Aku tidak tahu yang mana yang harus lebih ku khawatirkan. Fakta kalau aku akan menghabiskan 3 minggu bersama Kei di Italy, atau fakta kalau aku akan segera bertemu dengan nenek Kei. Aku tidak tahu mana yang lebih buruk.
Selama penerbangan, Kei tidak terlalu banyak bicara, ia memilih untuk tidur, terutama saat penerbangan dari Chicago menuju London. Kurasa menemui neneknya bukan sesuatu yang ia nanti-nantikan dengan sangat.
Saat kita mendarat, semua yang ku saksikan sebelumnya di wajah Kei yang ku katakan sebagai ekspresi aku-tidak-sepenuhnya-disini berubah menjadi ekspresi tidak sabar untuk bertemu dengan seseorang tercintanya. Mungkin tatapan sebelum ditunjukannya pada ku, mungkin sebenarnya ia juga tidak ingin aku bertemu dengan neneknya, mungkin sebenarnya ia tidak ingin aku ikut dengannya. Dan kalau ternyata semua itu benar, lalu kenapa ia repot-repot mengajak?
"Kau tak apa?" tanya Kei saat menunggu bagasi
"Kenapa kau mengajak ku ke sini?" ucap ku menatapnya
"Untuk bertemu nenek ku," balasnya bingung, "aku cukup yakin aku sudah memberitahu mu itu sebelumnya."
"Kau terlihat tidak begitu suka dengan hal itu," ucapku sambil maju setelah melihat koper ku
"Itu bukan karena aku tidak ingin kau bertemu nenek ku, tapi sebaliknya," ucapnya sedikit membingungkan
"Bukan kah itu sama saja?" Tanya ku
"Biar aku saja," ucapnya mengambil alih koper ku, "dengar, itu mungkin memang terdengar sama, tapi asal kau tahu, nenek ku bukan jenis orang yang menahan apa yang ia pikirkan, ia mengeluarkan semuanya, dan kadang itu hal baik atau malah sangat buruk," ucap Kei mendorong troli menuju pintu keluar
"Jadi kenapa? Aku juga tidak akan mengerti kata-katanya, kau bilang ia tidak berbicara bahasa inggris," ucapku polos
"Tapi aku mengerti kalimatnya," ucapnya datar
"Kenapa itu penting?" tanya ku tak mengerti
"Sejak saat ini kau masih menjadi istri ku, kau menjadi bagian dari ku, dan aku akan jelas tersinggung saat ada yang mengatakan sesuatu yang buruk tentang apa yang menjadi bagian ku," jelasnya yakin, "bahkan jika nenek ku sendiri yang melakukannya. Kau mengerti itu, Ali?"
"Yeah. Terima kasih sudah tersinggung atas nama ku," ucapku menggumam
Taksi membawa kita menuju daerah yang tidak terlalu jauh dari bandara, tapi dari yang aku lihat di perjalanan menuju kemari, daerah ini masih banyak kehijauannya. Saat kita akhirnya berhenti di depan rumah yang tidak begitu mewah dari luarnya, entah bagaimana aku merasa terkejut. Kenapa tidak ada kemewahan di sini? Tapi bukankah itu hal bagus? Karena akhirnya aku menemukan seseorang dalam hidup Kei yang tidak dibungkus dengan kemewahan, dan kalau ternyata memang neneknya ini kaya raya, setidaknya ia punya kesopanan untuk tidak menunjukannya.
Setelah taksi menurunkan koper kita, Kei menarik keduanya menuju pintu dan menekan bel begitu lama sampai seorang wanita menunjukan diri sambil tersenyum, bukan kesal. Kei memanggilnya, 'nana', jadi ini neneknya, ku akui, walaupun wanita ini sudah terlihat tua, tapi dia masih terlihat begitu cantik dan gagah. Mereka berdua berbicara sesuatu sebelum akhirnya Kei mengenalkan ku dengan kata-kata yang aku tak mengerti kecuali namaku. Lalu senyum manisnya itu pun menghilang saat itu juga. Aku belum bicara sepatah katapun dan ia sudah tidak menyukai ku. Luar biasa.
Ia menyapa ku, dan aku menyapa balik, ia berbicara sedikit inggris dengan terpatah-patah, mengenalkan dirinya sebagai Delena. Lalu tanpa alasan, ia tersenyum pahit ke arah Kei lalu berkata sesuatu yang Kei balas dengan sesuatu yang ada kata 'Indonesia'nya, mungkin ia sedang bertanya dari mana asalku? Hmm, ini sungguh disayangkan aku tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me Not.
ChickLitSebagai pengacara profesional, mengerjakan satu kasus seharusnya menjadi hal yang singkat. Yang harus dilakukan hanya menerima kasus, menemukan cara untuk membela kliennya, mendapatkan hasil, dan kasus pun berakhir. Normalnya itulah urutannya, cuku...