9 tahun kemudian....
"Why is it so cold today?" Keluh Vivi, ia merapatkan jaketnya, ia melihat tangannya yang terasa sangat dingin karena tidak mengenakan sarung tangan.
Seorang laki-laki paruh baya yang duduk di depannya hanya tertawa sampai ada asap putih keluar dari mulut laki-laki tua itu. "It's winter, stupid."
"I really miss my old town." Vivi meraih kopi panas lalu menyeruputnya supaya tubuhnya kembali terasa hangat.
"9 years?" Vivi hanya menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari laki-laki tua itu.
9 tahun, Vivi tinggal jauh dari kota kelahirannya, jauh dari teman-temannya, jauh dari keluarganya, jauh dari orang yang dulu pernah ia cintai.
Vivi menerima tawaran dari seseorang yang tidak ia kenal untuk mencari ilmu di negeri orang, negera Jerman, tepatnya di Berlin. Lagipula ia tidak punya masa depan jika terus tinggal di Jakarta dan harus berhadapan dengan seseorang yang mencampakkannya.
Beberapa kali ia mengirimi balasan pesan singkat atau menjawab telfon orang tuanya, karena ia belum pernah kembali pulang ke Indonesia sejak 9 tahun yang lalu. Ia selalu beralasan kalau dirinya sangat sibuk karena harus melakukan ini dan itu, sehingga tidak bisa pulang, padahal sebenarnya ia cukup memiliki waktu yang luang untuk sekadar pulang kampung.
Christy sekarang sudah berumur 16 tahun, baru naik ke kelas 2 SMA. Shani juga melahirkan dua orang anak yang sekarang berusia 8 tahun dan 5 tahun. Vivi sempat membayangkan bagaimana keadaan rumah, pasti sekarang rumahnya yang besar itu sangat ramai dan hangat.
Ah, Vivi merindukan rumahnya.
Ada satu hal yang membuat ia tidak ingin kembali ke rumah itu karena ia tidak mau melihat wajahnya Chika. Rasa sakit yang diberikan Chika, masih terasa sampai saat ini. Alasan itu lah yang mendasarinya untuk tidak pulang ke rumah dan memilih untuk menetap di Berlin.
Vivi menoleh ke samping, ia tersenyum melihat salju yang terus turun memenuhi kota Berlin sejak dua hari yang lalu. Ia mencintai kota Berlin melebihi apapun.
"Your turn." Ucap laki-laki tua itu.
Vivi menatap kotak papan di atas meja yang berwarna hitam putih seperti papan catur. Ia menggerakkan sebuah benda berbentuk seperti koin warna hitam miring ke kanan. Semenjak tinggal di Berlin, ia selalu bermain dam bersama laki-laki tua di depannya ini.
Profesor Alley Schneider, itulah nama laki-laki tua itu. Vivi sering memanggilnya hanya dengan panggilan Prof saja atau terkadang memanggil dengan panggilan lengkap saat ingin meminta bantuan.
"Oh, i really wanna be like you, sir." Ucap Vivi sambil menatap Professor.
"And i wanna you to be better."
Vivi menopang dagunya di atas meja, "You're the best, Professor."
"You're gonna lose, sweetie." Ucap Profesor Alley Schneider.
Vivi memicingkan matanya, "Aku tidak pernah bisa mengalahkanmu, Prof."
Profesor tertawa kecil, membenarkan posisi kupluk di atas kepalanya lalu menggerakkan pion warna hitam. "Kamu tidak pernah serius."
"It's just a game." Vivi menyentuh papan hitam putih itu lalu menatap Profesor dengan kesal. "Kenapa aku harus serius dalam bermain?"
Profesor melihat layar ponsel Vivi yang menyala, ia tersenyum ke arah Vivi. "Jadi hubunganmu dengan semua orang juga sebuah permainan?"
"Hah?"
"Tell me, young lady. Apakah kamu pernah serius dalam menjalin sebuah hubungan?"
Vivi sedikit kelabakan dengan pertanyaan Profesor yang terlalu mendadak. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena ia juga merasa kalau tidak pernah serius dalam berhubungan dengan siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
Teen FictionBagaimana jadinya seseorang dengan sebutan si Nona Peringkat 150 harus tinggal dibawah atap yang sama dengan seseorang yang peringkat 3? Ayo kita cari tahu sama-sama.