Utamakan membaca Al-Qur'an guys😊
******
"Bu, kenapa ibu gak bilang soal ini? Ini banyak lho, Bu. Bu, aku dapat uang darimana?" tanyaku kepada Bu Sinta---ibu kandungku sendiri.
"Sabar, Nak. Ibu cuman menurut saja. Yang keluarin biaya saja ibu mertuamu."
"Masih calon, Bu," tekanku. Aku mengacak rambutku kesal. Pusing memikirkan soal biaya pernikahan ini.
"Nak, kamu terima saja, ya. Kamu sudah menyerahkan semuanya kepada ibu dan mamamu 'kan untuk mengurus acara pernikahanmu?"
Aku mengangguk. Memang benar, tetapi tidak begini juga. Coba bayangkan 700 juta kalau buat aku lebih baik untuk mengadakan syukuran, beli rumah, dan lain sebagainya. Hanya dalam satu hari biaya sebanyak ini?
Ya Allah, maafkan calon mama mertuaku yang mengeluarkan uang sebanyak ini. Bagiku ini pemborosan. Aku tak mau seperti ini. Namun, untuk mengatakannya pasti akan membuat calon mama mertuaku sedih.
"Bu, aku tuh mau bantu Mas Tio juga buat biaya pernikahan. Kalau begini, gimana, Bu? Aku mau jual apa?" cicitku penuh kesal.
Kuusap wajahku lalu berdiri dari ranjang yang ada di kamar ibu. "Bu, aku maunya pernikahanku sederhana saja. Gak perlu keluarin biaya banyak. Yang penting 'kan setelah pernikahan itu, Bu. Aku sama Mas Tio mampu gak menjalani pernikahan dengan baik."
"Nak, ibu harus gimana? Mama mertuamu itu lho senang banget. Dan, gak terlalu memikirkan soal biaya pernikahanmu. Ibu ya, nurut saja toh. Lagian yang bayar sepenuhnya mama mertuamu. Ibu mau mengeluarkan uang saja gak dibolehin. Hanya soal acara di rumah kita saja ini, Nak kita keluarin biaya sendiri. Soal acaramu di hotel itu, tidak sama sekali!"
Perkataan ibu membuatku makin terkejut. Sekaya apa sebenarnya mama mertuaku?
"Sudah, Nak. Kamu terima saja. Tio itu anak satu-satunya, Nak. Mungkin mama mertuamu itu berpikir ingin memberikan yang terbaik untuk anak satu-satunya. Hargai saja, Nak. Orang gak menyusahkan kita, kok. Gak perlu repot."
"Ibu .... " Bibirku mengerucut. Gampang sekali ibu berkata. Niatku baik ingin membantu meringankan biaya pernikahan ini. Namun, tampaknya ibu tidak terlalu pusing memikirkan soal itu.
"Coba deh, kamu telfon Tio sana."
Aku mengangguk saja. Hendak pergi keluar kamar, namun dicegah sama ibu.
"Kamu fokus perawatan saja. Ingat apa kata mama mertuamu, 'kan? Supaya Tio pangling. Siapin mental juga buat malam pertama nanti," ujar Bu Sinta sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku.
Aku hanya mengangguk saja lalu pergi ke luar dari kamar ibu dan ayah. Memutuskan untuk duduk di kamarku sendiri.
Kembali memandangi rincian biaya pernikahanku yang fantastis ini. Kepalaku sampai pusing. Kuputuskan untuk tidur sejenak.
*******
Malam menyapa, calon mama mertuaku mengajak vidio call denganku. Menanyakan soal gaun untuk resepsi pernikahanku. Sebelumnya, aku sudah memilih dari foto-foto yang ditunjukan oleh calon mama mertuaku itu. Lagi-lagi ini tidak seperti apa yang kubayangkan. Tetapi, aku menurut saja. Jika memang begini adanya, acara pernikahanku pasti begitu mewah. Apa kata tetangga yang melihatnya nanti. Mereka pasti menanyai macam-macam. Mengira bahwa keluargaku telah berhutang.Kali ini, aku mendapatkan kiriman foto gaun resepsi pernikahan yang begitu indah. Tampak lebih indah daripada gaun resepsi pernikahanku yang sudah kupilih.
"Lihat 'kan, Tiara? Bagus banget, lho ini. Mama berpikir, kamu mau ganti gaun untuk resepsi ini?"
"Iya Ma, bagus banget," ujarku jujur.
Gaun resepsi pernikahan yang kupikir berbahan kain satin. Berwarna putih dan tentunya terlihat glamour jika aku memakainya.
"Tadi tuh mama lagi main ke tempat temen mama. Dia baru buka butik sebulan lalu. Dan, mama menemukan gaun resepsi yang cantik ini. Kamu gak mau pakai yang ini saja, Tiara?" tanya Mama Diah dengan senyuman lebar.
Aku mengerjapkan kedua mata. Menimbang-nimbang, aku harus tetap memikirkan soal harga sewanya. "Berapa harga sewanya, Ma?"
Mama Diah tersenyum. "Tenang saja soal harga, Tiara. Murah banget, lho."
"Berapa, Ma?" tanyaku penasaran.
"Hmm ... sekitar 5 jutaan lebih dikit," jawab Mama Diah dengan santainya.
Kedua mataku membulat. Kuremas bajuku dengan kuat. Harga sewanga lima juta lebih berapa gitu. Huh, ini mah bagiku mahal sekali.
Kupijat keningku yang terasa cenat-cenut. Gara-gara memikirkan biaya pernikahan yang mahal ini membuatku makin pusing. Aku belum membicarakannya dengan Mas Tio. Aku tahu Mas Tio sedang sibuk bekerja. Sebelum pada akhirnya menikah denganku.
"Kamu sakit, Tiara?" tanya Mama Diah khawatir. Aku tersenyum. Berusaha menenangkan Mama Diah.
"Mama lega dengarnya kalau kamu baik-baik saja. Jangan sampai sakit, ya. Pernikahanmu sebentar lagi, lho. Jangan kecapekan."
"Iya, Ma."
"Kamu ini sama seperti Tio, kalau kerja gak pernah kenal lelah. Uang bisa dicari, tetapi tubuh yang sehat? Pikiran yang sehat? Bisa dicari dimana? Jaga kesehatan itu penting, Tiara," omel Mama Diah.
Aku hanya tersenyum saja. Mama Diah ini seperti ibu saja. Suka mengomel jika anaknya sakit. Ya, namanya seorang ibu. Tentu mengkhawatirkan keadaan anaknya. Aku memahami soal itu, bagaimanapun nanti aku akan merasakannya. Menjadi seorang ibu.
"Jangan senyum saja, laksanakan, ya! Mama gak mau kamu sakit. Ntar mama mau bilang sama Tio supaya setelah menikah kamu gak perlu kerja saja. Di rumah, nungguin Tio pulang kerja. Udah gitu saja. Nemenin mama di rumah juga."
Aku hanya mengangguk saja. Tak bisa berkata apa lagi. Hanya diam di rumah? Aku juga ingin. Tetapi, kalau aku udah sukses. Uangku masih kurang untuk membuatku diam di rumah. Impianku juga masih banyak. Salah satunya ingin membuat kandang peternakan kambing dan sapi.
"Tio uangnya udah banyak, kamu gak perlu kerja, ya. Kamu jadi milih gaun ini, 'kan," tanya Mama Diah.
"Ma, gaun sebelumnya saja, ya."
"Oh, gak mau pakai gaun ini saja? Bagus, lho," bujuk Mama Diah.
Lima juta? Aku makin pusing yang ada. Tetapi, Mama Diah sepertinya ingin aku memakai gaun itu untuk resepsi pernikahanku nanti.
"Ya udah, Ma. Aku ngikut saja."
"Kamu terpaksa supaya mama bahagia, ya?"
Aku menggelengkan kepala dengan keras. "Enggak kok, Ma."
Memang kenyataannya gaun itu bagus. Hanya saja, aku memikirkan soal biaya sewanya yang segitu.
"Ya udah, fiks ini ya, Tiara?"
"Iya, Ma."
"Kamu gak perlu khawatir soal biaya, ya. Ya udah, mama tutup, ya. Kamu banyak istirahat. Udah, melakukan hal yang membuatmu senang saja. Jangan jadikan biaya ini menjadi beban. Gak usah kamu pikirin ya, Tiara. Mama tahu pasti kamu memikirkan soal biaya untuk acara pernikahanmu. Tenang saja, Tiara."
"Ma .... "
"Udah, kamu dengerin apa yang mama katakan. Mama tutup, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Sambungan vidio call terputus. Aku menghela nafas lelah. Memutuskan kembali merebahkan tubuh di ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertuaku Kaya Raya
ChickLit21+ Bijaklah memilih bacaan! Cerita ini hanyalah FIKSI! Memiliki lelaki setia untuk dijadikan suami adalah impianku. Tentunya yang bertanggung jawab dan imam yang baik bagi keluargaku. Tetapi, aku tak menyangka. Bahwa aku justru mendapatkan hal yan...