Sebelas

69 4 0
                                        

Pelan-Pelan Saja | Alif Prayoga

Kurebahkan tubuhku, tempat tidur yang biasanya luas karena kugunakan sendiri kini berubah menjadi sesak karena harus berbagi dengan tubuh besar bang Dani. Manusia satu ini memang sangat senang membuat ulah dan mengorbankan yang lainnya.

Lihat saja saat ini dia sedang berbaring dan menaikan ponsel dengan santainya, setelah membuat ranjang yang biasanya dia tempati untuk tidur itu ambrol karena ulahnya. Entah seperti apa dia kalau lagi tidur, mungkin hanya matanya saja yang tertutup, tetapi badannya lagi latihan yongmoodo.

"Geser!" titahnya sambil menggeser badanku.

Aku menoleh kesal padanya, "Siap, mohon izin Bang, ini sudah mentok."

"Itu masih luas gitu kok, sana-sana geser!"

Brukkk

"Wahahaha ... atu tu tu, kasihan sekali sih Adik Abang jatuh dari ranjang."

"Bang!" kataku dengan nada sedikit meninggi.

"Eh ... mulai nggak sopan ya, kamu sama Abangmu. Main meninggikan suara lagi, terus tidak pakai kata 'siap' lagi. Mau kamu Abang hukum?!"

"Siap salah!"

"Gitu dong jadi junior. Ya, sudah sini tidur, besok mulung."

"Mulung?"

"Mulung kepingan hati yang telah hancur berkeping-keping. Siapa tahu sekilo dua ribu, nanti kalo misal dapet lima kilo berarti dapet sepuluh ribu, lumayan 'kan buat kencan sama cewek."

"Nggak mungkinlah Bang sampai lima kilo. Lagian uang sepuluh ribu mana cukup buat kencan sama cewek."

"Cukup kok 'kan ceweknya beda dari yang lain."

"Widih, emang siapa Bang?"

"Mau tahu aja apa mau tau banget ...?" goda bang Dani.

"Mau tahu aja sih soalnya nggak minat juga buat tahu yang sebenarnya." ujarku cuek.

Pukk

Hampir saja aku terjungkal saat sebuah topi tiba-tiba menghantam wajahku.

"Bau banget nih topi, busyet kagak pernah dicuci apa, Bang?! Jorok banget!" ujarku sukses mendapatkan pukulan kasur ala bang Dani.

"Sembarangan aja kalau ngomong. Tapi ada benarnya juga sih, itu topi sudah setahun gak Abang cuci." kata bang Dani sambil nyengir kuda.

"Busyet ... astagfirullah ... pantesan baunya kecampur bau ketek cabe-cabean." celetuk Wildan yang membuatku menahan tawa.

"Asem lo!" timpal bang Dani sambil melempar topinya ke Wildan. "Tawa aja terus! Punya junior gula semua."

"Gula? Manis dong."

"Wohiya dong, dimana-mana 'kan Wildan selalu manis ngalahin gula Jawa ya, nggak Lif?" kata Wildan sambil menaikturunkan alisnya.

"Gila woi, bukan gula."

"Lah tadi katanya gula."

"Typo."

"Nih, Bang." ujarku sambil menyodori obeng pada bang Dani.

Baik bang Dani maupun Wildan mengernyit bingung, "Buat apa?" ujar bang Dani.

"Buat benerin lidah Abang." jawabku singkat lalu segera berlari menjauh dari bang Dani, takut jika obeng yang kuberikan padanya dibuat untuk menggetok gundulku.

                                     ***

Aku berjalan menyusuri jalanan setapak yang penuh dengan batu, tentu saja aku tak sendiri karena Wildan selalu mengekoriku kemanapun aku pergi. Iyalah, secara dia juga akan senang jika ikut denganku. Bagaimana tidak senang, orang dia juga bisa bertemu dengan Devi.

"Lif, beneran nih Bang Dani nggak marah? Bukan cuma Bang Dani loh yang marah, tetapi kalau kita sampai ketahuan Abang-Abang yang lain pasti dihukum."

"Ssst ... tenang saja, semua aman." ujarku.

Ya, memang aku ini terkenal dengan junior yang super duper badung. Eits, bukan hanya aku saja Ding, tetapi juga duo kawanku yakni Wildan dan Rangga. Lihat saja disaat semua orang sedang istirahat, tetapi aku dan Wildan malah kabur demi menebus rasa rindu. Maafkan kebadungan juniormu ini Bang.

"Mas Alif? Bang Wildan?" kata Azka yang berdiri di teras depan rumah.

"Assalamualaikum, Dik. Kok malam-malam diluar rumah?" ujarku.

"Waalaikumsalam iya, Mas. Cari angin, Mas sendiri kenapa ke sini? Bukannya ini jam istirahat ya?"

"Dik Azka, Devi mana?" celetuk Wildan yang sudah celingukan ke sana kemari.

"Devi sudah tidur, Bang."

"Yah ... padahal Abang kangen banget loh sama Dik Azka."

Aku melotot dan refleks tanganku menggeplak kepala gundul Wildan. Seenaknya saja dia berbicara seperti itu. Bilangnya cari Devi tapi kangennya sama Azka, benar-benar minta sleding nih anak.

"Hehehe ampun Mas Alif." kata Wildan alay.

Setelah setengah jam kami berbincang, aku dan Wildan memutuskan untuk pamitan dan segera pergi dari sini. Aku menjadi tak enak sendiri jika harus berlama-lama di sini. Aku takut jika ada orang yang memergoki aneh-aneh, bisa-bisa nama satuanku tercoreng meskipun kami tidak berbuat macam-macam, tetapi 'kan tetap saja penilaian orang itu berbeda-beda.

Berjalan mengendap-endap seperti maling yang baru masuk rumah calon korban. Perlahan aku membuka kenop pintu dengan sangat pelan dan hati-hati, sedangkan Wildan bertugas mengawasi sekitar agar tidak ketahuan sama tentara yang sedang berjaga di depan.

Pukk

Aku merasakan sebuah tepukan mendarat di bahuku, sejenak aku melirik Wildan yang tengah melirikku juga. Kami sudah deg-degan dengan keringat dingin yang mengucur deras. Aku takut jika ada senior yang memergoki kami yang diam-diam pergi tanpa izin.

Susah payah aku menelan ludah, kuberanikan diri untuk menoleh dan melihat siapa yang datang.

"Huh ... saya kira tadi senior!" ujarku saat melihat Rangga yang tadi menepuk bahuku.

"Sedang apa kalian di sini? Bukannya istirahat malah keluyuran. Untung ketahuan sama saya, coba kalau senior yang tahu, bisa habis kalian!" ucap Rangga pelan.

"Jangan bilang jika kalian pergi tanpa izin untuk menemui Azka dan Devi?" tebak Rangga yang sepenuhnya memang benar.

Baik aku maupun Wildan hanya bisa menyengir kuda, aku tak bohong. Memang kami keluar tanpa izin juga demi para kekasih hati kami.

"Hah ... kalian ini, kebiasaan!" ucap Rangga jengah. "Kenapa nggak ajak-ajak sih?"

"Emang Shela di sini?" tanyaku enteng.

Rangga menggeleng dengan imutnya, dia sangat mirip orang yang polos tetapi jatuhnya malah seperti orang bloon.

"Siapa di sana?!" teriak salah seorang tentara jaga yang sedang berkeliling.

Dengan gerakan kilat dan tenaga penuh kubuka pintu dengan cepat, dan masuk kedalam lalu menutup pintunya lagi. Semua terlihat masih tenang, mereka tidur dengan lelapnya hingga tak mengetahui jika ada trio pembuat onar sedang beraksi.

"Alhamdulillah." ucap kami hampir bersamaan.

"Untung saja, telat sedikit kepala kita jadi korban." bisik Rangga.

"Ssst ... jangan keras-keras nanti terdengar yang lainnya, sudah mending kita sekarang segera menuju tempat tidur masing-masing." titahku yang langsung dilaksanakan oleh dua karibku itu.

Masih dengan mengendap, aku berjalan menuju tempat tidurku. Kulihat bang Dani tidur dengan tenang, syukurlah setidaknya aku tak akan diinterogasi olehnya.

Dengan perlahan kurebahkan tubuhku di sampingnya, aku tak banyak bergerak karena takut jika bang Dani terbangun bisa runyam urusannya nanti.

Maaf ya, ceritanya gak jelas hehehe. Terima kasih banyak sudah mau meluangkan waktu untuk membaca cerita gak jelasku. Jangan bosan-bosan ya, mohon bimbingannya.







Ssst! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang