"Bangsat!" Vivi memukul sofa di belakangnya, ia merebut pistol milik Ara lalu berdiri--
Dor!
"Vivi!!"
Vivi memejamkan matanya erat-erat, tubuhnya limbung ke belakang saat ada seseorang yang menabraknya dari depan. Hampir saja kepalanya membentur tembok kalau tidak ditahan oleh Ara.
Gita berjalan mengendap-endap, ia mengarahkan pistolnya ke arah sniper lalu melepaskan satu tembakan tepat mengenai kepala sniper itu. Ia berlari cepat ke persembunyiannya Ara.
Vivi membuka matanya, ia melihat tubuh papahnya berada tepat di atas tubuhnya. Ia merasakan sesuatu yang basah di tubuhnya, tangannya terangkat dan meraba punggung papahnya, ia melihat telapak tangannya. Tubuhnya langsung menegang saat mendapati darah di telapak tangannya.
Ara menarik tubuh Vino dari atas tubuh Vivi, ia membuka kemejanya Vino untuk melihat apakah pelurunya menembus sampai ke depan atau tidak. Karena kalau peluru itu sampai menembus ke depan, itu artinya Vivi juga ikut kena tembakan.
"Jangan dibaringin kayak gitu." Ucap Gita, ia memutar tubuhnya Vino menjadi telungkup. "Peluru kayaknya masih di punggung."
Vivi membulatkan bola matanya, kedua tangannya bergetar hebat. "Pa-papah."
"Gue telfon ambulan dulu." Ucap Ara.
Gita melepas kemejanya lalu menggulung dan ia letakkan di bekas tembakan di punggung Vivi. Mencoba untuk menahan laju pendarahan sampai ambulans datang ke tempat ini.
"Sial!" Vivi mengepalkan tangannya, ia mengambil pistol milik Ara lagi lalu berlari menghampiri Dio.
"Vivi!" Teriak Ara untuk memanggil Vivi.
Gita menahan tangan Ara agar tidak ikut menyusul Vivi. "Lo cuma ngalangin Vivi kalo ikut."
Vivi berlari cepat menaiki tangga, ia tidak melihat Dio berada di tangga, pasti sekarang Dio sedang berusaha melarikan diri. Ia menoleh ke samping dan melihat salah seorang sniper berusaha mengubah arah senapan menjadi menghadap ke arahnya. Ia mengangkat pistolnya dan melepaskan satu tembakan di dada sniper itu.
Vivi berjalan ke samping, ia mencari sniper satunya lagi yang masih hidup. Ia menghentikan langkahnya saat mendengar barang terjatuh ke lantai, ia berjalan perlahan mendekati suara itu sambil tetap mengarahkan pistolnya ke depan.
Ia melihat sniper terakhir yang sangat gugup dan mencoba untuk mengarahkan pistol ke Vivi. Kurang cepat. Vivi sudah melepaskan satu tembakan lagi dan mengenai tangan kanan sniper itu, Vivi kembali menekan pelatuk pistolnya dan peluru itu bersarang di tangan kiri orang itu.
Vivi mendekati orang itu, "Dio mana?"
Orang itu meringis kesakitan, ia menggelengkan kepalanya pelan, "G-gak tahu."
"Dio mana?" Tanya Vivi lagi.
"Gak tahu."
Vivi mengangkat kakinya ke atas dan menginjak wajah orang itu, "Pertanyaannya bukan tahu apa enggak, tapi Dio di mana?"
Vivi menoleh saat mendengar deru mobil di luar rumah itu, ia berlari menuruni tangga dan langsung menuju pintu depan. Ia terlambat, mobil papahnya yang dicuri Dio sudah bergerak meninggalkan halaman rumah ini.
Vivi menunduk melihat kedua tangannya, tangan kirinya masih bersih dan tangan kananya memegang pistol dan penuh dengan darah. Ia menjatuhkan pistol itu di bawah, tangannya bergetar hebat.
"Gak. Gak mungkin." Gumam Vivi, ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Vivi menoleh ke belakang, ia melihat Gita yang menggeser sofa ke samping supaya bisa lebih leluasa dalam menangani papahnya dan Ara yang berusaha membuat papahnya tetap sadar, mereka berdua mencoba menyelamatkan papahnya, sedangkan dirinya malah menjadi seorang pembunuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
Teen FictionBagaimana jadinya seseorang dengan sebutan si Nona Peringkat 150 harus tinggal dibawah atap yang sama dengan seseorang yang peringkat 3? Ayo kita cari tahu sama-sama.