Malunya itu loh | Azka Nindya
Kubuka mataku saat sayup-sayup terdengar pintu utama rumah ini dibuka. Itu artinya ada seseorang yang masuk ke rumah ini. Tetapi siapa?
Kupaksakan mataku agar terbuka lebar, menepis hawa dingin dan rasa kantuk yang masih menggelayut manja. Kulirik jam yang menggantung di dinding, pukul 23.00 WIT. Masih tengah malam dan ada orang yang masuk ke dalam rumah ini?
Aku bangkit dan beranjak menuju sudut di belakang pintu. Mengambil sebuah tongkat yang biasa aku gunakan untuk mengusir ular ataupun tikus. Aku menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk mengecek ke depan.
Konon katanya, daerah di sini rawan penjahat dan terkenal angker, karena di samping kiri dan kanan jalan adalah hutan belantara. Jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Aman untuk tempat persembunyian para penjahat, namun sangat berbahaya bagi warga sekitar. Mendadak aku teringat dengan kata bang Adri, bahwa di daerah ini sekarang statusnya adalah waspada. Semua orang dihimbau untuk waspada karena ada pemberontak yang menginginkan kemerdekaan mereka. Terutama warga sipil yang bukan asli penduduk daerah ini, akan ditangkap dan dijadikan tawanan.
Pintu kubuka perlahan dan berjalan mengendap-endap bak maling di rumah sendiri. Perlahan namun pasti, ada sosok bayangan hitam yang tinggi menjulang sedang mengutak-atik knop pintu. Debaran jantungku semakin menggila saat aku semakin mendekat. Saat di pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah, aku melongok melihat sosok itu. Kini terlihat sangat nyata. Sosok perempuan berjubah putih, tidak berkepala. Hah, tidak berkepala? Aku menelan salivaku lalu kupertajam penglihatanku, ternyata sosok itu mengenakan kupluk. Makanya kepalanya tidak terlihat. Eh, kupluk? Malaikat Izrail? Kok jubahnya putih, padahal malaikat Izrail kan identik jubah hitam? Mau apa ya, dia ke sini? Bukannya KTP akhiratku masih belum keluar ya? Haduh makin disko saja jantungku.
Kembali aku menelan salivaku yang kesekian kalinya. Tongkat kuangkat, bersiap untuk menghadapi sosok berjubah putih itu.
Satu ...
Dua ...
Tiga ...
Bukk ... Bukk ... Bukk ...
"Aw ... Azka, berhenti! Ini aku, Devi! Azka! Aw ... Azka!"
"Pergilah makhluk halus pergilah, kembalilah ke alammu. Jangan ganggu aku, pergi ...!"
"Azka, sadar astagfirullah. Aw ...."
Aku berhenti memukulinya, namun aku tidak berani menatapnya. Sungguh aku takut dengan rupa wajahnya. "Pergilah, jika memang engkau malaikat Izrail, aku mohon pergilah Mbah. Kasihani aku, aku masih jomblo Mbah, masih ingin menikah. Aku masih LDR-an Mbah, calon suamiku masih bertugas dan statusku saja masih digantung, Mbah. Tolong mengertilah, Mbah. Wanita itu butuh kepastian, halalkan atau tinggalkan."
"Sopo Nduk, cah bagus sing mbok senengi?" (Siapa Nduk, lelaki yang kamu sukai?)
"Mbah malaikat dari Jawa? Kok bisa bahasa Jawa?"
"Iyo, Nduk. Aku teko Solo." (Iya, Nduk. Aku dari Solo)
"Rumah Mbah malaikat memangnya Solo?"
"Gak, Nduk. Aku teko njabut nyowone wong Solo." (Tidak, Nduk. Aku habis mencabut nyawa orang Solo)
"Oalah. Terus kenapa di sini, Mbah?"
"Aku arep njabut nyowomu, Nduk. KTP akhiratmu wis dadi." (Aku mau mencabut nyawamu, Nduk. KTP akhiratmu sudah jadi)
Sontak aku mendongak, melupakan rasa takutku dan melihat dengan jelas wajah Mbah malaikat Izrail. Bukan. Bukan wajah Mbah malaikat yang kulihat, namun ....
Plakkk
Tepukan maut berhasil mendarat mulus di pipi Deviana Rustaningsih. Iya, dia Devi. Sahabatku yang juga ditugaskan untuk mengabdi di tanah Papua ini.
"Aw ... sakit Azka!"
Aku memberengut, lalu berdiri dan berkacak pinggang menghadap Devi. "Salah siapa nakut-nakutin orang?!"
"Siapa yang nakutin sih, Ka? Makanya dilihat dulu. Main pukul saja. Emang aku maling apa?!" jawab Devi dengan kesal.
"Kok kamu nyolot sih?!"
"Siapa juga yang nyolot sih, Ka? Kamu kenapa sih?"
"Bodo!" kataku dengan ketus kemudian beranjak meninggalkan Devi yang termangu.
***
Kusibak tirai jendela kamarku lalu kubuka jendela yang penuh titik-titik embun. Seketika sinar mentari pagi beserta udara sejuk masuk ke dalam kamarku.
Aku manarik selimut yang dikenakan Devi. "Bangun, Vi. Ayo ngajar."
Seakan tak menggubris ucapanku, Devi malah asyik menggeliat ke kanan dan ke kiri. Sudah seperti cacing kepanasan saja. Kali ini kutarik lengan tangannya dan mendudukkannya. Masih dalam keadaan setengah sadar, aku membuka paksa kelopak matanya yang masih setia menutup kendati raga telah duduk.
"Apasih, Ka?!"
"Bangun. Ayo ngajar, jangan malas-malasan."
"Iya-iya."
Setelah berhasil membantu mengumpulkan separuh nyawa orang yang bangun tidur. Aku melenggang menuju kamar mandi, dengan langkah yang sangat anggun bagai seorang model, tiba-tiba ....
Krekkk
"Wadow, ibu ... Allahuakbar!" aku menjerit histeris, saat kakiku terkilir, sakit sekali.
"Buahahaha ...."
Aku melirik Devi karena tertawa melihatku jatuh dengan kaki terkilir, sungguh teman asem! Sebenarnya bukan sakit karena terkilir, tapi malunya itu loh sampai ke ubun-ubun. Sama Devi saja aku malu, apalagi kalau sampai jatuh di depan umum? Oh, tidak. Bisa-bisa wajahku langsung kulepas dan kubuang jauh-jauh.
Tanpa berkata apapun lagi, aku langsung ngacir ke kamar mandi dengan dengan wajah masam. Menyeret kaki kiriku yang masih nyut-nyutan. Sudah cukup, tidak perlu berjalan anggun lagi kalau tidak mau malu karena terkilir.
Setengah jam untukku dan Devi bersiap-siap pergi mengaajar. Sarapan simple saja, yang penting sehat dan yang paling utama adalah kenyang. Karena otak tidak akan bekerja normal ketika perut keroncongan.
"Ayo, Ka! Lelet banget sih, telat nanti."
"Berisik!" aku berjalan dengan menyeret kakiku yang masih sangat sakit.
"Ih, Devi tungguin. Jangan cepet-cepet jalannya. Sakit tau kakiku." tetapi sia-sia saja aku berteriak. Devi sudah jauh di depan sana.
"Eh, Bu Azka. Lagi apa Bu?"
"Jalan." jawabku singkat, agak ketus sedikit sih, mungkin karena efek jengkel ditinggal sama Devi.
"Waduh, salah bertanya saya." kata bang Adri. Sungguh moodku turun drastis saat ini. Aku ingin menerkam semua yang ada didekatku sekarang.
"Mau kemana Bu Azka?"
"Sekolah."
"Iya, saya sudah tahu kalau Bu Azka hendak mengajar di sekolah."
"Kalau sudah tau kenapa tanya?" aku melangkah dengan cepat, mengabaikan rasa sakit di kakiku. Meninggalkan bang Adri dan rekannya yang saling berpandangan.
Maafkan aku bang Adri. Aku tidak bermaksud untuk menyinggung bang Adri, hanya saja aku sekarang sedang dalam keadaan kesal. Moodku turun entah apa sebabnya, aku sendiri juga tidak mengerti.
Maaf ya, gak jelas hehe✌️
Jangan lupa kritik dan sarannya ditunggu, apapun itu akan saya terima.
![](https://img.wattpad.com/cover/249479757-288-k916070.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ssst! [Complete]
عاطفية[Belum direvisi] ... "Pak Komandan, aku mencintai salah satu anggotamu!" Kisah asmara antara seorang guru dan prajurit yang selalu dalam mode waspada karena kedatangan buaya. Mereka akhirnya sepakat untuk menjalani hubungan dengan senyap, namun inda...