Deandra menatap siluetnya di depan cermin. Memperhatikan setiap inchi tubuhnya. Ia takut masih ada yang kurang. Digerakkan tubuhnya mengoreksi bagian mana yang harus diperbaiki. Gaun selutut dengan sedikit memamerkan bahu mulus, membuatnya terlihat manis. Tidak tertutup juga tidak terlalu terbuka. Juga sedikit payet menambah gaun berwarna navy-nya tampak elegan. Warna yang disukai Bian. Mengingat nama itu, membuat Deandra menyunggingkan senyum.
Ia mendekatkan wajahnya pada cermin. Ada yang aneh dengan wajahnya. Oh, tidak. matanya terlihat mengerikan.
Ia segera mengambil consealer di atas meja rias dan mengoleskan pada bagian bawah matanya. Ia merutuki kabodohannya karena tidak bisa menghentikan buliran bening yang terus mendorong keluar dari persembunyiannya. Semakin ia mencoba melepaskan semuanya, air matanya semakin tak bisa dikendalikan.
Tidak, Ia tidak boleh terlihat menyadihkan. Ia bukan wanita lemah. Ia harus bisa membuktikan jika dunianya akan baik-baik saja meski harus melewati jalan yang berbeda.
Tanpa sadar terlihat ada genangan di ujung matanya. Dengan cepat ia menghapusnya. Takut jika nanti akan meninggalkan jejak yang akan membuatnya semakin kacau.
Setelah dirasa cukup, ia menuju rak sepatu di samping lemari bajunya. Dari banyaknya model sepatu, ia memilih heels warna senada dengan dress yang ia kenakan untuk melengkapi penampilannya.
Buru-buru ia keluar dari ruangan yang dipenuhi barang-barang pribadinya. Karena di luar sana sudah ada orang yang berteriak-teriak sambil mengumpat tidak karuan. Ya ampun. Tidak bisakah bersabar sedikit?
"Hai, Nif!" sapa Deandra tanpa dosa kepada sahabatnya yang bernama Hanif. "Gue udah siap nih," lanjutnya tak mempedulikan Hanif yang memasang wajah kesal.
"Lo gila ya. Dua jam gue nungguin lo, tau nggak. Dateng-dateng malah cengengesan. Lo itu dandan, apa nyalon?" protes Hanif menyeringai.
Deandra terkekeh melihat tingkah sahabatnya. "Udah deh, nggak usah drama."
"Yang drama itu elo, bukan gue. Tega ya, bikin gue jamuran kayak gini," gerutunya.
Deandra memutar bola matanya jengah. "Hanif, gue bela-belain dandan kayak gini bukan buat denger ocehan lo. Salah lo sendiri ngapain minta bareng gue. Gue kan udah bilang kalo gue bisa sendiri," kata Deandra sambil berlalu yang diikuti Hanif dari belakang.
"Ya kali gue ke sana sendirian. Ntar dikiranya gue nggak suka ngegandeng cewek lagi," ketus Hanif.
"Emang gitu kan nyatanya. Belom pernah gue lihat lo jalan sama cewek."
“Gue pemilih, De,” tampiknya.
"Pemilih atau ...." Deandra melirik sahabatnya curiga.
"Apa?"
"Jangan-jangan lo suka lagi sama gue?" Dengan santainya Deandra mengucapankan kata itu yang membuat Hanif terdiam tak mau membalas. Ia hanya memasang wajah jengah saat mendengar penuturan Deandra.
"De ...."
"Apa lagi? Belom puas lo ngomelin gue?" sargasnya tanpa menghentikan langkah. Ia tidak tahu jika raut wajah Hanif berubah.
"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Hanif mengekorinya dari belakang.
Seketika langkah Deandra terhenti. Tiba-tiba tenggorokannya tercekat, kerongkongan yang tadinya basah, seketika terasa begitu kering. Lidahnya pun kelu untuk mengucapkan kata. Ia tersenyum miris. Ingin sekali ia mengumpat pada Hanif yang dengan gamblang menanyakan keadaanya. Tidak tahukah selama ini ia berusaha untuk menerima semuanya? Susah payah ia terlihat untuk tidak peduli. Dengan menanyakan itu, Hanif membuat perjuangannya sia-sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
General Fiction"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...