Bab 8

1.2K 25 0
                                    

Utamakan membaca Al-Qur'an guys

******

Komentarnya dong guys, supaya makin semangat lanjutinnya

******

"Mas Tio, kita gak nginap di hotel saja?" tanyaku kepada Mas Tio yang sedang memainkan ponselnya. Apalagi jika bukan game, aku sampai hafal dengan kebiasaannya itu. Asal Mas Tio tahu kewajibannya dan tidak suka berselingkuh. Aku sangat membenci pengkhianatan.

"Kamu ingin kita nginap di hotel?" tanya Mas Tio balik sambil menatapku.

"Enggak, sih. Cuman di sini 'kan sepi, Mas."

Mas Tio mengusap bahuku. "Kamu takut?"

"Mas Tio 'kan tahu bagaimana aku. Ya jelas takutlah. Aku 'kan mudah kagetan, Mas."

Mas Tio meletakkan ponselnya. Ia memelukku dari samping. "Kamu gak perlu takut. Ada Mas yang selalu berusaha menjagamu. Ada Allah yang menjaga kita."

Kuhela nafas pasrah. Tampaknya Mas Tio memang tak ingin menginap di hotel. Namun, pemikiranku tertuju pada lembaran kertas itu. Jika disini sepi, apakah mungkin tetangga di dekat sini yang memberikan kertas itu. Lalu, bagaimana bisa masuk hingga aku tidak bisa mendengarnya? Aku lupa, tadi keasyikan tidur karena lelah.

"Ya udah, kamu tidur, ya. Mas ngantuk."

Aku mengangguk dan berbaring di ranjang. Setelah Mas Tio tidur dengan lelap. Aku putuskan beranikan diri mencari sesuatu yang mencurigakan di sini.

Sudah setengah jam aku menahan diri supaya tidak ikut tidur. Wajah Mas Tio menghadapku, memeluk pinggangku dengan erat. Bagaimana bisa aku keluar dari kamar? Akhirnya, aku memutuskan sampai Mas Tio berbalik badan.

Sampai se-jam aku bisa melepaskan diri dari pelukan Mas Tio. Kutoleh Mas Tio yang tertidur dengan lelap. Kami melewatkan malam pertama lagi. Lagipula aku juga belum siap. Mas Tio juga tidak memintanya. Jika Mas Tio memintanya, aku tak bisa menghindar lagi. Dulu, aku tak menolak karena Mas Tio mengerti sendiri.

Ada alasan aku takut melakukannya. Kata teman-temanku yang sudah menikah, rasanya sakit.

Aku melangkah pelan ke luar kamar. Menyusuri tiap ruangan yang sekiranya aku dapatkan petunjuk di sana. Pada sebuah ruangan di bawah tangga membuatku menghentikan langkah. Ah, aku baru melihatnya. Maklum, jika dilihat secara detail hampir mirip dengan warna cat di tembok ini yang berwarna biru tua.

Kudorong dengan pelan, gelap dan berdebu. Membuatku terbatuk-batuk. Aku lupa membawa senter lagi. Kuputuskan ke luar saja. Tak betah berada di dalam yang lama-lama membuatku sesak.

Kualihkan pandangan ke seluruh penjuru rumah dengan teliti. Tidak ada yang mencurigakan. Sampai pandanganku tertuju kepada batu yang terletak di dekat tangga lagi dan agak tersembunyi. Aku melangkah mendekatinya, dan ternyata ada lembaran kertas juga.

Pikiranku makin mengangkasa. Aku tak mau berpikir negatif tentang Mas Tio. Akan tetapi, lembaran kertas dan batu ini tidak mungkin ada di sini secara tiba-tiba sedangkan seluruh pintu di villa ini sudah terkunci. Hatiku sakit jika kenyataannya memanglah Mas Tio yang sengaja melakukannya. Karena hanya ada Mas Tio dan aku di sini.

"Pergilah! Jangan berharap bisa pergi dari sini jika kamu tidak segera pergi!"

Aku menangis dan kuremas kertas itu. Kubuang di tempat sampah. Badanku bergetar dan tak bisa harus kembali ke lantai dua.

"Mas Tio, sebenarnya apa yang terjadi? Apa memang benar kamu yang melakukan ini semua? Jahat kamu, Mas," ujarku dengan air mata yang semakin deras.

Mertuaku Kaya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang