Azka? | Alif Prayoga
Duduk di atas pohon sambil makan buah mangga, menikmati pemandangan alam Papua yang sejuk. Desa kecil dengan jalan setapak berbatu sedikit becek karena diguyur derasnya hujan semalam. Pikiranku melayang pada sosok gadis yang amat kurindukan, sudah dua tahun aku tak berjumpa dengannya. Terakhir, kutahu kabarnya lewat sahabat karibnya yang ada di Solo. Katanya, Azka sedang ditugaskan di perbatasan, dia mengajar anak-anak SD disebuah desa kecil.
"Alif, turun kamu!" aku menatap ke bawah dan melihat Rangga berkacak pinggang, di wajahnya menempel kulit mangga. Tepat di dahinya.
"Apa?"
"Apa? Kamu bilang apa? Kamu gak lihat ini, ha?!" kata Rangga sambil menunjuk kulit mangga yang menempel di dahinya.
"Kulit mangga." kataku setenang mungkin, padahal dalam hati tawaku sudah meledak.
Sungguh aku tidak sengaja, dan juga aku tidak menyangka kulit mangga bekasku yang kulempar ke sembarang arah, mengenai Rangga. Tepat di dahinya yang agak lebar.
"Alif, turun!" aku tidak bisa lagi menahan tawaku saat melihat wajah Rangga merah menahan kesal.
"Gak mau!"
"Alif ...!" aku malah menantang Rangga dengan menjulurkan lidahku.
"Awas kamu ya!" tanpa banyak bicara lagi, Rangga akhirnya ikut naik ke atas pohon.
Saat mataku kembali mengamati sekitar, aku menangkap sosok perempuan yang tengah berjalan terseok-seok. Sebelah kakinya sesekali diseret dan terpincang. Wanita itu mengenakan seragam khas PNS, bertubuh ramping dan mungil, kalau diamati benar, aku sangat mengenalnya. Azka.
"Kena kau, Alif!" seru Rangga sambil mencengkeram lengan tanganku.
Aku lupa jika Rangga ikut naik ke atas pohon gara-gara kulit mangga yang kulempar tadi, karena terlalu fokus memperhatikan wanita itu. Hingga akhirnya aku kehilangan keseimbangan dan terjungkang ke belakang.
Bukkk
"Wadaw ... asem!" umpatku.
"Eh, kok empuk sih?"
"Gimana gak empuk coba? Kamu saja duduk di atas saya. Minggir!" aku sangat kesal, sudah jatuh dari pohon eh, malah ditimpa beratnya badan Rangga yang ikut jatuh, namun berada di atasku.
"Hehe ... pantesan gak sakit." cengir Rangga yang membuatku mual.
Aku segera bangkit dan kembali mengamati sekitar, terutama tempat wanita tadi berjalan. Mataku menyisir sepanjang jalan yang dilewati wanita itu, namun nihil. Aku tidak lagi menemukan keberadaannya. Dimana dia? Apakah memang benar dia Azka? Gadis yang selama ini kurindukan?
"Hei, Alif. Mau kemana kamu?!" teriak Rangga yang tak lagi kuhiraukan.
Aku berjalan cepat, meninggalkan Rangga yang tengah mendumel gara-gara kutinggalkan. Ah, masa bodoh. Sekarang yang ada di pikiranku hanyalah Azka. Akan kugunakan waktu liburku hari ini untuk mencari Azka. Ya, aku yakin dia adalah Azka. Aku harus segera menemukan keberadaannya sebelum bang Dani lebih dulu yang menemukannya.
Sampai dijalan yang dilewati wanita itu, aku segera menyusurinya berharap menemukan petunjuk meskipun hanya jejak. Aku berjalan mengikuti arah wanita tadi berjalan. Aku yakin dia belum jauh dari sini, karena keadaan kakinya yang sepertinya sakit dan jalannya saja juga sangat pelan.
"Alif. Mau kemana kamu?" aku menoleh dengan cepat, ternyata Wildan. Huh, lega. Untung bukan bang Dani.
"Kamu tadi lihat gadis pakai seragam PNS terus jalannya pincang, gak?"
Wildan menggeleng, "Aku tak melihat siapapun. Memang ada apa?"
"Aku curiga dengan dia."
"Kenapa? Apa dia salah seorang pemberontak?"
"Entahlah, tetapi sepertinya bukan."
"Bagaimana kamu bisa yakin kalau dia bukan anggota dari pemberontak? Kamu tahu Alif, pemberontak telah menyandera warga sipil, menjadikannya tawanan. Sebagian dari mereka dijadikan mata-mata untuk mengorek informasi."
"Iya, saya tahu, Wildan. Tetapi saya yakin jika gadis ini bukanlah mata-mata musuh kita, melainkan dia hanya warga sipil biasa yang harus kita lindungi."
"Apa yang membuatmu begitu yakin, kalau gadis itu hanyalah warga sipil biasa? Bisa jadi, kan dia hanya menyamar."
"Karena saya sangat mengenalinya, Wildan. Sudahlah lebih baik kita buktikan saja, siapa sebenarnya dia."
***
Sepanjang jalan kami lalui dengan hati-hati, mata kami tidak berhenti untuk mengawasi sekitar karena bisa saja sewaktu-waktu bahaya mengincar. Apalagi sekarang kami tidak membawa senjata apapun.
"Kita mau kemana, Lif? Ini sudah sangat jauh dari pos kita."
"Sedikit lagi ya, saya rasa gadis itu tidak jauh dari sini. Hanya firasat"
"Nanti kalau sampai ada apa-apa bagaimana? Kita tidak membawa senjata apapun. Ini sudah sangat jauh sekali, jalanannya pun sepi."
"Sudah, diam saja. Kalau kamu mau ikut, ayo kita lanjutkan. Kalau tidak ya, silakan kembali sana. Saya mau meneruskan ini."
"Alif, kau itu susah sekali sih dibilangin? Ini yang saya tidak suka sama kamu. Penasaran ya, penasaran tetapi lihat situasi dong. Ini tuh sepi banget, bahaya Alif."
Aku terus saja berjalan, mengabaikan Wildan yang sedang uring-uringan karena tidak pernah sekalipun aku menggubris ucapannya.
"Dasar keras kepala!" lanjut Wildan.
Kurang lebih dari jarak seratus meter, aku melihat ada sebuah sekolah. Di lapangan depan, ada anak-anak yang sedang berlarian ke sana kemari, mereka tertawa lepas. Jarang sekali anak-anak di sini tertawa lepas seperti itu, mengingat bahaya yang kerap mengancam daerah perbatasan.
"Wildan, kamu lihat itu? Ada sebuah sekolah di sana."
"Iya, bukannya itu dekat daerah pos Adri dan Rehan?"
"Oh, iya. Adri dan Rehan kan ikut di pos dua."
"Ayo kita ke sana, Lif."
Dengan semangat, aku melangkah mengikuti Wildan. Berharap di sana aku menemukan secercah petunjuk lagi mengenai wanita itu.
"Pak tentara!" teriak salah seorang anak laki-laki berambut ikal.
Aku menoleh dengan kebingungan, dari mana dia tahu jika aku ini tentara?
Anak itu berlari ke arahku dan Wildan yang berdiri mematung dan saling berpandangan. "Pak tentara."
"Pak tentara lupa ya, sama aku? Aku Rian, Pak. Yang waktu itu ikut lomba futsal di lapangan desa sebelah."
"Yang jatuh lalu kakinya tergelincir bukan?" kataku.
"Iya, Pak. Pak tentara sedang apa di sini?"
"Kami sedang berjalan-jalan." kata Wildan.
"Anak-anak, ayo masuk sebentar lagi jam pelajaran usai. Kita pulang!" seru salah seorang guru dari ambang pintu kantor.
"Hore!" aku tersenyum melihat tawa riang anak-anak perbatasan. Sungguh menyejukkan hati.
"Pak tentara, aku masuk dulu ya. Sudah disuruh masuk, nanti dicari sama Bu Azka. Dadah pak tentara!" aku menegang sekilas mendengar kata 'Bu Azka' lalu melambaikan tangan kembali pada bocah cilik itu.
"Azka." kataku dan Wildan hampir bersamaan. Kami saling berpandangan dengan pikiran masing-masing.
"Azka Nindya?" celetuk Wildan.
"Kemungkinan." kataku sambil berjalan menuju sekolah itu.
Aku dan Wildan mengintip dari celah-celah jendela. Demi rasa penasaranku, aku rela melakukan hal ini yang jika ketahuan warga akan disangka sebagai maling.
Aku terkejut bukan kepalang, dari celah jendela itu aku melihat Azka. Dia sedang mengajar dan jalannya pun sedikit terpincang. Jadi ... jadi benar dugaanku tadi? Dia adalah Azka, gadis yang amat kurindukan selama ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/249479757-288-k916070.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ssst! [Complete]
Romansa[Belum direvisi] ... "Pak Komandan, aku mencintai salah satu anggotamu!" Kisah asmara antara seorang guru dan prajurit yang selalu dalam mode waspada karena kedatangan buaya. Mereka akhirnya sepakat untuk menjalani hubungan dengan senyap, namun inda...