Hari demi hari telah berganti, minggu demi minggu telah terlewati, dan ini sudah menginjak bulan kedua Deandra tak mendengar suara Bian. Laki-laki itu tak sekalipun menghubungi Deandra untuk menanyakan kabar atau yang lain. Apakah dia sudah melupakannya?
Deandra sangat merindukan Bian, ia merutuki kebodohannya yang telah memintanya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan dirinya. Lalu bagaimana jika Bian tak kembali, apa yang harus ia lakukan?
Ia tak sanggup jika harus kehilangan Bian dengan cara seperti ini, hatinya tak pernah rela melepaskannya begitu saja dengan apa yang telah ia perjuangkan.
'Kembalilah, kembalilah untukku,' harap Deandra dalam hati.
"Dean, udah lama nunggunya?" tanya seorang laki-laki berlesung pipit yang sudah duduk di meja yang Deandra tempati. Dia adalah Fadi teman sekelas Deandra. Beberapa waktu ini mereka dekat karena tuntutan tugas kuliah juga komunikasi mereka yang 'nyambung'. Tak heran jika mereka cepat sekali akrab. Pembawaan Fadi yang humble juga Deandra yang tidak membatasi diri, membuat mereka tak lagi canggung.
Fadi kerap mengisi kekosongan Deandra di luar tugas kuliah. Mereka juga sering terlihat jalan bersama. Deandra menikmati hubungan yang mereka jalin. Toh, hanya sekadar berteman tidak masalah, bukan? Hanif juga tidak keberatan. Bahkan dia memberi ruang untuk Fadi menggantikan posisinya saat ia sibuk mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk minggu-minggu ini.
"Nggak, kok. Gue juga baru nyampe," jawab Deandra mengembangkan senyum.
"Lo udah pesen belom, gue pesenin sekalian, ya," kata Fadi celingukan bersiap memanggil waitress karena memang meja mereka masih kosong.
"Nggak perlu. Barusan gue udah pesen, lo juga udah gue pesenin. Moccaccino latte, kan?" Deandra tak menampik jika kedekatan mereka yang masih singkat membuat Deandra sedikit banyak tahu tentang apa yang sering dan disukai laki-laki berlesung pipit itu.
"Udah hafal aja," kata Fadi menyunggingkan senyum.
"Gimana gue nggak hafal, tiap kita jalan yang lo pesen itu mulu," timpal Deandra menunjuk gelas berisi moccaccino yang baru mendarat di mejanya dengan ujung dagunya.
Fadi mengangguk menerima penjelasan Deandra.
Tak lama ia mengeluarkan Laptop dari tasnya.
"Gue udah nyelesein tugas kita, tadinya mau gue kirim langsung tapi gue mau minta persetujuan lo dulu," kata Fadi menyodorkan laptop miliknya menghadap Deandra.
Deandra tampak men-scroll data-data yang sudah rapi. Mengecek apakah masih ada yang kurang atau tidak dipahaminya.
"Kayaknya udah cukup," sahut Deandra kemudian. "Yaudah, tinggal kirim aja. Nanti keburu masang petasan tuh, dosen."
"Bisa aja, lo," kata Fadi mengambil alih laptopnya sambil terkikik geli.
"Hanif masih sibuk?" tanya Fadi di sela-sela perhatiannya mengotak-atik hasil tugasnya.
"Kayaknya sih, gitu. Tau sendiri, dia kalo udah tenggelam sama tugasnya suka lupa kalo punya temen," cibir Deandra setelah menyeruput jus alpukat pesanannya.
"Bisa gitu, ya."
"Namanya juga Hanif si manusia aneh," kata Deandra tak bisa menahan ujung bibirnya yang terangkat ke atas ketika menyebut 'manusia aneh'. Tapi, memang benar, menurutnya Hanif sedikit aneh. Tiba-tiba muncul, tiba-tiba menghilang, tiba-tiba suka mengekori ke mana ia pergi, kadang menjadi orang yang menyebalkan dan kadang menjadi orang yang paling mengerti dirinya. Apa namanya kalau bukan aneh?
"Dasar, lo." Fadi sempat melirik ketika Deandra mengucapkan kata itu. Ia kembali menatap lekat pada layar berukuran lebih dari 17 inch untuk melanjutkan tugasnya.
Sedangkan, Deandra meraih ponselnya di atas meja ketika terdengar suara notifikasi masuk. Entah pesan dari siapa itu, yang jelas setelah membaca pesan yang diterimanya, ujung bibirnya terangkat ke atas. Matanya berbinar.
"Di, gue duluan ya, ada urusan." Deandra mengangkat pundak hendak beranjak pergi.
"Mau kemana, De? kita kan belom selesai," tanya Fadi mengangkat kepalanya.
"Itu kan tinggal kirim doang, nggak masalah lah gue pergi duluan. Ntar gue hubungin lo lagi, ok," kata Deandra. Sebelum pergi ia ke kasir untuk membayar tagihan kemudian beranjak keluar cafe dengan sedikit berlari.
Fadi menghela nafas panjang di tempatnya mengikuti arah dimana bayangan Deandra menghilang dari balik pintu.
Dengan hati berbunga-bunga, Deandra terus melangkahkan kaki menuju tempat yang ada di pesan pribadinya. Hari ini adalah hari yang ditunggunya selama ini. Ia mulai tidak sabar untuk segera bertemu.
"Bian!" panggil Deandra tak jauh dari Bian yang berdiri di pinggiran danau.
Laki-laki itu menoleh mendapati Deandra sudah berada di belakangnya beberapa langkah.
Deandra langsung berhambur ke pelukan Bian. Tak memperdulikan laki-laki itu yang hendak bersuara. Memeluknya erat. Sungguh ia sangat merindukan Bian. Saking rindunya, ia sampai meneteskan buliran bening dari pelupuk matanya. Antara bahagia, sedih, senang, dan kecewa. Semua bercampur menjadi satu. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Untuk saat ini ia hanya ingin memeluk Bian seerat mungkin tanpa memberi ruang bagi Bian walau hanya untuk sekedar bernafas.
Salahkan Bian yang tak pernah memberinya kabar, salahkan dia yang pergi terlalu lama. Tidak taukah ia, jika dirinya tersiksa dengan keadaan ini.
"Aku nggak bisa nafas, Beo," ungkap Bian mencoba melepaskan diri.
Deandra menggeleng bahkan memperdalam pelukannya.
"Kamu kenapa sih, kok jadi gini?"
"Biarin kayak gini dulu, Bian," sahut Deandra memejamkan mata di dada bidang Bian. Ia merasakan Bian juga balas memeluknya. Itu membuatnya semakin tenggelam dalam dekapan Bian. Setelah sekian lama, akhirnya ia merasakan ini lagi. Pelukan hangat yang menenangkan jiwanya.
"Aku kangen," ungkap Deandra.
"Aku juga, Beo." Bian menenggelamkan kepalanya pada leher Deandra. Menghirup aroma tubuh Deandra yang selalu menjadi candunya.
"Kenapa lama sekali?" Deandra mendongak memperhatikan wajah Bian dari bawah
"Maaf udah bikin kamu nunggu," jawab Bian sambil mengusap puncak kepala Deandra.
"Kenapa nggak pernah hubungin aku?" tanya Deandra menuntut penjelasan, "aku hampir gila nggak pernah dapet kabar dari kamu."
"Akhirnya kamu tau kan rasanya jauh dari aku," goda Bian menyentil ujung hidung Deandra, "Makanya jangan minta aku buat pergi dari kamu lagi, kamu sendiri yang nggak kuat, kan?"
"Kamu jahat." Deandra memukul dada Bian pelan meluapkan kekesalannya.
Bian gemas melihat tingkah kekasihnya yang seperti anak kecil.
"Gimana urusan kamu sama Vera?" tanya Deandra setelah mereka duduk di salah satu kursi yang terbuat dari batang pohon yang dihaluskan permukaannya.
"Semua udah baik-baik aja," kata Bian tersenyum ke arah Deandra.
"Dia udah nerima kalo aku pacar kamu?"
"Udah, nggak usah dipikirin. Yang penting sekarang aku udah sama kamu lagi dan milih kamu sebagai orang yang mengisi hatiku," pinta Bian sambil menarik tubuh Deandra agar bersandar ke pelukannya.
Mereka menikmati pertemuan mereka pertama kali setelah perpisahan sementara yang mampu membuat dua sejoli kalut. Melepas rindu yang menyiksa empunya karena harus terus menahan sampai hari ini. Penantiannya tidak sia-sia. Apa yang ia harapkan, akhirnya kembali padanya.
"Jangan lagi-lagi memintaku melakukan ini, Beo. Aku-pun tersiksa berada jauh darimu," kata Bian membelai rambut Deandra dengan mata menerawang jauh ke arah danau.
Deandra mengangguk, "nggak akan lagi, Bian. Ini yang pertama dan untuk yang terakhir. Aku ingin kita terus sama-sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
Ficción General"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...