Osaka [edited]

1.1K 135 13
                                    

WAJIB BACA 🫶🏻
Halo, selamat datang. Terimakasih sudah mampir, aku harap kalian menikmati cerita ini. Sebelumnya aku mau disclaimer dulu; aku bukan penulis profesional, aku menulis untuk kesenangan semata, tanpa target atau bayaran.

Bahasa yang aku pakai jauh dari tatanan bahasa baku atau non baku dan kepenulisan yang benar, aku hanya menuangkan imajinasiku ke dalam bentuk tulisan dengan kosakata yang aku tau dan aku mengerti saja.

Makasih 🫶🏻
Happy reading!

☆☆☆

Sebuah rumah dengan gaya arsitektur Jepang tradisional berdiri megah di distrik Osaka. Nakamoto Mori adalah pemiliknya, ia duduk di alas jerami dengan hidangan kue manis dan chawan berisi teh hijau, dagu terangkat, penuh keangkuhan.

"Panggil Yuta sekarang!" Titahnya.

Semilir angin pagi yang segar membelai pipinya lembut, ia memejamkan mata menikmati tenangnya kampung halaman yang sebenarnya sama sekali tidak dirindukan. Atensinya buyar ketika seseorang dengan penuh rasa hormat menghampirinya, seorang lelaki tua bernama Shuji yang sejak kecil merawatnya.

"Tuan, ibu sudah menunggu di dalam" katanya.

Yuta berdecih, "sekarang apalagi?"

Sreeeek!

Shuji membukakan pintu, Yuta pun masuk dan tatapan nyalang Mori lah yang menyambutnya, dia tersenyum miring sambil berdecih malas.

"Duduk" kata Mori.

Yuta terkekeh mendengar perintah ibunya, muak dan bosan dengan keangkuhan wanita dihadapannya.

Nakamoto Mori, ibu dari pemegang bisnis gelap di Jepang itu bisa dibilang kunci dari kesuksesan Yuta, didikannya sangat keras, tapi tentu itu membuat pribadi Yuta menjadi pribadi yang sama angkuhnya.

"Ada apa? Saya sibuk"

Mori melempar amplop keatas meja, Yuta segera mengambil dan mengeluarkan isinya. Beberapa berkas hasil pemeriksaan dari sebuah rumah sakit jiwa dan foto seorang perempuan dengan kimono yang lusuh.

Yuta melirik Mori dengan penuh pertanyaan.

"Urus perempuan itu"

"E-?!"

"Namanya Fuko Kiritani, ibu butuh tandatangan dan stempel wanita itu"

"Bunuh saja dan ambil stempelnya. Selesai" balas Yuta sambil beranjak dari duduknya.

"Ibu ingin dia tetap hidup, dia adalah aset, kita harus main beesih"

"Kalau gitu ibu yang yang urus, semua yang kita mainlan di bisnis ini jelas kotor. Ingin memainkan permainan bersih yang bagaimana yang ibu maksud?"

Shuji segera membukakan pintu setelah Yuta memberinya isyarat, sekon kemudian.

Srak!

"YUTA!"

Yuta berbalik, ibu nya yang memakai kimono itu menodongkan pedang, ancaman yang udah sangat biasa dia terima, Yuta bedecih. Bukannya takut Yuta justru jalan mendekat.

"Tuan--" kata Shuji sambil menahan Yuta yang terlihat kesal, Yuta terdiam.

"Iya bunuh saya kalau bisa! Dari pada minta saya yang urus, lebih baik anda bayar orang lain, ini hal kecil tak perlu di besar-besarkan!"

Zraaaatttsss!

Samurai terhunus sempurna di perutnya, "jangan buat ibu kesal!"

Darah segar terciprat ke tubuh bahkan wajah Yuta, ia hanya bisa memejamkan mata dan mendengar gemeretak giginya sendiri, emosinya memuncak apalagi saat ia menoleh dan melihat Shuji sedang sekarat di lantai.

Yuta mengeluarkan pistol dari pinggangnya.

Dor!

Peluru itu jadi akhir penderitaan Shuji, daripada melihatnya sekarat dan mati perlahan lebih baik Yuta segera mengakhirinya. Bukan bodoh, semua pasti berpikir kalau Shuji bisa saja selamat kalau segera di larikan ke rumah sakit, tidak. Yuta paham dengan perhitungannya, ditembak ataupun tidak Shuji akan tetap mati, pilihannya hanya mati cepat atau mati perlahan.

"Kalau mau membunuh orang, lakukan dengan benar. OKASAN" setelah mengambil berkas di meja, Yuta pun pergi dan meninggalkan ibunya yang diam tanpa sepatah katapun.

*okasan: ibu*
•••

"Fuko-san" panggil seorang perawat yang baru saja membuka pintu.

Wanita berambut panjang, mencari sumber suara yang memanggilnya lalu tersenyum.

Tubuh kecilnya terbalut straitjacket, sebuah pakaian yang memiliki lengan panjang sehingga dapat diikat kebelakang, ia memakainya karena sering menyakiti diri sendiri bahkan orang di sekitarnya. Ruangan itu kosong, tidak ada tempat tidur atau benda apapun, Fuko bersimpuh duduk dilantai.

"Waktunya minum obat" suster itu melangkah mendekat dan menyiapkan beberapa pil.

"Bisa buka jendela dulu? Saya janji tidak akan lompat lagi, saya hanya ingin menghirup udara segar" kata Fuko sambil melihat ke arah jendela.

"Obatnya sudah siap" ucap suster yng hendak menyuapinya dengan beberapa butir obat.

"Buka dulu jendelanya"

Suster itu benar-benar tidak boleh membuka jendela, semenjak Fuko mencoba untuk kabur.

"Nona Fuko, saya belum bisa buka jendelanya sekarang, nanti saya buka kalau kamu udah minum obat ya" balasnya berusaha tenang, "sekarang buka mulutnya"

Fuko menggeleng.

"Kali ini tolong kerjasamanya Fuko, ada orang yang mau jenguk kamu, tapi kamu harus minum obat dulu"

Braaakh!!!

"Lama!" Bentak Yuta, setelah membuka paksa pintu ruangan, beberapa orang berlari dibelakanganya, mereka coba mencengah, tapi tidak ada yang bisa menahannya.

Yuta melangkah mendekati Fuko lalu berjongkok dan menunpu sikunya di lutut, "minggir!" Katanya pada perawat yang terlihat bingung.

Yuta segera merebut beberapa obat dari tangan perawat dan mencengkram rahang Fuko dengan 1 tangan dan tangan lainnya memasukan obat kedalam mulut Fuko.

"Akh!"

Gerakan spontan itu mengagetkan Fuko sekaligus tidak memberi waktu baginya untuk melawan. Dengan paksaan pula Yuta memberi Fuko minum agar obatnya ditelan sempurna.

UHUK!

UHUK!

Obatnya tertelan tapi tenggorokan Fuko terasa sangat sakit, ia terbatuk. Kemudian perawat menepuk punggung Fuko.

"Bukan begitu caraya tuan" kata perawat itu sambil menatap Fuko khawatir.

Hening...

Yuta berdecih, "jadi ini Fuko Kiritani? Benar-benar terlihat tidak waras."

Besambung

[EDITING ON PROCESS] YUTA'S Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang