Dua tahun telah berlalu, dan Deandra masih menjalani hidupnya dengan baik. Bahkan saat ini ia sudah bekerja di salah satu kantor swasta di kota itu, juga masih bersama Ray yang hampir setahun setengah membuka usaha perbengkelan. Dengan keuletannya, ia berhasil membuat bengkel motornya ramai oleh pelanggan, bahkan ia juga harus memperkerjakan karyawan untuk membantu menyelesaikan masalah pelanggan.
Tidak hanya bengkel, Ray juga membuka cafe tepat di depan bengkel. Ia menyewa tempat itu dari hasil bengkel yang ia kelola selama setahun. Niat itu berawal dari teman-temannya yang suka nongkrong, ditambah lagi Deandra mengusulkan jika ada baiknya membuka cafe, tidak hanya bisa berkumpul dengan anak-anak, tapi ia juga akan mendapat pemasukan. Karena dipikir menguntungkan, Ray menyetujuinya. Banyak yang berkunjung ke cafenya di jam makan siang atau pulang kantor. Anak sekolah juga tidak luput meramaikan suasana cafe. Untuk cafe yang baru saja launching, adalah kemajuan yang sangat bagus. Termasuk juga Deandra yang datang sekadar meminta jatah makan atau ingin bertemu dengan pemiliknya, dan satu alasannya adalah ia dipercaya oleh Ray untuk mengurus keuangan di sana. Awalnya Deandra sempat menolak, namun Ray memaksa. Lagi pula waktunya tidak terlalu mengikat karena tidak perlu datang setiap hari, cukup seminggu sekali di akhir pekan, sehingga tidak mengganggu aktifitas kerjanya di kantor. Akhirnya ia menerima tawaran Ray.
Anehnya, selama beberapa tahun ini, Bian tidak pernah terlihat. Mengunjungi bengkel dan cafe milik Ray juga tidak. Bukankah Bian masih satu geng dengan Ray, tapi entah mengapa sosok Bian hilang bagai di telan bumi. Tak jarang teman yang lain menanyakan kabar laki-laki itu, namun tak satu pun tahu apa yang telah terjadi dengannya. Sebagai teman yang solid, mereka selalu mengharapkan yang terbaik untuk Bian meski mereka tidak lagi bertemu.
Sore itu, seperti biasa Deandra duduk di meja paling pojok dekat kaca yang memudahkannya melihat suasana luar cafe, sekaligus memperhatikan setiap sudut ruang cafe. Menyaksikan hilir mudik orang-orang yang akan menikmati akhir pekan mereka. Untuk weekend, suasana kota tidak begitu padat seperti biasa. Mungkin karena di luar sedang gerimis, sehingga sebagian orang malas untuk menghabiskan malam di luar. Entahlah, ia tidak begitu memikirkannya.
Dialihkan pandangannya pada bengkel Ray yang sudah tutup lima belas menit yang lalu. Sementara sang pemilik masih membersihkan diri di belakang sebelum menemui tambatan hati, yaitu Deandra.
Deandra mengetuk meja berirama dengan ujung jari mengusir kejenuhan yang melanda. Di hadapannya sudah ada moccachino yang tinggal setengah. Bunyi dentingan lonceng spontan membuatnya menoleh ke arah pintu masuk, membuyarkan lamunan yang sempat tercipta. Sepasang remaja muncul dari balik pintu kaca dengan rona bahagia, seakan dua insan itu sedang dimabuk asmara. Terlihat dari tautan jemari yang tidak mau melepaskan satu sama lain dan wajah berseri keduanya.
Detik berikutnya, ia menarik lengan bajunya untuk melihat jam yang melingkar, lalu matanya mengarah pada ruangan Ray dengan pintu terbuka. Sepertiya laki-laki itu masih belum selesai mandi karena ruangannya masih kosong. Diangkat pundaknya bangkit dan berjalan menuju ruangan yang biasa Ray gunakan untuk mengecek laporan yang sudah tergeletak di meja tiap harinya.
Demi membunuh kejenuhan menunggu Ray selesai, ia berinisiatif mengamati laporan keuangan di sofa. Namun ketika matanya sibuk memperhatikan angka di kertas yang nantinya akan disalin, ia dikejutkan dengan sesuatu yang terjatuh dari sela-sela tumpukan kertas yang ia bawa. Tanpa ada pikiran yang macam-macam, dipungutnya kertas tebal berwarna pink di lantai.
Hm, dua lembar kartu undangan dengan warna girly. Jika dilihat dari konsepnya, seperti kartu undangan pernikahan. Siapa teman Ray yang akan menikah dalam waktu dekat ini, kenapa dia tidak pernah memberitahunya. Mengingat tentang pernikahan, rasanya Deandra juga ingin berada di momen itu, mendengar calon suaminya mengucapkan ijab qobul di hadapan saksi. Sebenarnya ia sudah merencanakannya dengan Ray, mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk menggelar acara yang sakral itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
Ficción General"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...