Bab 2

3.3K 43 3
                                    

Utamakan membaca Al-Qur'an guys😁

*****

"Mas Tio, kamu tahu 'kan soal pernikahan kita nanti? Mama udah bicara sama kamu?"

Mas Tio hanya diam. Ya, calon suamiku itu sedang berbicara dengan orang lain di seberang sana. Ia diabaikan. Sungguh kejam hatimu, Mas, batinku berkata.

Bibirku mengerucut kesal. Aku bingung memikirkannya. Tak mungkin biaya pernikahan hanya ditanggung mempelai lelaki saja, aku kasihan dengan Mas Tio. Tetapi, jika begini jadinya bagaimana diriku bisa membayarnya? Apakah aku harus bekerja pagi-siang-malam supaya mendapatkan uang? Mana bisa di waktu yang singkat ini.

"Mas Tio," rengekku. Aku sudah panik, dia justru asyik berbicara dengan yang lain.

"Iya, ada apa?"

Aku makin cemberut mendengar perkataan Mas Tio. Aku tahu dia sibuk. Mengurus bisnisnya, dan sekarang sedang di luar kota. Pulang-pulang, langsung molor.

Hanya lima hari Mas Tio di luar kota untuk mengurus pekerjaan. Setelahnya hanya akan duduk diam di rumah sembari menanti acara pernikahan tiba.

"Kamu tahu 'kan soal pernikahan kita?"

"Iya, mama udah bicara sama aku."

"Terus?"

"Hmm, terus gimana?" tanya Mas Tio bingung.

Aku menghentakkan kaki penuh kesal. Mengepalkan satu tanganku dan memukul meja dengan pelan.

"Mama udah bilang soal dekorasi dan tetek bengeknya?" tanyaku dengan gamblang.

"Udah, kenapa, sih?"

"Mas Tio, itu 'kan mahal. Aku bingung gimana cara bayarnya. Aku gak mungkin bisa bantu kamu." Air mata yang sempat kutahan tadi mengalir begitu saja. Aku menangis.

"Kamu tidak perlu memikirkan soal itu. Biar aku yang nanggung. Aku ini ingin memberikan yang terbaik untuk kamu. Sayang ... kamu nangis?"

Aku menggebrak meja dengan keras. Kukibaskan tangan yang terasa sakit. Bisa-bisanya disaat seperti ini Mas Tio bersikap manis padaku. Jiwa rinduku makin meronta-ronta ingin menemuinya. Padahal, baru tadi malam Mas Tio berangkat ke luar kota.

"Mas Tiooo .... "

"Tiara, kamu tidak perlu khawatir, ya. Anggap saja itu bukti perjuanganku kepadamu. Bukti cintaku padamu."

"Tetapi, Mas. Apa gak pemborosan?"

"Enggak, demi kamu aku akan lakukan apapun itu. Kamu yang tenang, ya. Mas mau kembali kerja. Kamu jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Pokoknya kamu harus terus tersenyum. Jangan suka telat makan. Mas sayang kamu."

Aku menatap wajahku di cermin. Sungguh malu. Jika Mas Tio berbicara di hadapanku secara langsung, aku takut kalau pingsan. Biarpun terlihat lebay, tetapi nyatanya baru kali ini aku mendapatkan pujian dari lelaki yang aku cintai. Setelah banyak lelaki yang hanya memberikan harapan palsu. Kata-kata manis yang ternyata berakhir pahit.

"Tiara, kok diam?" tanya Mas Tio heran.

"Iya, Mas Tio. Aku akan laksanakan perintah Mas Tio! Siap, Bossku," ujarku dengan senyuman lebar. Walaupun Mas Tio tidak melihatnya.

Mertuaku Kaya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang