Bendera Perang | Alif Prayoga
Napasku terengah-engah setelah menjalani hukuman dari Abang seniorku. Aku tertangkap basah, karena telah mencoba kabur dan menemui seseorang di malam itu. Diam-diam bang Dani mengamati kami, yakni aku dan Wildan. Dia berpura-pura tidur dengan tenang seolah tak terjadi apa-apa, sungguh pengamatan yang dikemas dengan sangat rapi.
"Lif, ke sekolah yuk." kata Wildan lalu menenggak air minumnya hingga tandas.
"Oke, kapan?" ujarku semangat.
"Em ... sekarang gimana? Mumpung Bang Dani sibuk sama ponsel tuh, lagian 'kan hukuman kita sudah selesai." kata Wildan sambil menunjuk ke arah bang Dani yang tengah duduk di bawah pohon yang rindang. Sesekali dia tersenyum menatap ponselnya.
"Hah ... setalah kita ke sekolah nanti, mungkin kepala kita yang akan jadi korban selanjutnya." ujarku yang kemudian memantik tawa diantara kami.
"Hoey! Mau kemana kalian?" kata Rangga.
"KUA." jawabku pendek.
"Heh? Mau ngapain?"
"Mau nikahin kucing sama ayam." kata Wildan.
"Hahaha ... ada saja kamu, mana ada kucing nikah sama ayam kalaupun ada gimana bentuk anaknya?"
"Kamu!" jawabku dan Wildan spontan bersamaan lalu meninggalkan Rangga yang masih terdiam di tempatnya.
Ya, memang kami itu tidak ada kapoknya meskipun telah dihukum berkali-kali, namun tetap saja akan kami ulangi. Kami itu ibarat pedasnya cabai, sudah tahu cabai itu pedas tetapi masih dimakan. Begitu juga dengan meskipun telah berulang kali dihukum, namun masih saja diulangi.
Saat menuju ke sekolah tempat Azka mengajar, perasaanku mendadak tidak enak. Aku merasa ada yang mengawasi langkah kami saat hendak menuju ke sekolah. Kulirik kiri dan akan harap-harap cemas. Ya, bagaimana tidak cemas kebodohanmu kini terulang kembali. Aku lupa jika tidak sedang membawa senjata apapun, begitupun dengan Wildan dan Rangga yang juga tengah menatapku. Kami saling berpandangan dengan tatapan yang aneh dan sulit diartikan.
Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami menuju ke sekolah SD. Kami mencoba untuk tenang dan berpikiran positif bahwa tidak akan terjadi apa-apa, semua akan baik-baik saja.
"Tolong!!"
"Tolong saya, siapapun tolong saya! Lepaskan saya, lepas ...!"
"Kalian dengar teriakan itu?" kataku sambil menajamkan pendengaran.
"Iya, sepertinya dari arah sana." ujar Rangga sambil menunjuk ke arah sekolah.
"Bahaya! Jangan-jangan mereka semua dalam bahaya, ayo kita ke sana." titahku cepat.
Langkah kami yang awalnya sangat santai, sekarang berubah menjadi langkah seribu. Sesekali kami berlari agar cepat sampai dan bisa memastikan kondisi di sekolah itu.
Tusss
"Arrrgghh ...."
"Rangga!" ujarku dan Wildan spontan.
Ternyata benar dugaanku jika daerah ini sudah dikepung oleh para pemberontak itu. Mereka telah mengamati setiap pergerakan dari kami, dan mirisnya lagi mereka memanfaatkan keadaan sebaik mungkin, di mana kami sedang dalam keadaan polos atau tanpa senjata satu pun yang melekat pada kami.
"Kita harus sampai di sekolah itu dengan cepat, kondisinya sekarang tidak aman lagi." ujarku sambil membalut lengan kanan Rangga yang terkena serempetan peluru.
"Kau baik saja?" tanyaku pada Rangga guna memastikan bahwa kondisinya baik saja.
"I'm fine. Kita harus sampai dengan cepat, firasatku mengatakan mereka semua dalam keadaan bahaya dan membutuhkan pertolongan." jawab Rangga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ssst! [Complete]
Romansa[Belum direvisi] ... "Pak Komandan, aku mencintai salah satu anggotamu!" Kisah asmara antara seorang guru dan prajurit yang selalu dalam mode waspada karena kedatangan buaya. Mereka akhirnya sepakat untuk menjalani hubungan dengan senyap, namun inda...