"Flor, inget, kalo ada sesuatu langsung kabari gue." Ucap Vivi sambil membuka pintu mobil.
Flora mengangguk, ia mengangkat tangan kanannya ke atas, "Pasti, kak."
Vivi menghela napas panjang, ia kembali menutup pintu mobil dan menatap ke arah Flora. "Gue gak tega ninggalin lo sendiri."
"Lah kenapa?" Tanya Flora sambil tertawa. "Kak, gue udah gede. Sering naik pesawat sendirian juga. Tenang aja lah, kak."
"Janji kalo ada apa-apa langsung kasih tahu gue." Ucap Vivi dan lagi-lagi membuka pintu mobil.
Flora mengibaskan tangannya ke atas dan mengusir Vivi, "Iya-iya, udah sana pergi."
Vivi turun dari mobil, ia menatap Flora untuk terakhir kalinya sebelum pintu itu ia tutup. "Janji kalo ada apa-apa, kasih tahu gue."
"Iye-iye." Flora menarik pintu dan menutupnya dengan keras.
Vivi menatap mobilnya Flora yang berjalan pergi meninggalkan dirinya sendirian di rumahnya. Ia memutar tubuhnya menjadi menghadap rumahnya yang sekarang tampak sedikit berbeda. Rumahnya terlihat lebih besar dan lebih luas, mungkin karena terlalu banyak manusia yang hidup di rumah itu jadi papahnya harus memperbesar kapasitas rumah itu.
Perlu waktu dua minggu untuk sampai akhirnya ia bisa berdiri di depan gerbang rumahnya. Sekarang jam 8 malam, sesi makan malam bersama pasti sudah lewat dan mungkin anggota keluarganya sudah berada di kamar masing-masing.
Sebenernya tidak butuh waktu lama bagi dirinya untuk kembali pulang ke Indonesia, tapi karena dirinya seorang dosen di Universitas di Berlin, jadi ada beberapa hal yang harus ia urus sebelum benar-benar meninggalkan Berlin. Ia juga mengikuti upacara kepergian Professor yang diadakan kampusnya. Ada banyak agenda yang harus ia datangi sebelum akhirnya semuanya benar-benar sudah selesai.
Vivi hanya membawa tas kecil saja, semua barang-barang miliknya ia kirim menggunakan paket dan mungkin besok pagi barang-barangnya sampai di Jakarta. Ia hanya membawa laptop, dompet, dan kotak peninggalan Professor saja.
Vivi melangkahkan kakinya masuk ke dalam gerbang, ia melihat pak Slamet hendak mengunci pintu gerbang. "Malem, pak Slamet."
"Eh," pak Slamet terlihat terkejut saat mendapati Vivi menyapanya setelah 9 tahun tidak ada kabarnya. "Non, apa kabar?"
Vivi tersenyum kecil, "Baik, pak."
"Alhamdulillah, akhirnya non pulang juga." Ucap pak Slamet dengan raut wajah bahagia.
Vivi terkekeh pelan, ia menggerakkan kepalanya ke depan, "Aku masuk dulu, ya, pak."
"Iya, non."
Vivi terus berjalan, ia memicingkan matanya saat melihat seseorang menggunakan daster dan sedang berjongkok di samping taman. Sepertinya itu bibi barunya dan mungkin sedang mengambil sesuatu, terlihat bibi itu memegang pisau dan sedang mencoba memotong tumbuhan yang ada di taman itu.
"Malem, bi." Sapa Vivi sambil terus berjalan menuju pintu depan rumahnya.
Vivi menekan bel pintu sekali, ia mundur ke belakang dan bersiap memberikan sebuah senyuman hangat kepada siapapun yang membuka pintu untuk dirinya. Ia menebak jika Christy yang akan membuka pintu itu dan Christy akan terkejut melihat dirinya pulang.
Pintu itu terbuka dan muncullah anak kecil setinggi pinggangnya Vivi dan terlihat bingung dengan kedatangan Vivi. Mungkin lebih tepatnya anak kecil itu tidak tahu siapa perempuan yang berdiri di depannya ini.
"Siapa?" Tanya anak kecil itu.
Vivi memicingkan matanya, "Kamu yang siapa?"
Anak kecil itu menunjuk dirinya sendiri, "Aku anaknya mamah papah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
Teen FictionBagaimana jadinya seseorang dengan sebutan si Nona Peringkat 150 harus tinggal dibawah atap yang sama dengan seseorang yang peringkat 3? Ayo kita cari tahu sama-sama.