Dududududu...
Vivi bersenandung kecil sambil mengancingkan seragamnya dengan satu tangan di depan cermin panjang. Terlihat raut yang sangat gembira di wajahnya, seolah ia hendak pergi ke suatu tempat yang sangat menyenangkan dan bertemu dengan idolanya.
Chika menatap malas ke arah Vivi, sedari tadi Vivi melakukan sesuatu di depannya seperti Vivi sedang mencoba untuk mempamerkan sesuatu kepada dirinya.
"Sekolah tinggal sekolah aja, kayak gak pernah sekolah. Heboh sendiri." Ketus Chika.
Vivi tersenyum miring, ia memutar tubuhnya lalu berpose di depan Chika. "Iri? Bilang bos."
Chika memicingkan matanya, "Lo sengaja pamer, kan?"
"Dih, pede sekali anda." Vivi kembali menatap di cermin, ia menghela napas panjang saat melihat ia salah mengancingkan seragamnya. "Ya ampun, ulang lagi."
Chika menegakkan tubuhnya, "Sini gue bantu."
Tanpa banyak membuat waktu Vivi langsung menghampiri Chika dan membiarkan Chika membenarkan seragamnya, sementara itu ia sibuk mengatur rambutnya. Ia tahu kalau kedatangannya akan membuat dunia sekolah gonjang-ganjing, jadi sebaiknya ia terlihat enak dipandang.
"Pake ini emang gak ganggu?" Tanya Chika sambil menyentuh holter monitor yang berada di pinggang kanan Vivi.
Vivi menggeleng, ia mendekatkan kepalanya dan berbisik, "Gue gak ada niat buat ngerjain ujian."
"PAPA---" Vivi langsung membekap mulut Chika yang tiba-tiba berteriak memanggil papah.
"Diem, ah elah." Keluh Vivi sambil tetap membekap mulut Chika.
Chika melepas tangan Vivi dari depan mulutnya, ia menaikkan satu alisnya, "Lu cuma cari-cari alesan bisa bisa ke sekolah, kan?"
"Kata siapa? Gue mau ikut ujian." Vivi memicingkan matanya menatap Chika. "Lu iri karena gak bisa jalan, kan?"
Vivi tersenyum miring, ia berjalan mundur ke belakang kemudian menghentak-hentakan kedua kakinya ke lantai, ia juga mulai berjoget-joget ria seolah mengatakan kalau cacat tangan itu lebih baik daripada cacat kaki.
Chika melipat kedua tangannya ke depan dada, "Dapet karma baru tahu rasa."
Vivi membelakangi Chika, ia menggerakkan pantatnya di depan Chika. "Iri? Bilang bos."
"Vivi!!" Chika mengambil bantal dan ia lemparkan ke arah Vivi.
Vivi bergerak ke samping kanan, ia menatap Chika lalu menjulurkan lidahnya, "Weee, gak kena."
Chika mengepalkan kedua tangannya, ia kembali mengambil bantal dan melempar ke arah Vivi. Tapi lagi-lagi Vivi menghindar dan semakin gencar mengejek dirinya yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Vivi tertawa terbahak-bahak melihat Chika yang mencoba menahan amarah dan menatap tajam ke arahnya, kalau bola mata Chika ada senjata laser, sudah pasti Vivi mati karena tatapannya Chika.
"Gak bisa gerak. Gak bisa gerak. Gak bisa gerak." Ucap Vivi sambil terus menggerakkan kedua kakinya dan seluruh tubuhnya.
Shani membuka pintu kamar, ia menatap Chika dan Vivi. "Kalian itu kenapa teriak-teriak? Sampe dapur lho."
"Vivi, mah." Rengek Chika sambil menunjuk ke arah Vivi yang sudah berhenti bergerak.
Vivi mengangkat tangan kirinya ke atas, ia menggelengkan kepalanya, "Aku gak ngapa-ngapain padahal."
Shani menghela napas panjang, ia berjalan menghampiri Vivi lalu membenarkan kancing seragam Vivi. "Kamu pasti ngejek Chika lagi."
"Gak, tadi aku cuma senam pagi, tapi Chika malah ngelempar bantal." Ucap Vivi lalu menjulurkan lidahnya ke arah Chika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
Teen FictionBagaimana jadinya seseorang dengan sebutan si Nona Peringkat 150 harus tinggal dibawah atap yang sama dengan seseorang yang peringkat 3? Ayo kita cari tahu sama-sama.