Aku kembali lagi menemui kelulusan, dan momen tersebut membawa ku kembali ke umur 16, yang tepatnya 8 tahun lalu. Apa kabar Greyr? Tidak ada satu hari pun bisa terlewati tanpa mengingat wajah tampannya dan perjanjian konyolnya itu. Aku tahu ini menyedihkan, tapi kau tahu? Aku tetap berpegang teguh dengan perjanjiannya itu, karena aku masih mengharapkan takdir mempertemukan kita.
Aku memang masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Greyr, tapi hal itu tidak menghentikan diri ku untuk memiliki seorang kekasih. Aku tahu hal itu tidak adil untuk kekasih ku, tapi aku tidak bisa menghentikan rasa cinta ku yang berkobar untuk Greyr, aku sungguh tidak bisa. Karena itu, di saat kelulusan, aku mengakhiri hubungan ku dengannya, dan kembali ke negara ibu ku. Siapa yang tahu kalau ternyata yang dibutuhkan hanya kembali ke negara ibu dan takdir akan mempertemukan ku dengan Greyr lagi. Semoga saja.
**
Ah, sungguh luar biasa bisa kembali lagi ke Indonesia, apalagi setelah 41 jam perjalananan—walaupun ada beberapa jam istirahat, tetap saja. Aku kira malah istirahatnya yang membuat lama—aku sungguh lelah, tetapi sesaat aku melihat adik-adik ku datang menjemput ku dari bandara, sedikit lelah dalam diriku terangkat.
Mereka terlihat cukup bahagia saat melihat wajah ku muncul dari tengah keramaian. Adik ku tumbuh menjadi gadis berkaki panjang dengan kulit sawo matang. Bagaimana ia bisa berubah menjadi sangat manis dalam waktu 8 tahun? Ia bahkan hampir setinggi diriku! Padahal bisa dibilang aku cukup tinggi untuk usia ku, apalagi Shania yang masih berumur 16. Lalu lihatlah kembarannya, Brody, dia bahkan menjadi lebih tampan sampai ku kira ia adalah orang lain. Sepertinya adik-adik ku berevolusi setelah aku pergi kuliah keluar, meninggalkan ku bertampang dan berpostur sama seperti saat aku berangkat 8 tahun lalu.
"Halo, makhluk evolusi!" sapa ku pada mereka
"Wow, jadi ini tampang anak lulusan luar negri?" tanya Shania
"Sama aja," lanjut Brody
"Jahatnya!" gumamku menggeleng
"Aku tidak mengerti mengapa kau menjadi pengacara, kan hukum beda-beda di setiap negara," ucap Brody sambil menarik 1 dari 2 koper yang ku bawa ke arah tempat parkir
"Kau memang benar, Brody, tapi pada dasarnya semuanya sama, hanya isi pasal UUnya saja yang berbeda," ucapku merangkul Brody dan Shania bersamaan, "apa rahasia mu, dik, supaya bisa menjadi sangat tinggi seperti ini?" ucap ku ke arah Shania
"Gen, kakak ku tercinta.. bukan kah ayah dan bunda juga tinggi?" ucapnya santai dan mulai merogohkan tasnya mencari kunci mobil
"Jadi, mobil siapa yang kita pakai? Kau atau kau?" Tanyaku melepas rangkulan ku
"Brody," ucap Shania lalu menyerahkan kunci padabku, "kau menyetir, masih ingat jalan ke rumah bukan?"
"Aku tidak akan jadi pengacara kalau aku mudah lupa," ucap ku mengambil kunci tersebut dan tersenyum santai
"Jangan lupa, kita setir kanan dan berjalan di lajur kiri!" ucap Brody menyindir
"Hanya karena aku lama tinggal di Amerika bukan berarti aku lupa dengan tata cara mengemudi di sini," ucap ku memutar mataku lalu masuk ke sisi pengemudi.
Ah, Jakarta dan segala masalah lalu lintasnya. Aku sungguh membencinya, tapi diam-diam aku juga sedikit merindukannya. Di Connecticut, jarang sekali terjadi kemacetan, jalanan selalu lancar, para pengemudi taat aturan, bus tetap berada di lajurnya, sementara di sini, motor-motor seenaknya saja memotong jalanan, orang-orang memasuki lajur Transjakarta. Mengapa orang-orang di sini tidak bisa setertib di Amerika?
Setelah 1 jam menahan kekesalan ku dengan lalu lintas, akhirnya sampai juga aku dirumah. Orang tua ku menyambut dengan riang gembira, dan sahabat-sahabat SMA ku juga ada disana. Orang tua ku mengadakan pesta untuk kepulangan ku, sungguh baiknya mereka mau mendatangkan teman-teman ku.
"Ah, pengacara bunda!" ucap ibu ku memelukku erat
"Bagaimana kehidupan Amerika memperlakukan mu?" ucap ayahku tersenyum di sisi ibuku
"Kau tahu lah, Yah, kan kita tidak mati hubungan," ucap ku tertawa pelan. Sejak orang tua ku mengenal program berjudul 'skype', mereka selalu mencoba menghubungi ku, tak perduli dengan perbedaan waktu kita.
Saat aku sampai di kamar ku, aku melihat ruangan itu tidak lagi seperti kamar ku yang dulu. Karena kita tinggal di apartemen, kita tidak punya banyak ruangan, jadi kurang lebih ruangan yang tadinya ku sebut kamar, sekarang telah berubah menjadi ruangan yang begitu pink dan klasik ABG, mungkin aku bisa mengatakan mata ku hampir buta melihat warna pinknya.
Aku menaruh barang-barang ku di satu-satunya bagian lantai yang tidak terisi barang milik Shania. Semuanya telah berubah total, hanya ada satu hal yang masih sama, kasurnya. Kasurnya masih kasur air seperti yang ku ingat dulu. Rasanya sungguh tidak biasa setelah hidup sendirian dan pas-pasan selama 8 tahun tiba-tiba kembali memiliki apapun yang ku mau dengan mudah.
Aku memiliki waktu setidaknya 2 bulan sebelum harus kembali ke Connecticut, memutuskan untuk melanjutkan di sana atau kembali tinggal di Indonesia. Aku tidak bisa main-main, apapun keputusan ku melibatkan lowongan pekerjaan, kalau aku tidak cepat, posisi lowongan akan di ambil oleh lulusan pengacara baru lainnya.
Aku sudah dewasa, aku harus bisa menentukan tujuan hidupku, lupakan hal bodoh dan mulai pikirkan hal serius. Lupakan Greyr dan pikirkan tentang yang lain, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar cinta monyet anak SMA.
Sejak kedua adik ku bersekolah di sekolah yang sama dengan ku dulu, jadi ku gunakan momen tersebut untuk mengingat kembali masa SMA sekaligus bertemu dengan guru-guru ku dulu untuk memberi mereka kebanggaan telah mendidik seorang pengacara. Mereka berhak untuk kehormatan tersebut. Selalu membanggakan bisa membuat orang lain, terutama seorang murid, menjadi seseorang. Sungguh bangga aku bisa membuktikan kalau kita tidak harus berprestasi sempurna untuk berhasil.
Saat ini aku memang belum memiliki pekerjaan tetap, tapi aku ada perasaan bagus dalam waktu dekat aku akan mendapat tawaran. Kalau sampai ternyata tidak ada, aku selalu bisa kembali ke Connecticut dan mencoba di firma magang ku kemarin. Mereka firma besar, aku yakin merekrut 1 orang pasti mudah, apalagi kalau sudah tahu bagaimana kinerjanya.
Guru-guru menyambut ku dengan bahagia, yang wanita membuka lengan mereka untuk memeluk diri ku, sementara yang pria aku hanya menyalami mereka. Wali kelas kelas 12 ku dulu memaksa ku untuk bercerita bagaimana aku bisa sampai di posisi seorang pengacara. Bagaimana pelajarannya, apa kesulitannya, dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Benar seperti yang ku katakan tadi, mereka pasti bangga telah mendidik siswa yang memiliki masa depan.
Melihat hall basket/futsal/voli/badminton, aku jadi ingat pertandingan antar sekolah yang biasa diadakan setiap tahunnya. Bagaimana kami semua mengagumi para pemainnya, bagaimana aku terpaku mengagumi Greyr yang sangat jago dalam olahraga sepak bola dan futsal, bagaimana kita bersorak ria setiap saat tim kita mencetak skor. Ah, masa-masa SMA, masa-masa yang sangat menyenangkan dan juga pedih.
Aku tentu saja tidak menunggu adik-adikku sampai mereka pulang, aku bukan supir pengangguran, aku punya urusan yang harus ku lakukan, dan sebaiknya aku mulai menikmati kota yang dulu tidak sabar untuk ku tinggalkan sebelum aku menyibukan diri dengan perekrutan di firma hukum nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me Not.
ChickLitSebagai pengacara profesional, mengerjakan satu kasus seharusnya menjadi hal yang singkat. Yang harus dilakukan hanya menerima kasus, menemukan cara untuk membela kliennya, mendapatkan hasil, dan kasus pun berakhir. Normalnya itulah urutannya, cuku...