19

913 29 3
                                    

Dahulukan membaca Al-Qur'an ya guys

*****

Ada yang rindu tidak, ya?😐

******

Selama masih hidup, memiliki kesabaran yang luas itu memang perlu dilakukan. Terlebih, banyaknya cobaan yang datang bisa jadi membuat hati ingin menyerah. Aku selalu menerapkan kata sabar walaupun di keadaan yang tidak baik sekalipun. Memang tidak mudah, tetapi jika di hati selalu ada nama allah, insyaAllah semuanya akan mudah.

Dibanding-bandingkan dengan orang lain, difitnah, dihina, diperlakukan yang tidak baik pun aku tetap sabar. Walau hatiku rasanya udah ingin teriak meluapkan emosiku selama ini. Tetapi, aku punya Allah yang selalu ada untukku. Aku punya Allah.

Mereka mungkin bisa memperlakukanku tidak baik, tetapi bukan berarti aku juga harus melakukan hal sama. Aku memiliki hati, dengan ketulusan hati hendaknya aku harus mampu menahan amarah di situasi apapun. Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan amarah. Justru terkadang karena amarah membuat orang celaka. Untuk itulah perlunya mengendalikan emosi dan amarah di situasi apapun.

Tanpa mengurangi rasa hormat, Mas Tio mendesak Tante Septi untuk mengatakan semuanya. Aku hanya bisa tersenyum tipis melihatnya. Memilih diam dan tak ikut campur.

"Tio, tadi itu .... "

"Tidak perlu berbohong lagi, Tante. Sudah cukup sikap Tante selama ini kepada keluargaku, sekarang Tante mau merusak rumah tanggaku juga?" sentak Mas Tio lalu beristighfar. Ia tidak lagi bisa menahan amarah. Aku memahaminya.

"Oh, istrimu itu bukan wanita yang baik, Tio. Apa kamu yakin bahwa anak yang dikandungnya adalah anakmu? Bisa jadi anak orang lain, 'kan?" Tante Septi berkata dengan nada tinggi dan mencemooh.

Hatiku sakit mendengar perkataannya yang sama sekali tidak benar. Tega-teganya menuduhku.

"Istriku adalah wanita yang baik, Tante Septi tidak perlu mengatakan apapun lagi. Aku bisa menjebloskan Tante ke penjara atas perbuatan Tante selama ini," ujar Mas Tio dengan nada dingin. Aku tersenyum kala Mas Tio tidak percaya dengan perkataan Tante Septi.

"Memangnya tante telah melakukan apa?" tanya Tante Septi pura-pura tak tahu. Aku hanya mendengus melihatnya.

Kulangkahkan kaki meninggalkan mereka, walaupun Mas Tio tak henti untuk memanggilku. Memilih pergi daripada mendengar perdebatan mereka yang ujung-ujungnya membuat hatiku sakit.

Duduk di ranjang sambil bermain ponsel memang mengasyikkan. Kubuka salah satu aplikasi membaca. Novel romance religi, mengkisahkan suami istri yang terpaksa berpisah karena terkena bencana alam. Hidup di tempat yang berbeda, lost contact. Namun, takdir mempertemukan keduanya. Perasaanku serasa dicampur aduk saat membaca novel tersebut, penuh haru, emosi, juga sedih di saat bersamaan. Kebahagiaan mereka bertambah setelah sang istri melahirkan bayi mungil nan cantik. Hanya 30 bab, singkat, padat, dan jelas.

Air mataku menetes, novel ini berhasil membawaku terbawa suasana. Hingga derap langkah kaki Mas Tio membuatku tak sadar bahwa Mas Tio sudah berada di sampingku dengan wajah masam. Ternyata cukup lama Mas Tio berbincang dengan Tante Septi.

"Maaf," kata Mas Tio begitu saja.

Aku mengerutkan dahi atas perkataannya.

"Maaf," katanya lagi dengan air mata yang menetes. Jantungku berdegup kencang mendengar perkataan maafnya. Apa mungkin memang benar Mas Tio mengkhianatiku sejauh itu?

"Maaf untuk apa?" Kuberanikan diri berkata, walau rasanya berat.

"Maaf telah membuatmu sakit hati atas perkataan Tante Septi. Maaf, selama ini Mas tidak tahu bagaimana sikap Tante Septi kepadamu, Sayang."

Aku tertegun mendengarnya. Kupikir Mas Tio akan membahas soal foto dan gadis itu. Ternyata justru sebaliknya. Hormon kehamilan ditambah novel yang kubaca tadi, membuat air mata ini kembali menetes.

Kedua tangan Mas Tio mengusap air mataku yang luruh begitu saja. "Jangan menangis, mas akan selalu di sampingmu, Sayang."

"Tidak ada yang ingin Mas Tio jelaskan kepadaku?" tanyaku dengan suara serak.

Mas Tio mengalihkan pandangan.

"Mau sampai kapan? Aku melihatnya sendiri, Mas."

"Kamu jangan percaya dengan foto itu!" serunya.

"Aku melihatnya langsung, bukan sekadar foto yang ditunjukkan oleh Tante Septi. Mau sampai kapan kamu menyembunyikannya? Kamu mau aku selalu menerka yang tidak-tidak? Aku selalu berusaha positif thinking, tetapi bagaimanapun aku punya hati, perasaan Mas."

Aku memilih menjauh darinya, beranjak dari ranjang dan memutuskan duduk di kursi rias. "Mas, apa kamu tidak memikirkan kondisiku?" tanyaku dengan sedih.

"Bukan begitu, Sayang."

"Lalu apa?"

Mas Tio terdiam, begitu saja perjuangannya kepadaku?

"Keterdiamanmu membuatku beranggapan bahwa memang kamu mengkhianatiku!"

"JANGAN KATAKAN YANG TIDAK-TIDAK, TIARA!" bentaknya menatapku tajam.

Hatiku semakin sakit mendengarnya. Pertengkaran terhebat yang pernah aku alami selama menikah dengan Mas Tio. Ya Allah, beginikah akhirnya? Perpisahan yang mungkin membuatku tak akan merasakan sakit hati saat melihatnya dengan gadis lain.

"Ti--ara, Sayang. Maafkan, Mas," kata Mas Tio dengan sedih. Mas Tio mendekatiku dan memelukku dengan erat. Kami menangis bersama.

"Kamu tega, aku selalu setia sama kamu. Begini balasan kamu padaku, Mas? Kurang apa aku? Untuk apa kamu menikahiku jika akhirnya begini? Untuk apa?" Kucengkeram kemeja Mas Tio dan menangis sekencang-kencangnya.

"Tiara, semua itu tidak seperti apa yang kamu pikirkan."

"Lalu apa? Kamu hanya diam dan tidak menjelaskan. Kamu tidak percaya sama aku, Mas." Aku menangis dengan sesenggukan, Mas Tio hanya diam sambil mengusap punggung badanku. "Aku pikir kita memang butuh waktu. Biarkan aku tinggal di rumah orang tuaku, Mas," lanjutku berkata sambil menatap kedua matanya yang memerah.

Mas Tio menggelengkan kepala. "Mas tidak mengizinkan!"

"Tolong jelaskan, Mas. Apa kamu mau aku sakit hanya karena memikirkanmu dengan gadis itu? Aku sedang mengandung anakmu. Kenapa begitu berat mengatakan kejujuran, Mas."

"Tiara, Mas belum bisa mengatakan yang sejujurnya. Percayalah sama Mas, bahwa Mas tidak mengkhianatimu. Semua yang dikatakan Tante Septi tidaklah benar. Begitupula apa yang kamu lihat."

Aku memilih diam, menggigit bibir menahan tangisanku. Apa perlu aku mencari tahu sendiri? Mendatangi gadis itu dan memintanya untuk mengatakan kebenarannya.

"Lalu apa apa yang sebenarnya?"

Mas Tio mencengkeram pundakku. "Mas akan menceritakan semuanya kepadamu. Mas butuh waktu, kamu cukup percaya sama Mas. Hanya kamu wanita yang Mas cintai selain wanita yang mengandung Mas, Sayang. Kamu percaya, 'kan?"

Aku memilih diam, menatap kedua mata Mas Tio dan ekspresi wajahnya yang sama sekali tidak menunjukkan kebohongan. Mas Tio jujur, lalu gadis itu siapa? Tetapi, bukannya lega justru aku takut jika Mas Tio pandai mengendalikan diri.

"Mas Tio, biarkan aku tidur!" Aku berkata sambil memalingkan muka.

Terdengar helaan nafas dari Mas Tio, aku memutuskan untuk berdiri dan membaringkan tubuh di ranjang. Mungkin tidur adalah pilihan yang baik untuk saat ini. Percuma saja aku mengeluarkan emosi dan keluh kesahku, nyatanya Mas Tio tidak mengatakan tentang hubungannya dengan gadis itu. Aku harus tetap sehat demi bayiku.

"Mas ke luar sebentar, kamu di rumah saja. Jaga diri dengan baik."

Aku hanya bergumam lirih. Suara pintu tertutup menandakan Mas Tio sudah pergi dari kamar kami. Sudah biasa aku ditinggal, bedanya kali ini ditinggal dalam keadaan hati yang sedang kacau.

Mertuaku Kaya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang