10

164 12 0
                                    

Aku memiliki 19 jam di London sebelum penerbangan kembali ke Connecticut. Sejak kecil, aku selalu ingin mengunjungi London, hanya saja, keluarga ku bukan jenis keluarga yang dengan mudah menggunakan uang mereka untuk berlibur ke eropa, dan walaupun kami semua ingin, uangnya tidak akan cukup untuk memberangkatkan 5 orang di saat yang sama. Pada saatnya uang cukup, aku sudah berada di Connecticut, menjalani tahun kedua ku di sekolah hukum. Sekarang, di sinilah aku, di kota London, dengan bus merah bertingkatnya. Maafkan aku jika aku terkesan norak, London itu kota impian ku. Oh, aku tidak percaya akhirnya aku bisa sampai disini, memiliki 2 cap imigrasi UK didalam pasport ku, sungguh luar biasa!

Bukan pertanyaan lagi kalau aku menghindari Kei. Begitu pesawat mendarat dan mengijinkan para penumpang untuk turun tadi, aku tidak menyia-nyiakan waktu. Aku langsung berdiri dan keluar dari pesawat sementara Kei masih terjebak dikerumunan orang-orang yang hendak mengambil koper mereka.

Aku sudah melihat Big Ben kemarin, jadi aku tidak perlu melihat lagi, yang belum aku temui adalah London Eye, jadi ke sanalah hari ini aku pergi.

Sejak tujuan awal ku datang melewati London bukan liburan, jadi tentunya satu-satunya kamera yang ku bawa hanya yang menempel di
ku, dan itu tidak cukup, jadi aku membeli kamera film yang biasa dijual di toko-toko kecil, tidak mahal, karena itu aku membelinya dengan tambahan 1 roll film kalau-kalau ternyata tidak cukup.

Suatu hari nanti, aku bercita-cita mengajak keluarga ku tur eropa dengan uang ku sendiri, dalam kalau suatu harinya itu Shania dan Brody sudah berpenghasilan—yang ku tebak akan belum kecuali mereka mulai bekerja di umur 18—yang akan ku bayari hanya orang tua ku. Itu sesuatu yang pasti, sebuah janji yang berencana untuk ku tepati.

Karena kita layover 19 jam dan aku hanya menggunakan waktunya 2 jam, aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan. Aku sudah melihat-lihat di layover 6 jam kemarin. Mungkin sekarang adalah waktunya untuk tidur. Sungguh aku tidak mengerti mengapa mereka tidak melakukan penerbangan overnight, mengapa mereka harus membuat kita menginap? Sungguh sesuatu yang janggal dan patut dipertanyakan.

Setelah 17 jam habis, berat rasanya untuk kembali melanjutkan perjalanan, tapi kehidupan menunggu ku di benua sebelah. Sungguh, aku menyukai liburan, siapa yang tidak? Kemarin aku bertanya kenapa harus ada layover 19 jam, sekarang aku bertanya mengapa harus hanya 19 jam. Menjadi dewasa itu tidak enak, waktu senang-senang hanya diisikan oleh kewajiban ini dan itu.

Sesaat aku kembali sampai di bandara, Kei sama sekali tidak terlihat. Dia tidak ada di antrian check-in ataupun ruang tunggu. Mungkin kah dia lupa kalau ia harus kembali ke bandara 2 jam sebelum penerbangan? Tunggu, mengapa aku khawatir tentangnya? Kalau ia tertinggal pesawat, itu akan menjadi urusannya, siapa yang tahu kalau ia memang sengaja tidak datang tepat waktu? Mungkin itu memang tujuannya, mungkin aku memang bukan satu-satunya yang ingin menghindar. Ugh! Ini sungguh rumit.

Sampai saat boarding tiba, aku masih belum melihat Kei. Mungkin memang ia ingin tinggal lebih lama, lagipula, urusan dia dan bukan bayi miliknya telah selesai, jadi mengapa ia harus buru-buru lagi? Oh, tunggu, mungkin aku harus mengecek voice mail ku? Bisa jadi ia meninggalkan pesan. Okay, ternyata tidak, tidak ada pesan. Mungkin ia terlalu sibuk dengan para wanita dan fansnya.

Apa aku terkesan seperti wanita cemburu? Karena aku bisa yakinkan kau, kalau aku sama sekali tidak cemburu, aku hanya metode tua. Seperti yang ku katakan saat insiden Greyr, seseorang yang telah menikah, baik atas kemauan diri atau tidak, mereka seharusnya tidak menyeleweng—kecuali kalau memang dari awal mereka sudah setuju menjalani pernikahan poligami, atau yang lebih dikenal dengan istilah 'open relationship'

"Apa itu kekhawatiran yang ku lihat?" ucap Kei akhirnya muncul di detik-detik terakhir dengan nada menyebalkan

"Ya, tepat sekali!" ucap ku mengaku

"Kau serius?" tanyanya sambil duduk di kursi sebelah ku dan memakai sabuk pengamannya

"Tentu saja, walaupun berat mengakuinya, tapi suami ku ada di luar sana entah sedang apa dan tidak jelas dengan siapa!" balas ku menyembunyikan nada sarkastik

"Oh, aku mengerti, kau tidak serius," ucap dia mengangguk-angguk, "dan sekedar informasi untuk mu, istri ku, selama 19 jam, aku hanya tinggal di gedung hotel dan lounge penerbangan pada 3 jam terakhir," lalu ia menoleh pada ku dengan tatapan menuduh, "yang tidak tahu entah di mana, melakukan apa, dan sama siapa itu kau."

"Jangan membalik-balikan perkataan ku!" ucap ku kesal

"Senang mengetahui aku masih memiliki pengaruh untuk mu," ucapnya dengan tawa terkulum

"Apa maksudnya itu?" ucap ku menatapnya

Pria menyebalkan di sisi ku menggeleng, "tidak ada."

Ini akan menjadi penerbangan yang paling sial dan lama seumur hidup ku. Setidaknya sialnya itu hanya teman sebangkunya dan mudah-mudahan bukan pesawatnya.

**

8 jam! 8 jam aku terjebak dalam pesawat, dengan pria menyebalkan duduk di sisiku. Waktu kemarin, aku tidak begitu mempermasalahkan, karena Kei saat itu masih belum semenyebalkan saat ini, tapi sekarang, setelah banyak kejadian telah berlalu, aku tidak yakin bisa tetap santai. Aku terjebak dengan dia untuk 8 jam ke depan. Dan lebih kacaunya lagi, saat ini aku mendapat kursi dekat jendela, setiap aku ingin pergi ke toilet atau apa, aku harus berbicara dengan pria itu agar ia bisa memberi ku jalan untuk keluar. Ugh, sungguh, mengapa hidup semakin sulit saja?

"Ms. Alice, aku punya pertanyaan," ucap Kei menoleh padaku setelah 1 jam tanpa bicara

"Apa?" ucapku cetus

"Apa kau pernah mempertimbangkan untuk berlaku ramah?" tanyanya menatap ku sambil menahan wajahnya dengan siku di meja kabin

"Aku selalu ramah," balas ku mengelak

"Jadi kau hanya galak padaku?" tanyanya

"Seperti yang sudah kau ketahui," ucap ku santai sambil menatapnya, "kau mengganggu ku."

"Apa tepatnya yang ku lakukan?" tanyanya lagi

"Bagaimana kalau kau pikir sendiri?" balas ku cuek

"Kau tidak punya alasan, huh?" ia tertawa pelan, "pernah kau berpikir kalau kau sesungguhnya menaksir ku?"

"Kau terlalu percaya diri, Mr. Ryker," cemoh ku

"Apa kau pernah mempertimbangkannya, Ms. Alice?" ucapnya lebih tegas

"Tidak, karena aku tidak akan pernah menaksir mu," ucap ku ingin segera mengganti topik

"Aku sungguh meragukannya." gumamnya menyebalkan

"Bisa kau diam?!" desis ku kesal

"Itu bukan cara yang tepat untuk berbicara dengan klien mu, Ali!" ucapnya menatapku dari jauh

"Kalau kau memang masih klien ku, kau tidak memanggilku dengan nama depan, Mr. Ryker," ucap ku lega topik telah berubah

"Kalau dilihat secara teknis, Ali itu nama belakang mu, hanya tanpa huruf 'C' dan 'E' saja," ucapnya sok

"Kau selalu punya jawaban untuk apapun ya?" ucapku sabar

"Selama masuk akal," ia melirik ku, "pasti."

Aku tidak lagi ada niatan untuk membalas, kalau terus dibalas, ia akan terus berbicara, dan aku ingin dia berhenti mengajak ku bicara, aku ingin semua urusan ku dengannya berakhir, aku ingin cepat menyelesaikan semua. Ugh, kenapa ia sangat bangga masih memakai cincinnya?!

Love Me Not.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang