2.978 Km

1K 130 28
                                    

Tay memandangi setelan kemeja putih lengkap dengan jas berwarna abu-abu miliknya. Tergantung rapi di pintu lemarinya. Entah kenapa pakaian ini seperti sudah menantinya begitu lama. Mata Tay juga beralih pada satu benda kecil yang juga tergantung jadi satu dengan pakaiannya. Sepotong plastik kecil. Tapi bukan plastik biasa, di sana tertera tulisan jelas mengenai posisi dirinya di perusahaan ayahnya. Ya, inilah hidup yang ia miliki.

Tay segera mengambil pakaian tersebut dan mengenakannya. Ia bercermin menatap dirinya sendiri untuk memudahkannya memakai dasi. Rasanya ini memang kesehariannya dari dulu sebelum 'apa-apa' itu terjadi. Ia tahu semua ini ibu yang menyiapkan. Sedangkan dirinya dan Joss sudah pergi sebelum ia bangun. Tay bisa menebak jika mereka pergi ke bandara untuk mengantar kepulangan New ke Bangkok. Hmm... Kenapa jadi mereka yang peduli? Sebenarnya Tay ingin sekali bertemu dengan New sebelum ia terbang, namun apa daya, dirinya tidak bisa menjamin bahwa ia sanggup melakukan itu. Jadi, ia sengaja bangun lebih siang seakan-akan ia ketinggalan pesawat New karena bangun terlambat. Benar-benar usaha pengelakkan yang konyol. Tapi setidaknya itu berhasil, buktinya ia masih punya niat untuk berangkat kerja hari ini. Ayahnya sendiri sudah pergi lebih awal juga. Sepertinya mengurus kontrak kerja dengan mitra yang baru. Haaahh... Intinya hidupnya seputaran itu saja. Setelah semuanya dirasa sudah rapi, Tay mengambil tas kerjanya yang ada di atas meja. Tapi ia termenung ketika melihat kamera miliknya. Ia jadi memikirkan, siapa saja potret yang ada di dalam kartu memorinya. Tay mengerang kesal lalu pergi begitu saja untuk mengabaikan perasaan-perasaan yang bisa saja membuatnya jadi melankolis lagi.

Sesampai di meja makan, Tay menemukan para asisten rumah tangga sudah sibuk di dapur dan di meja makan. Sibuk apalagi kalau bukan menyiapkan sarapan.

"Silahkan dinikmati sarapannya, Tuan Tay," sambut salah satu ART.

Tay mengangguk kecil, upaya untuk menjaga rasa hormatnya kepada pekerja di sini. Padahal ia sedang tidak ingin melakukan prosedur-prosedur tata krama antara majikan dan anak buah. Kenapa tidak bisa jadi santai sedikit sih? Mesti ya mereka kaku begitu? Membungkuk sana-sini untuk memberi hormat atau salam.

Dan di sinilah Tay, semalam ia baru pulang dari Singaraja dan memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya mengikuti ibunya. Ia belum terpikirkan untuk pulang ke rumah pribadinya. Sepertinya mentalnya tidak akan baik jika harus hidup sendiri dulu, walaupun penghuni rumah ini juga penguji mental terbesarnya. Beraneka menu sarapan ada di hadapannya. Tapi sayang, Tay harus makan sendiri di meja yang besar. Setidaknya harus ada seseorang di sebelahnya. Satu orang saja yang makannya agak kalap, sehingga Tay punya kesempatan untuk membersihkan bibirnya yang belepotan.

"Paman, bibi, ini makanannya kebanyakan. Aku mana bisa habisin sendiri," kata Tay sambil memandangi tumpukan pancake yang cukup tinggi. "Ayo kita makan bareng, aku gak mau makan sendiri."

"Tapi tuan-"

"Udahlah paman, gak apa kok. Lagian gak ada siapa di rumah. Ayo kita makan, ajak yang lain ya," pinta Tay. Akhirnya pelayan yang ada di sana menemani tuannya untuk sarapan di pagi yang cerah ini. Walaupun sikap mereka agak canggung dan malu-malu, tapi Tay cukup senang kalau pelayan-pelayan ini setia dengan dirinya dan pastinya mereka tidak memberi tekanan.

***

Jika dari rumah orang tuanya, Tay memang selalu berangkat ke kantor dengan supir. Beda sekali jika dari rumahnya sendiri, ia lebih suka mengendarai Mini Cooper miliknya. Ah, bagaimana nasib mobil imut itu ya? Dimana dia sekarang?

Tay memasuki pintu masuk gedung kantornya. Sebenarnya Tay sudah terlambat dari jam kerja yang semestinya, tapi mau bagaimana pun ia punya hak untuk bisa melakukan itu. Ketika ia berjalan menuju ruang kerjanya, Tay merasa bingung, semua pegawai yang ia lewati melemparkan senyuman yang ramah kepadanya. Tak sedikit pula yang menyapanya dengan antusias.

TayNew Met in BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang