18. | Maaf Aku Berbohong

104 76 29
                                    

"Kita tidak boleh hidup dalam kebencian, dendam dan iri hati, maafkan saja, perlahan keikhlasan dari maaf kita akan menghadirkan kebaikan."
—Nugie. (by Elsha dan Nugie)


Selang waktu dua minggu, akhirnya Nugraha melamarku secara resmi dihadapan kedua orang tuaku dan keluarga besarku. Kini di jari manisku dan Nugraha telah melingkar cincin yang sangat indah, cincin yang menjadi bukti pengikat antara cintaku dan juga Nugraha. Cincin sepeninggalan Ayah dan Ibunya.

Kupikir setelah ini, aku dan Nugraha akan hidup bahagia, tapi ternyata aku harus berlapang dada lagi untuk satu tujuan, —pendidikan Nugraha.

"Elsha."

"Iya, saya Nugieku??"

Setelah menghela napas berat "Lusa—" Kulihat ia kemudian meneguk air liurnya dalam, "Aku akan berangkat ke Belanda."

Aku diam tertegun, seperti petir yang sedang menyambar diriku dengan amat kuatnya, walaupun hari itu cuaca sangat cerah. Mendengar kalimat dari mulutnya saja sudah membuat perasaanku kalut, tapi aku berusaha mencoba tenang dan tegar.

"Pendidikanmu, apa tidak bisa ditunda dulu sampai kita selesai menggelar pernikahan, Nugie?" pintaku pasrah.

"Tidak bisa, Elsha." Ia menolak dengan tegasnya seolah memang tidak dapat lagi untuk ditunda.

"Tapi kamu belum pulih total!" ujarku sengit.

"Aku sudah konsultasi dengan dokter yang ada di sini, mereka ada kenalan dokter spesialis paru-paru di Belanda, jadi mereka memberikan alamat ini untuk aku kontrol di sana," ia menunjukkan alamat tempat ia kontrol di Belanda nanti, tapi aku terlanjur tidak bersemangat menyambutnya.

"Kamu, yakin tetap mau ke sana?" tanyaku sekali lagi.

"Nugie, apa kamu tidak lihat kecemasanku? Bagaimana aku bisa melepasmu pergi dariku setelah maut yang hampir saja merenggutmu. Bahkan merenggut setengah warasku ini??" batinku gusar.

"Iya, Elsha. Ini impianku, kamu ikut aku ke sana yah!" ajaknya dengan segenap pendirian yang tetep gigih ia pertahankan.

Bagaimana ini? Keputusan ini amatlah berat untukku. Kalau ke Bandung saja masih dikhawatirkan, apalagi ke Belanda sana yang jauh di mata. Bisa-bisa Mama juga akan ikut pindah rumah ke Belanda demi aku karena tidak ingin berpisah dengan putri satu-satunya ini.

"Aku, pikir-pikir dulu," jawabku lirih dengan segala kekalutan.

"Kak Rafa dan kak Arsyad sudah setuju kok kalo kamu ikut sama aku ke sana," celetuknya yang justru membuatku geram.

"Tapi bagaimana dengan Mamaku? Papaku? Yakin mereka setuju juga? Oke lah mereka percaya sama kamu lebih dari aku. Tapi aku ini anak bungsu, Nugie. Anak emas yang amat dimanja sama Mamaku!" tegasku.

"Kamu gak yakin sama aku, Elsha?" tanyanya seolah aku telah meragukannya. Ia benar-benar tak memahami posisiku kali ini.

Pertanyaan macam apa itu? Aku bahkan hampir kehilangan setengah warasku karena kukira kecelakaan itu akan merenggut nyawanya. Sekarang dengan mudah ia melontarkan kalimat yang mengiris hatiku ini bahkan membuatku semakin gusar tak berdaya harus memilih siapa diantara dirinya dan keluargaku.

"Bukan gitu, Nugie," jawabku menghela napas berat. "Gini deh. Aku yakin betul jikalau aku bisa mandiri di sana, aku juga yakin di sana aku aman karena kamu yang pasti akan jagain aku. Tapi aku gak bisa tinggal lebih jauh dari ini sama Mamaku, Nugraha," kataku yang tak lagi memanggilnya dengan sebutan Nugie. "Karena kan, kamu tahu Mamaku yang sangat membutuhkan aku, Mamaku juga yang sangat takut jauh dariku. Toh, kalau kamu ajak aku sekarang aku juga belum menikah sama kamu. Tentu kamu gak ada hak untuk rebut aku paksa dari Mamaku."

Elsha dan Nugie [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang