Kabar Duka | Dani Prawira
Mataku kembali terbuka saat mendengar suara berisik dari kamar rawat inap Azka. Dengan segera aku masuk ke dalam ruangan itu dan memeriksanya.
"Azka." kataku saat melihat sebuah gelas pecah karena terjatuh.
"Em ... saya mau minum, tetapi tidak sampai." cicit Azka.
"Hah ... saya kira apa, kamu 'kan bisa panggil saya." kataku dengan berjalan ke arahnya dan memunguti pecahan gelas itu.
Hening. Aku mendongak dan menatap Azka yang tengah memandang lurus ke depan dentan pandangan kosong.
"Azka, kamu kenapa?" tanyaku yang mendadak menjadi khawatir.
"Dari semalam perasaan saya tidak enak terus, Bang."
"Ada apa memang? Ada yang kamu pikirkan?"
"Tidak tahu, Bang. Entah mengapa perasaan saya tidak enak terus dari semalam." kata Azka. "Bang, ada kabar dari Mas Alif?"
Aku menggeleng sebagai tanda tidak tahu, karena sampai sekarang aku sendiri belum mendapat kabar apapun tentang kondisi dan situasi di sana. Bukannya, aku tak perduli dengan mereka, hanya saja mereka yang ngotot memintaku untuk di sini menjaga Azka.
Pikiranku melayang pada Alif. Tidak seperti biasanya anak itu akan menelponku berkali-kali dalam sehari, dan itu dilakukan untuk mengetahui kondisi Azka. Iyalah, mana mungkin untuk mengetahui kondisiku. Tetapi dari kemarin sampai sekarang belum anak itu belum menelponku. Ada apa ini? Adri, Wildan, Rangga, semuanya pada kemana?
Aku berbalik menatap Azka, dia masih saja terus memandang lurus ke depan dengan pandangan kosongnya. Kudekati dia dan kusodori dia segelas air putih yang baru saja aku ambilkan guna memecah kekosongannya. Aku tidak mau jika sampai terjadi apa-apa jika dia terus berpandangan kosong seperti itu.
"Minum." ucapku.
Azka menoleh padaku lalu beralih pada gelas yang masih kupegangi, "Minum, Azka." kataku lagi.
Azka menerima gelas itu dan langsung meneguknya hingga tandas.
"Bang ...."
Aku menaikkan sebelah alisku, "Apa?"
"Apa Mas Alif sudah ada kabar? Bagaimana kondisi warga di sana? Bagaimana keadaan anak-anak di sana? Bagaimana, Bang?"
Aku terdiam seribu bahasa. Aku tak mampu untuk menjawab serentetan pertanyaan Azka yang sudah seperti panjangnya kereta api. Adri tak memberi kabar sama sekali, bahkan dihubungi saja dia tak bisa. Rekan-rekan yang lain, juga mengatakan hal yang sama saat aku bertanya. Mereka pasti akan berkata 'tenang saja, biar kami yang atasi'.
"Kenapa, Bang? Kenapa tidak menjawab pertanyaan saya?" tanya Azka.
"Azka, yang tenang dulu ya, kita pasti dapat kabar dari sana."
"Iya, tapi kapan, Bang?"
"Iya, tenang dulu, kita tunggu saja. Untuk saat ini keadaan di sana sangat berbahaya, jadi kita tunggu saja ya." ujarku dengan setenag mungkin, berharap juga bisa menenangkan Azka.
"Kamu mau makan?" tawarku yang hanya ditanggapi Azka dengan gelengan.
"Minum?" tawarku lagi padanya. Lagi-lagi dia hanya menggeleng sebagai jawabannya.
Aku terdiam sejenak, melihatnya yang tengah asyik memandangi ke luar jendela. Raut gelisah yang tergambar jelas di wajah pucatnya, aku tahu jika setiap malam dia akan susah tidur karena memikirkan hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Dia memikirkan murid-muridnya, itu wajar karena dia adalah seorang guru. Tetapi jika dia memikirkan Alif dan para tentara, dia bisa apa karena itu sudah menjadi bagian dari pekerjaan seorang abdi negara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ssst! [Complete]
Lãng mạn[Belum direvisi] ... "Pak Komandan, aku mencintai salah satu anggotamu!" Kisah asmara antara seorang guru dan prajurit yang selalu dalam mode waspada karena kedatangan buaya. Mereka akhirnya sepakat untuk menjalani hubungan dengan senyap, namun inda...