapi 'anak kita'.
"E-emang bisa?"
Vivi mengangguk, ia menggigit rotinya, "Bisa. Aku pernah tanya sama dokterku."
Vivi tidak berbohong, saat di Berlin kemarin, ia sempat bertanya dengan dokter yang menyembuhkan penyakitnya. Ia pikir hal seperti itu sangat mustahil untuk diciptakan, ternyata ia salah, ada beberapa orang yang sudah berhasil melakukan itu dan mungkin ini kesempatan mereka berdua.
"Kita nikah dulu, bikin anak, punya anak." Ucap Vivi santai.
Darah Chika langsung berdesir cepat. Vivi yang mengucapkan hal itu saja terlihat biasa-biasa, tapi dirinya yang tidak bisa biasa. Mendadak ia merasakan panas menyelimuti tubuhnya, padahal di luar sedang turun hujan.
Vivi meletakkan sisa rotinya di atas meja, ia mengambil ponselnya Chika. "Kamu pengen nikah di mana? Jepang? Korea? Australia? Amerika? Italia? Spanyol? Atau malah Berlin? Trus mau indoor atau outdoor? Roti pernikahannya kayak gimana? Siapa aja yang diundang? Gaun pengantinnya gimana? Oh ya, trus kita honeymoon di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
Teen FictionBagaimana jadinya seseorang dengan sebutan si Nona Peringkat 150 harus tinggal dibawah atap yang sama dengan seseorang yang peringkat 3? Ayo kita cari tahu sama-sama.