Aneh | Azka Nindya
Angin semilir menerpa, membelai lembut kulitku dan mengundang kantuk secara tiba-tiba. Aku duduk di bangku kayu di depan kelas, mengamati murid-murid yang berlarian ke sana kemari dengan lepas.
Senyumku tak pernah surut, selalu tersungging di wajahku. Bahagia rasanya melihat mereka begitu lepas, tertawa dengan riang seolah tanpa beban.
"Azka." aku menoleh, dan melihat Rani sudah duduk di sampingku.
"Lihatlah mereka, Ran. Tawanya begitu lepas."
"Iya, aku sangat bahagia sekali bisa melihat mereka seperti saat ini, dan tentunya dengan pendidikan untuk masa depannya."
Aku hanya tersenyum dan masih memandangi pemandangan yang indah menurutku.
"Hm ... Azka."
"Iya."
"Kamu punya pacar?"
"Tidak. Ada apa?"
"Tidak apa-apa, saya hanya tanya saja. Oh iya, kamu kenal tentara yang namanya Dani?"
Aku terdiam sejenak, Dani. Apakah bang Dani, yang dimaksud Rani?
"Hm ... kamu kenal darimana?"
"Dari Instagram."
"Oh."
"Iya? Kenapa Ka? Apa kamu mengenalnya?"
"Iya, aku mengenalnya."
"Serius?" kata Rani dengan antusias, dan terlihat matanya berbinar.
Aku mengangguk sambil menatap Rani yang tampak bahagia sekali. Apakah mungkin Rani menyukai bang Dani? Oh, tak kusangka bang Dani bisa seperti ini. Berapa banyak wanita yang sudah menjadi korban harapan bang Dani. Aku berdoa, semoga saja bang Dani cepat taubat atas perbuatannya selama ini.
Tiba-tiba saja sesuatu terlintas dibenakku. Ucapan mas Alif waktu itu, ya, aku ingat persis ucapan mas Alif. Apakah ucapannya waktu itu ada kaitannya dengan sifat bang Dani yang playboy? Apakah ini alasan mas Alif melarangku dengan keras agar menjauhi bang Dani? Kurasa begitu. Karena aku tahu watak mas Alif seperti apa, dia tidak akan pernah bohong sekalipun itu hal terkecil.
Aku jadi terpikirkan mas Alif, sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Dua tahun aku dinas di tanah Papua tapi tak ada sekalipun kabar dari mas Alif, bahkan SMS saja tak ada notif yang masuk. Aku sangat rindu dengan mas Alif. Aku rindu pada orang yang mampu membuat duniaku lebih berwarna dengan tutur kata yang selalu lembut. Ah, mas Alif, kamu dimana? Kenapa kamu menghilang bak ditelan bumi? Aku rindu kamu, mas. Tuhan, tolong pertemukan aku dengan mas Alif lagi. Akan kuperbaiki semua dan menuruti kata mas Alif, yang sering tak kupercayai.
"Hei, Azka. Kamu tidak apa-apa?" aku tersadar akan lamunanku saat Rani menepuk bahuku.
"Ah, iya. Aku tidak apa-apa."
"Menurutmu, bagaimana bang Dani itu?"
"Em ... iya, apanya?"
"Bang Dani, menurutmu bagaimana orangnya?"
"Hm ... Bang Dani itu, orangnya tinggi, tegap, dan gagah."
Rani menghela napas, "Bukan, maksudku sifatnya."
"Oh, baik ...."
Seulas senyum terbit menghias wajah ayu Rani. "Sudah kuduga."
Sebenarnya sih memang baik bang Dani itu. Hanya saja sifat playboy yang melekat pada dirinya membuat nilai min di mataku.
"Ya, sudah Ran. Kalau begitu ayo kita masuk, sebentar lagi jam pulang."
***
Saat berjalan pulang, pikiranku terus saja tertuju pada mas Alif, aku sungguh merindukannya. Ingin rasanya aku pulang ke Jawa, dan segera menemuinya.
"Eh, Bu Azka. Selamat siang Bu." sapa bang Adri.
Aku tersenyum, "Iya. Siang juga pak Adri."
"Aduh, Bu Azka. Jangan senyum Bu. Saya gak kuat, melihat senyuman Bu Azka yang menawan." seperti halnya bang Rehan. Bang Rehan pun kerap kali menggodaku. Entah mengapa tentara dua ini suka sekali membuatku gemas dengan tingkahnya.
Pletak
Aku tak lagi mampu menahan tawaku, apalagi saat bang Adri menjitak kepala plontos bang Rehan. Ingin rasanya terbahak, namun aku tahan karena terkesan tidak sopan.
"Aduh, sakit woi!"
"Bodo, salah siapa godain anak orang."
"Lah emang situ gak godain?"
"Saya ta ..."
"Kalian!" belum sempat menyelesaikan perkataannya, bang Adri sudah menegang. Begitu juga dengan bang Rehan.
Keringat dingin mulai bercucuran saat mendengar suara bariton sang danton. Aku cekikikan sendiri melihat tampang sangar bang Adri dan bang Rehan luntur saat mendapati suara bariton sang danton.
"Kalian, kenapa disini? Malah asyik godain anak orang."
"Siap, salah!" jawab bang Adri dan bang Rehan bersamaan.
"Sana kembali kerja!"
"Siap!" bang Adri dan bang Bang Rehan langsung ngacir dari hadapan dantonnya. Sungguh dahsyat juga jadi danton. Hanya berkata seperti itu, anggotanya sudah kocar-kacir.
"Saya meminta maaf atas perbuatan anggota saya, Bu guru."
"Iya. Tidak apa-apa, Pak." jawabku sambil mengulas senyum ramah seperti biasa.
Kulihat pak danton itu juga tersenyum. Yah, meskipun ditutupi masker, tapi aku yakin dia sedang tersenyum.
"Oh, Iya. Sepertinya Bu guru tidak asli daerah sini."
"Iya, Pak. Saya tidak asli penduduk sini. Saya asli Jawa."
"Oh, saya juga asli Jawa."
Aku tersenyum, rasanya bahagia sekali saat mengetahui ada yang asli Jawa juga. Ya, meskipun tidak kenal, tapi lumayan lega. Setidaknya ada temannya.
"Oh, iya. Maaf, kalau boleh tahu nama Ibu siapa?"
"Nama saya Azka Nindya. Biasanya dipanggil Azka."
"Saya Dani Prawira, panggil saja Dani." seketika aku menegang mendengar kalimat yang diucapkannya. Dani.
Susah payah aku menelan ludah, sekarang gantian aku yang bercucuran keringat dingin. Baru aku ingat, kalau bang Dani itu bertugas di perbatasan. Itu artinya ... aku harus waspada dan menjaga jarak. Iya, aku harus hati-hati dengan bang Dani.
Aku menunduk agar bang Dani tak mengenali aku. Memang aku sudah memakai masker untuk menutupi sebagian wajahku, namun bisa saja kan, bang Dani mengenaliku lewat mata. Tidak, ini tidak boleh terjadi.
"Maaf, Pak. Saya harus pulang sekarang karena hari mulai petang"
"Iya, Bu Azka, silakan. Apa perlu diantar?"
Aku menggeleng, "Tidak, Pak. Terima kasih saya pulang sendiri saja."
"Loh, tapi tidak baik wanita jalan sendirian, apalagi hari mulai gelap."
"Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah biasa. Permisi, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." dengan cepat aku melangkah. Menjauh dari bang Dani sebelum dia mengenaliku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ssst! [Complete]
Romansa[Belum direvisi] ... "Pak Komandan, aku mencintai salah satu anggotamu!" Kisah asmara antara seorang guru dan prajurit yang selalu dalam mode waspada karena kedatangan buaya. Mereka akhirnya sepakat untuk menjalani hubungan dengan senyap, namun inda...