Empat

101 5 1
                                    

Buaya Cap Badak. Ingat! yang Ada Cula Limanya |Dani Prawira

Setelah berbincang sebentar dengan salah seorang guru yang mengajar di desa kecil yang berada di perbatasan ini, aku sangat penasaran padanya. Terlebih saat berbicara, dia selalu menunduk seakan tidak mau bila wajahnya kulihat.

Aku sangat penasaran sekaligus mulai curiga dengan gelagat aneh dari guru itu. Kuputuskan akhirnya, aku mengikutinya dari belakang dan mengendap-endap bagai maling yang akan bertamu tanpa diundang.

Sesekali aku bersembunyi di balik pohon karena guru itu sesekali berhenti dan menoleh ke belakang, sepertinya dia punya firasat kalau sudah diikuti seseorang.

Semakin dekat, agak kupercepat jalanku agar tidak tertinggal, dia malah menoleh lagi ke belakang. Aku gelagapan dan langsung bersembunyi di balik pohon, lalu ...

Byurrr

Apes! Inginku mengumpat tapi percuma saja, toh ini juga kesalahanku sendiri. Kenapa aku sangat ceroboh? Percuma ilmu mengendap-endap yang kupelajari selama pendidikan tak kuterapkan dengan baik. Basah kuyup sudah seragam kebanggaanku ini. Begini amat nasib seorang jomblo yang nyemplung sungai.

Susah payah aku berusaha keluar dari sungai, hingga akhirnya aku bisa keluar dengan seragam yang basah kuyup, sepatu yang sangat berat karena kemasukan air, dan bau yang ... sangat khas orang kecebur.

Mataku menyusuri setiap jalanan, namun tak menemukan sosok guru itu. Aku menepuk dahiku sendiri dengan keras, aku telah kehilangan dia. Aku telah kehilangan kesempatanku untuk mengetahui apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku. Sial!

Akhirnya aku putuskan saja untuk kembali ke pos sekaligus mengganti bajuku yang basah kuyup ini. Udara di sini memang sangat dingin, pas sekali untuk para jomblo berimajinasi.

"Dari mana kau, Dik?" tatapan tajam bang Ebit yang pertamalah kudapati.

"Siap, salah!" aku memasang wajah siap sedia agar tidak kaget saat mendapat tinju dari tangan kekar bang Ebit.

Bang Ebit berjalan mengelilingiku khas seperti penjahat yang mencurigai tawanannya.

"Kenapa kau basah kuyup? Memang di sana hujan?"

"Siap, tidak!"

"Lalu?"

"Siap, izin! Tadi saya nyemplung kolam, Bang!"

Plakkk

Kan, salah lagi. Sebenarnya apa sih salahku sampai digeplak sama bang Ebit. Sudah kecebur sungai, basah kuyup sampai menggigil, saat kembali malah dapat hadiah. Hah, lengkap sudah penderitaan jomblo.

"Cepat kau ganti bajumu!"

"Siap!" cepat-cepat aku berlalu dari hadapan bang Ebit, takut kalau serangan mendadak bang Ebit mendarat lagi di tubuhku.

Langkahku terhenti tepat di depan pintu yang tertutup, sayup-sayup aku mendengar seseorang yang sedang bertelepon. Kucoba untuk mengabaikan saja, tetapi ada yang janggal di sini. Kutarik lagi tanganku dari gagang pintu dan lebih memilih mendengarnya dari balik pintu. Tidak, aku tidak menguping hanya saja aku menyimak, barangkali ada informasi penting.

"Bagaimana kabarnya?"

"Oh, iya, sudah kalau begitu. Saya titip dia sama kamu. Tolong jaga dia, jangan sampai dia bertemu dengan buaya cap badak bercula lima itu."

"Iya, siapa lagi buayanya, kalau bukan Dani Prawira, itu?"

"Iya, baiklah. Kalau begitu saya tutup dulu, keburu buayanya pulang, nanti tahu semua."

"Namanya saja buaya, sudah dapat dipastikan kalau sekarang lagi cari mangsa."

"Hahaha ... oke-oke. Ya, sudah kalau begitu, saya tutup dulu teleponnya. Ingat pesan saya tadi. Assalamualaikum."

Berbicara dengan siapa dia? Kabar siapa? Apa yang disembunyikannya dariku yang merupakan kakak sepupunya sekaligus Dantonnya? Lagi, tadi dia menyebut 'buaya cap badak bercula lima' apa itu artinya diriku? Kan, buaya julukanku. Wah, tidak bisa dibiarkan. Ini namanya pencemaran nama baik. Iya, sih aku sering dipanggil Dani si buaya, tapi tidak pakai embel-embel cap badak bercula lima juga kali. Mana ada badak bercula lima, dasar, Alif ba ta tsa.

Pintu kubuka dan langsung melangkahkan kakiku menuju lemari. Bersikap biasa seperti tidak terjadi apa-apa lalu membuka lemari dan mengambil pakaian untuk ganti. Sempat kulirik Alif yang duduk bersandar pada tembok dengan benda pipih ditangannya. Entah apa yang sedang direncakannya, dia terlalu fokus hingga tak sadar akan kehadiranku, atau mungkin sengaja mengabaikan ku. Entahlah, aku tak peduli. Saat akan meninggalkan kamar kulirik lagi dia, sesekali dia tersenyum yang membuat aku sangat penasaran. Namun, ini bukan waktu yang tepat. Akan kupantau saja tingkah laku dan setiap gerak-geriknya dari kejauhan, biarlah waktu yang menjawab.

"Kira-kira apa ya, yang disembunyikan Alif?" gumamku pelan sambil berjalan menuju toilet.

"Wildan!" panggilku setengah berteriak, karena tahu Wildan akan pergi.

"Siap!"

"Santai saja, tidak usah formal."

"Siap, ada apa, Bang?"

"Begini, saya mau tanya sama kamu. Apa kamu memiliki rahasia sama Alif?" tanyaku to the point.

"Tidak, Bang. Memang rahasia apa?"

"Halah, kamu tidak usah bohong pada Abangmu ini, Dan. Saya tahu, kamu pasti memiliki rahasia sama Alif. Kamu sama Rangga, kan yang paling dekat sama Alif. Lagi pula kalian juga sering jadi tempat curhat Alif."

"Memang benar, Bang. Saya dan Rangga sering menjadi tempat curhat Alif, tapi kalau rahasia, saya tidak memilikinya, Bang."

Aku tampak berpikir dan menimbang semua ucapan Wildan, aku menatapnya tajam. Mataku menelisik dan mencari kebenaran pada diri Wildan.

"Maaf, Bang. Abang menatap saya seperti ini dikira nanti gay." mendengar ucapan konyol Wildan, tanganku otomatis menggeplak dahinya.

Plakkk

"Aduh, Abang kejam banget sih sama Adik sendiri." Wildan tersungkur ke tanah karena tidak dalam mode siap siaga.

"Ngomong asal njeplak saja kamu. Rem Dik, kamu gak punya rem?"

"Enggak. Kalau Abang mau bagi rem, juga gak apa-apa, Bang."

"Emang Abang punya rem?"

"Punya, banyak."

"Apa?"

"Itu, janda kembang gebetan Abang. Bagilah satu, buat apa punya banyak kalau gak digunain Bang, mubazir."

Bukkk

"Aih, ini punggung yang rapuh Bang, siang-malam banting tulang cari modal buat kawin, bukan bangunan kokoh yang mampu menjadi sandaran tukang bangunannya."

"Nikah dulu, baru kawin."

"Lah, nikah kan sama dengan kawin."

"Ya, bedalah."

"Apanya yang beda? Oh, iya-iya, saya tahu Abang pasti mikir jorok ya? Hi, Abang."

"Abang pilih yang mana, perawan atau janda?" lanjut Wildan yang seketika membuatku mual.

"Hah, pusing saya lama-lama di sini. Punya anggota kok ya, gila!" gumamku sambil melangkah, meninggalkan Wildan gila.

Percuma saja aku bertanya pada Wildan kalau tidak mendapatkan informasi apapun. Buang-buang waktu saja. Mending aku cari tahu sendiri, apa yang sebenarnya telah ditutupi dariku.

"Gak apa-apa gila, yang penting setia. Daripada pintar tapi buaya! Ada culanya lagi, haduh gak kebayang bentuk culanya bagaimana."

Aku geram mendengar ucapan buaya cap badak bercula lima itu, ternyata pengaruh Alif begitu besar dan semakin luas. Aku menoleh lagi ke belakang, namun Wildan sudah lari terbirit-birit. Awas saja kau, Lif. Habis kau nanti.

Ssst! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang