7. | Hangat, Genggaman Erat.

66 49 8
                                    

"Aku tidak tahu, perasaan apa yang hinggap dalam sanubariku ini saat bersamamu, yang kutahu, aku nyaman saat berada didekatmu, itu saja."

—Elsha.
(By Elsha dan Nugie)

Perjalanan menuju rumah Oma pun di mulai, yang tadinya berniat ingin pergi sendirian saja, eh ini justru di temani oleh makhluk tengil dari planet yang tak pernah terdeteksi keberadaanya. Tapi, disisi lain pun rasanya aku begitu naif sekali, lantaran menolak namun hati menerima ia dengan baik.

Aku mendapat posisi duduk di dekat jendela, Nugraha yang memintanya, katanya, "Biar aku saja yang duduk di pinggir dan kamu duduk di dekat jendela," interupsinya.

"Kenapa gitu? Bukankah sama saja?"

Nugraha tersenyum licik, "Buat jaga-jaga aja biar barang berharga kamu gak dicopet, soalnya kamu tuh kalo udah tidur kaya orang koma, dibangunin gak bangun-bangun," keluhnya.

Aku memutar kedua bola mataku jengah, "Ya udah deh."

Nugraha benar, ini juga alasan kak Rafa selalu mengomel padaku jika aku duduk di kursi dekat pintu masuk saat melakukan perjalanan jauh. Setelah beberapa saat kami berada dalam keheningan menikmati laju perjalanan, akhirnya Nugraha membuka pembicaraan, "Oma kamu di Bandung tinggal sama siapa, Elsha?"

Seraya masih menikmati pemandangan, "Oma tinggal sama Opa, Nug."

Netraku terus menatap layar ponsel, guna mengecek gadget yang hampir tiga hari ku non-aktifkan data selulernya.

Klening-Klening!

Jangan mencari darimana asal bunyinya, karena suara itu berasal dari ponselku, dengan dua puluh kali suara dari bilah pemberitahuan yang baru saja mendarat diponselku.

"Wahh Elsha, banyak notif ya, jangan-jangan—" ucap Nugraha terjeda.

Aku menautkan kedua ujung alisku, "Jangan apa?"

"Selebgram nih," ejeknya.

"Engga kok, baru aktifin data seluler. Jadi, notif baru masuk semua, niat hati sih cuma mau liat gps doang—padahal," jawabku ringan dan mematikan layar ponselku.

"Tenang Elsha. Kan aku mah tahu daerah Bandung jadi gak usah pake gps." Nugraha berusaha meyakinkanku seolah kini dirinya adalah penjelajah sejati di Bandung.

"Yakin? Terus, ini kira-kira kita udah sampe mana? Pasundan bukan?" tanyaku bingung.

"Belum. Sekitar tiga puluh menitan lagi lah." Nugraha duduk seraya memeluk tas ranselnya. Lalu, beberapa saat kemudian ia pun mendekatkan diri ke arah telingaku seraya berkata samar, "Elsha hp nya nanti aja maininnya, bahaya, ini angkutan umum."

Nugraha kembali memperingatiku kemudian kini ia berusaha menutupi ponselku dari mata jahat. Aku pun  menurutinya dan sesegera mungkin memasukkan ponselku ke dalam tas.

"Pasundan! Pasundan!!" teriak kernet kepada penumpangnya.

"Syukurlah, akhirnya kita sampai juga di terminal Pasundan," tukas Nugraha lega. "Kira-kira, udah inget belum daerah ini dan jalan mana yang menuju ke rumah oma kamu, Elsha?"

Pertanyaannya terdengar ringan. Namun, sulit sekali menjawabnya, apalagi aku harus bermain dengan memori ingatan yang bermental kentang ini —tidak sanggup mengingat secara detail.

"Aku belum inget, tapi tempat ini kayak gak asing sih." Seraya mengedarkan pandangan ke segala arah dari dalam bus.

"Ya sudah yuk!" Ajaknya,

Elsha dan Nugie [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang