Lima Belas

57 3 0
                                        

Membasmi Tikus | Alif Prayoga

Aku tak perduli dengan lenganku yang tertembak, bagiku ini sudah biasa  terjadi mengingat aku adalah seorang prajurit. Tentu saja hal semacam ini sudah biasa bukan? Seorang prajurit dituntut untuk menjadi sosok yang tangguh dan mengayomi masyarakat. Prajurit harus mempunyai jiwa ksatria yang gagah dan pemberani.

Kuhiraukan teriakan Wildan yang mengomel sendiri kala aku ngotot untuk tetap ikut terjun dan bergabung dengan rekan yang lainnya. Aku tak bisa diam saja dan melihat rekanku yang tengah berjuang, sebagai abdi negara aku rela tubuhku yang jadi korban demi mengamankan negara. Karena prajurit itu sepenuhnya milik negara, istri pertamanya saja senjata.

Dengan memakai seragam lengkap dengan peralatan tempur, aku siap menghadapi para pemberontak itu yang kian hari kian bertambah banyak anggotanya. Aku harus membatu prajurit yang lainnya dengan cara membabat habis semua pemberontak itu jika bisa sampai ke akarnya atau pimpinannya.

Kulirik arloji yang ada di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 05.00 pm. Itu artinya sudah empat jam aku terlibat dalam baku tembak melawan pemberontak itu dan terhitung sudah ada sepuluh orang pemberontak yang tewas saat baku tembak denganku.

"Alif!" aku menoleh ke sumber suara, kulihat Wildan tengah melambaikan tangannya padaku.

"Kita harus menyelamatkan sandera. Rangga telah mengajariku jika dia tahu dimana tempat sandera itu disembunyikan." kata Wildan.

"Ada berapa orang?"

"Dua perempuan. Dia Azka dan juga Devi." kata Wildan yang mendadak pelan.

Tunggu-tunggu, Azka? Azka disandera? Ya Allah. Dengan segera aku berlari dengan kencang dan sekuat tenaga, aku tidak ingin jika sesuatu terjadi pada Azka. Setelah mendapat petunjuk dari rekan yang lain yang telah terlebih dahulu menemukan keberadaan Azka lewat saluran HT, aku segera meluncur. Tak kuhiraukan lagi saat perban lenganku  lepas, aku ingin segera sampai saat ini juga.

"Dimana mereka?" tanyaku pada Prada Zaki ketika telah sampai di sebuah tempat yang dimaksud tadi.

"Siap! Bu guru itu sudah aman sekarang. Mereka ada di dalam." jawabnya.

Tanpa banyak berkata lagi, aku segera masuk ke dalam. Tempat apa ini, kenapa sunyi sekali? Tempat ini sangat gelap walaupun di siang hari, karena tempatnya terlalu rapat tanpa celah. Hanya ada lubang-lubang kecil guna masuknya cahaya agar tidak terlalu pengap. Aku melihat hanya ada satu cahaya yang masuk lewat lubang di sebelah barat, di sana ada dua perempuan yang terkulai lemah tak berdaya. Aku berjalan cepat menghampiri perempuan itu.

"Masyaallah, Azka!" aku sungguh terkejut melihat kondisi Azka yang tak baik saja.

Seragam batik yang tadinya berwarna biru dan bersih kini berubah menjadi sedikit menghitam karena berlumuran dengan darah, pun dengan Devi yang tak jauh berbeda dengan Azka. Aku mengguncang kecil tubuh Azka, guna memastikan jika dia masih sadar.

"Azka?" kataku sambil mengguncang tubuhnya.

"Azka!" panggilku lagi dengan nada yang sedikit meninggi.

Setelah panggilan keduaku itu, kulihat pergerakan kecil yang dilakukan oleh Azka. Ya, itu berarti dia tidak pingsan hanya saja kondisinya yang lemah sehingga dia tak bisa banyak bergerak.

"M-Mas ... to-long De-Devi ...." kata Azka dengan terbata-bata dan suara yang bergetar.

"Iya, Dik. Kamu juga yang kuat ya, kita berobat sekarang."

Azka tak menjawab lagi, dia memejamkan matanya sedangkan tangannya masih erat memengangi seragamku.

"Bagaimana, Lif?" kata bang Adri dan Wildan yang baru masuk dengan tergopoh. Di belakangnya ada tiga orang prajurit yang membawa tandu.

"Devi ... Devi!" kata Wildan yang langsung histeris melihat kondisi keduanya, terlebih Devi. Berulang kali dia memanggil Nada Devi, namun yang dipanggil sama sekali tak merespon.

"Devi bangun!" panggil Wildan yang masih berusaha untuk membangunkan Devi.

Tusss

Tusss

Suara peluru menggema saling bersahutan dan semakin menjadi-jadi. Sepertinya sekarang situasi semakin memanas, terutama anggota pemberontak itu semakin banyak. Mati satu maka akan tumbuh seribu.

"Alif awas!" kata bang Adri keras.

Bugh

Tusss

Aku menoleh ke belakang ternyata ada anggota pemberontak yang mencoba untuk menembakku, namun bang Dani terlebih dahulu mencegahnya.

"Cepat, kita tidak punya banyak waktu kita harus cepat bergerak menyelamatkan dan mengamankan warga. Situasinya semakin memanas dan semakin parah, anggotanya bertambah semakin banyak."

"Semua warga termasuk anak-anak yang dijadikan sandera telah diamankan oleh sebagian yang lain. Sekarang tinggal dua guru ini dan kita setelah itu kita akan membasmi habis para tikus ini." celetuk Rangga yang tergopoh masuk dengan napas yang memburu.

"Cepat keluar! Bawa dua guru ini keluar sekarang dan segera obati mereka. Mereka harus segera diberi pertolongan, cepat!" titah bang Adri keras.

Setelah semua dipastikan pergi dari tempat ini, kini hanya tinggal aku, Rangga dan bang Adri yang menghadapi para tikus ganas yang kini kian banyak. Sebelum itu aku sempat berdebat alot dengan bang Dani dan juga Wildan yang mengkhawatirkanku karena lenganku belum sembuh, tetapi aku berusaha keras untuk meyakinkannya jika aku akan baik saja. Biarlah aku yang menghadapi para musuh, berjuang demi keamanan dan kenyamanan tanah airku ini. Semua akan kulakukan demi negeri ini yang didalamnya juga ada orang-orang yang kucintai.

Sambil bersembunyi di balik semak-semak dan memikirkan langkah yang akan kuambil kedepannya, aku merapalkan doa untuk keselamatan semuanya. Semoga bang Dani dan Wildan selamat sampai tujuan, jika sesuatu terjadi pada mereka maka Azka dan Devi juga akan ikut menjadi korbannya. Aku juga berdoa agar para tikus ini bisa segera dibasmi demi kenyamanan dan kedamaian negeri ini.

Hari mulai gelap, namun baru lima belas orang pemberontak yang tewas, masih ada lima belas lagi. Kutarik napasku dalam-dalam lalu kuhembuskan, waktu terus bergulir sama seperti pikiranku yang terus tertuju pada bang Dani dan Wildan. Apakah mereka baik-baik saja? Apakah mereka sudah sampai di rumah sakit? Apakah ada kendala? Ataukah mereka dihadang sama pemberontak? Bagaimana keadaan Azka dan Devi? Apakah kondisi keduanya semakin parah?

"Hah ... semoga mereka dalam selalu dalam lindungan-Nya." gumamku pelan sebelum melanjutkan baku tembak lagi.

"Lebih baik pulang nama daripada gagal di medan tugas. Semangat!" ujarku pelan, namun membara dan setiap kata yang terlontar dariku penuh dengan penekanan.

Rangga dan bang Adri serta rekan-rekan yang lain mengangguk tegas. Aku yakin jika mereka juga akan berjuang sekuat tenaga demi tanah air ini. Pulang nama itu lebih baik daripada gagal di medan tugas, itulah motivasi yang selalu dijadikan pembakar semangat agar berkobar bagi para abdi negara. Menjadi abdi negara itu bukanlah persoalan uang dan ketenaran, tetapi pengabdian.









Ssst! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang