Bab 5

2.2K 31 0
                                    

Dahulukan membaca Al-Qur'an guys

*****

Mama mertuaku mengarahkan kameranya pada satu tas bermerk mahal itu. Bukan hanya itu saja, ada satu wedges yang ia pikir pasti harganya lumayan mahal. Tingginya 7 cm. Kedua mataku membulat melihatnya. Apa kaki tidak akan sakit menggunakan wedges setinggi itu?

"Bagaimana, bagus 'kan?" tanya Mama Diah.

Aku yang sedang duduk di sofa saja sampai berdiri kaget melihat barang-barang tersebut.

Tadi pagi, Mama Diah menelfonku. Karena tadi malam jam 11 aku tak mengangkatnya. Tentu, aku sudah berada di alam mimpi. Entah ada apa, ternyata karena ingin memperlihatkan barang yang dibeli Mama Diah.

"Itu buat kamu, Tiara."

"Hah ... buat aku, Ma?" tanyaku kaget.

Diseberang sana, Mama Diah mengangguk dengan senyuman lebar. "Iya, mama sengaja beli itu untuk kamu."

"Ma, apa harganya mahal?" tanyaku dengan suara pelan.

"Mahal mah gak masalah, yang penting kamu senang. Tenang saja, ini hadiah dari mama karena kamu mau menikah dengan Tio."

"Te---rima kasih, Ma."

Mama Diah mengangguk. "Kamu udah makan? Tio masih di rumah, 'kan?"

"Masih, Ma. Mas Tio masih ada di rumah. Ini lagi tidur dia, Ma."

Aku menoleh ke arah ranjang dimana Mas Tio sedang asyik tidur. Beruntungnya Mas Tio tidak mengorok. Aku kesulitan tidur ketika mendengar orang yang mengorok.

"Ya udah, puas-puasinlah jadi pengantin baru. Kalau udah punya anak, jarang punya waktu berduaan, pasti bertiga, ber-empat, berlima. Hahahaaa .... "

Aku hanya tersenyum saja.

Jujur perkataan mama tadi soal memberikanku tas dan sepatu mahal itu masih terpikirkan di pikiranku. Aku tak suka dengan hal pemborosan. Konsumerisme akan membuatku terbiasa. Tetapi, untuk menolak hanya akan membuat mama kecewa.

"Oh ya, Tiara. Mama mau belikan kamu gamis sekalian. Huh, disini bagus-bagus. Lain kali mama ajak kamu deh kesini. Ntar kita shopping bareng," celetuk Mama Diah membuatku makin terkejut dibuatnya. Itu tas dan wedges sudah mahal, mau belikan aku gamis lagi? Mau berapa juta mama membeli untuk sekedar oleh-oleh saja.

"Kamu ngantuk, ya? Kok diam saja. Ya, udah deh. Mama tutup, ya. Eh, maaf ya. Mama ganggu pengantin baru."

"Enggak kok, Ma," ujarku merasa tak enak.

Lalu setelahnya telfon ditutup diakhiri dengan salam.

Aku menghela nafas lelah. Lagi-lagi pertanyaan yang sama muncul. Sekaya apa mama mertuaku, dan bisnisnya apa sebenarnya?

******

Pagi menjelang, aku segera mandi dan memasak di dapur. Membuatkan sayur sop ayam kesukaan Mas Tio. Dengan sambal kecap dan menggoreng kerupuk udang.

Dibantu Bi Siti yang menggoreng kerupuk udang. Sedangkan, aku memasak sop ayam. Rumah sebesar ini hanya ada dua pembantu. Aku berpikir pasti mereka capek mengerjakannya.

Mertuaku Kaya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang