Bab 13

941 22 0
                                    

Utamakan membaca Al-Qur'an guys😀

******

Suara benda jatuh membuatku mengalihkan pandangan pada seorang wanita paruh baya yang sedang membawa beras dengan karung sedang. Kenapa tidak ada yang menolongnya?

Dengan inisiatif aku membantunya. "Ibu mengangkat beras ini sendirian?"

Wanita paruh baya itu mengangguk. "Anak saya sedang sakit di rumah."

Aku merasa sedih mendengarnya. Perjuangan seorang ibu dalam merawat sang anak. Walau beban berat didapatkan, tetapi melihat senyuman bahagia sang anak membuat semangat bagi sang ibu.

Ternyata berbicara pada orang yang baru dikenal nyatanya asyik. Tidak semua orang yang baru dikenal buruk seperti yang dibayangkannya selama ini. Ia harus mampu menafsirkan semuanya dengan gamblang, bukan dengan apa yang ada dalam pikirannya saja. Ia harus mampu berfikir rasional dalam menyimpulkan sesuatu. Sehingga hanya ada sisi positif yang ada dalam kehidupannya nanti.

"Ya sudah saya bantu, Bu. Oh, ya rumah Ibu dimana?"

"Saya ini bekerja mengangkat beras, orangnya sudah di parkiran."

Aku mengangguk kaku mendengarnya. Sungguh berat sekali beras segitu. Untung barang yang kubeli sedikit, aku membantu wanita ini membawa beras ke pemilik aslinya. Walau agak kesusahan.

Hendak sampai parkiran, sebuah tangan menggenggamku, membiarkan tangan itu yang mengangkat beras sendirian. Ternyata, Mas Tio.

"Terima kasih, ya Dek," ujar wanita itu kepada aku dan Mas Tio. Aku membuka dompetku, memberikan dua lembar uang dua ratus ribu untuk wanita itu.

"Untuk apa?"

"Buat berobat anaknya, Bu."

"Alhamdulillah. Terima kasih, Dek." Wanita paruh baya itu menangis sesenggukan. Aku mengelus bahunya dengan pelan.

"Saya pulang duluan ya, Bu. Ibu masih bekerja dulu apa pulang?" tanyaku.

"Masih bekerja."

"Ya sudah, hati-hati, Bu. Kami pulang duluan." Mas Tio tersenyum menatap wanita paruh baya tadi.

Dengan tarikan tangan yang kuat membuatku terdiam kaku. Saat mobil melaju meninggalkan pasar, aku memilih diam saja.

"Sayang, kenapa tadi gak panggil Mas dulu?" tanya Mas Tio membuatku mengerjapkan kedua mata.

"Seharusnya tadi aku saja yang mengangkatnya, bukan kamu," lanjut Mas Tio berkata membuatku tersenyum manis.

"Mas Tio, tidak masalah 'kan tadi aku memberikannya uang?" tanyaku.

Mas Tio terkekeh pelan. "Mas justru senang. Karena istri Mas melakukan hal kebaikan. Dimanapun kamu berada, tetaplah berbuat baik, Sayang."

Aku mengangguk dan tersenyum.

"Uangku banyak, kamu bisa minta sama aku." Mas Tio mengedipkan sebelah matanya membuatku mencebikkan bibir. Aku tahu uang Mas Tio memang banyak, saking banyaknya aku tak tahu harus kugunakan untuk membeli apa.

"Kita mampir ke rumah ibu dan ayah, ya," ujarku.

"Iya, kita pulang dulu saja, ya. Kita letakkan dulu sayuran di kulkas. Nanti Mas bantu kamu memasak."

Aku mengacungkan jempol kananku ke Mas Tio.

Jika diam begini, aku jadi teringat tadi malam. Dimana membuka kado-kado yang diberikan. Ada satu kado membuatku membelalak melihatnya. Baju minim dan terlalu terbuka menurutku. Ternyata pemberian dari Mama Diah.

Mertuaku Kaya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang