Bab 7

1.4K 24 0
                                    

Utamakan membaca Al-Qur'an guys

******

Tubuhku memang berbaring di kasur yang empuk itu, tetapi pikiran berkelana dimana-mana. Dua kertas dengan isi berbeda. Akan tetapi, yang satu membuatku ketakutan.

Tak henti bibirku berdzikir. Berusaha menenangkan hati. Aku memilih meringkuk dengan menyelimuti tubuhku. Aku tak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi. Jika memang hanya sekedar bercanda, rasanya itu tidaklah mungkin.

Bunyi pintu dibuka membuatku gemetar ketakutan. Ibu, aku takut. Mas Tio kenapa lama pulangnya?

"Tiara, kamu sakit?" Mas Tio berjalan cepat menuju diriku. Meletakkan tangan kananya didahiku, mengusapnya dengan kelembutan.

Ternyata, Mas Tio yang membukanya. Ah, aku baru ingat bahwa pintu kamar ini tidak kukunci. Supaya Mas Tio langsung masuk saja.

"Kamu kenapa?" tanyanya khawatir.

Aku menggeleng dan memeluknya. "Mas Tio kenapa lama?"

"Tumben kamu manja. Mas tinggal sebentar kok."

Satu jam lebih itu sebentar baginya? Iya juga sih, sebelum menikah aku tidak begini. Kenapa setelah menikah justru malah merindu.

"Makan dulu, yuk!" ajak Mas Tio sambil membantuku bangun menuju lantai bawah dimana letak ruang makan terletak.

Dua bakso dengan dua air mineral. Aku mengambil dua mangkok dan memberikan satu mangkok yang sudah terisi bakso kepada Mas Tio.

"Setelah makan nanti ke tempat mama, ya?"

"Kenapa Mas Tio gak bilang? Aku 'kan belum siap-siap?" tanyaku menahan kesal. Tadi, katanya ingin membawaku menuju suatu tempat sebagai kejutan darinya. Lalu, sekarang bilang ingin mengajakku ke tempat mama?

Mas Tio meraih pergelangan tanganku. "Tadi 'kan mas udah bilang, Sayang?"

"Yang mana?" tanyaku masih dengan nada kesal. Ya, Allah. Ampuni aku. Hanya karena pesan itu membuatku kesal sekaligus takut.

"Lembaran kertas yang mas berikan sama kamu. Nanti, setelah ke tempat mama, mas akan mengajakmu ke suatu tempat. Mas bilang tadi tuh supaya setelah makan kita bisa langsung menuju tempat mama."

Aku menundukkan kepala. Maafkan aku, Mas. Sikapku mungkin terdengar tak mengenakkan bagimu. Tetapi, aku punya alasan dan tentu aku tidak bisa mengatakannya. Aku bertekad akan mencari kebenaran atas lembaran kertas berisi ancaman itu. Semua kulakukan demi kebaikan kita. Walau mungkin aku harus menahan rasa takut.

"Maaf, Mas. Setelah ini aku bakal siap-siap. Cepet kok, Mas," ujarku dengan suara pelan.

"Ya udah." Aku dan Mas Tio berdo'a lalu mulai menikmati bakso.

******

"Tiara, mama gak bisa lama nemenin kamu, ya. Kamar apartemen mama ya begini saja. Oh, ya itu loh oleh-oleh dari mama untuk kamu," tunjuk Mama Diah pada tas dan wedges yang ada di sofa.

"Terima kasih, Ma." Aku tak bisa mengatakan apapun lagi. Berdua dengan mama mertua dalam sebuah ruangan yang mewah membuatku hanya diam berkutik. Mama Diah juga memintaku memakai wedges saat acara pembukaan restoran baru miliknya.

Aku baru tahu bahwa Mama Diah begitu sibuk karena mengurus acara ini. Restoran yang dibangun sejak tiga bulan yang lalu baru selesai sekarang karena ada suatu kendala yang tidak bisa Mama Diah jabarkan padaku. Cukup lama bagiku.

"Oh, ya kamu sama Tio tinggal dimana?" tanya Mama Diah membuatku mengerutkan dahi. Mas Tio tidak mungkin tidak memberi tahu tempat tinggal kami selama disini kepada Mama Diah? Namun, melihat kebingungan di wajah Mama Diah membuatku yakin bahwa Mas Tio belum memberitahukannya.

"Tinggal di villa punya Mama," jawabku.

"Astaghfirullah."

Aku tersentak kaget mendengar ucapan Mama Diah yang agak keras.

"Kenapa bisa-bisanya Tio mengajak tinggal kamu disana?"

Aku hanya menggelengkan kepala. Tak mengerti akan maksud dari Mama Diah. Tunggu ... apa mungkin ada sesuatu yang telah terjadi di villa itu dan memang aku tidak mengetahuinya? Apa mungkin Mas Tio sengaja menyembunyikannya dariku?

"Memangnya kenapa, Ma?" tanyaku penasaran.

"Tidak apa-apa, kamu minta Tio nginap di hotel saja. Biarpun mahal yang penting aman," kata Mama Diah yang menurutku keceplosan.

"Yang penting aman?" tanyaku lagi pura-pura tak tahu. Sungguh sepertinya aku layak menjadi seorang artis karena aktingku ini. Walau memang kenyataannya aku tak tahu detail masalah yang terjadi.

Mama Diah menggeleng dan tersenyum. Gelagat aneh dari Mama Diah membuatku semakin yakin.

Pikiranku semakin berkelana. Apa mungkin kemewahan ini didapatkan dari hasil mencuri? Atau lebih kejamnya lagi dari hasil bersekutu dengan makhluk halus? Ya Allah, semoga saja tidak benar apa yang aku pikirkan. Lalu, kertas itu menunjukkan bahwa membutuhkan korban untuk dijadikan tumbal? Sungguh, aku tidak mau ini terjadi. Semoga saja pemikiranku tidaklah benar.

Mas Tio adalah sosok yang baik dan rajin ibadah. Tidak mungkin berbuat seperti itu. Aku harus positif thinking.

"Ya sudah, pokoknya kamu minta saja Tio untuk ajak kamu nginap di hotel. Di villa itu 'kan sepi, kamu gak takut? Katanya tadi kamu ditinggal Tio keluar? Sendirian 'kan di villa," ujar Mama Diah yang benar adanya.

Aku mengangguk. "Iya, Ma. Nanti aku akan bilang ke Mas Tio."

Mama Diah menggenggam kedua tanganku. "Tiara, mama senang kamu jadi istri Tio yang bisa mengerti Tio dengan baik. Mama berharap, kamu selalu menjaga kepercayaan Tio. Percaya sama Tio, bahwa Tio adalah lelaki yang pantas untuk kamu."

Aku menganggukkan kepala pelan. Perkataan Mama Diah seakan semakin membuatku yakin akan pikran negatifku soal harta kekayaan yang didapatkan oleh Mama Diah dan Mas Tio.

Aku ingat soal Bi Siti yang tinggal sebelum papa mertuaku meninggal. Sebaiknya aku menanyakan soal ini kepada Bi Siti setelah pulang dari sini.

"Aku yang justru berterima kasih kepada Mama. Mau menerimaku apa adanya, Ma."

"Tiara, Tio sudah mengambilmu dari orang tuamu. Menjadikanmu istrinya. Seperti orang tuamu yang menjagamu dengan baik, maka mama dan Tio akan menjagamu dengan baik. Mama sudah menganggapmu sebagai putri mama sendiri."

"Ma, Mama gak malu 'kan aku yang jadi istri Mas Tio?" tanyaku saat mengingat perkataan tetangga Mama Diah waktu itu.

"Kamu ngomong apa, sih." Mama Diah tampak tak suka mendengar perkataanku.

"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Udah nikmati yang ada, jalani yang ada dengan baik. Tetap bersyukur dan semangat menjalani hidup. Kenapa kamu jadi psimis gini? Coba katakan sama mama dengan jelas."

Aku terdiam. Bagaimana bisa aku mengatakannya pada Mama Diah?

"Tiara, katakan sama mama," desak Mama Diah.

"Mama kapan ajak Tiara ke makam papa?" tanyaku mengalihkan perhatian Mama Diah.

"Oh, ya. Kamu belum sama sekali diajak ke makam papa sama Tio, ya?"

"Pernah sekali, Ma. Tetapi, aku lupa letaknya," ujarku.

Mama mengangguk-anggukkan kepala. "Ya udah, ntar setelah urusan ini selesai. Mama ajak kamu sama Tio ke makam papa."

"Iya, Ma."

Biarlah ini kusimpan sendirian. Sebelum aku menemukan kebenarannya. Aku tak mau jika pesan itu nanti akhirnya membuatku dan Mas Tio bertengkar.

Mertuaku Kaya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang