“Berat banget, ya?”
Deandra terhenyak dalam lamunan yang sempat menyelimutinya ketika suara asing menyeruak pada pendengaran. Kepalanya menoleh ketika seseorang mengisi ruang kosong di udara tak jauh dari duduknya.Alih-alih berkomentar, matanya sibuk mencari tanda-tanda apakah ada orang lain di sana selain dirinya yang mungkin sedang diajak bicara oleh orang asing itu. Alhasil, untuk jarak yang dekat tidak ada lagi selain dirinya sendiri. Tidak mungkin orang itu mengajak bicara orang yang jaraknya hampir duapuluh meter dengan suara yang bisa di katakan pelan.
Bibirnya terkatup rapat. Tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan yang mungkin ditujukan kepadanya. Ia lebih memilih kembali menerawang jauh pada perahu kertas yang berhasil dihanyutkan ke danau beberapa menit yang lalu. Membiarkannya terbawa oleh angin sampai ke dasar dengan membawa beban hatinya. Berharap semua ikut tenggelam hingga tak berani muncul lagi ke peermukaan.
“Lo tau nggak sih, kata orang kesedihan itu sesuatu yang nggak terucap dan nggak terungkap,” katanya lagi setelah sebelumnya mendaratkan tubuhnya dengan lancang di sebelah Deandra dan hanya berjarak beberapa jengkal saja. Tanpa melirik. Hanya memandang jauh ke depan seolah tengah menerawang apa yang sedang Deandra pikirkan. Mencoba memasuki ruang yang mungkin bercelah.
Sebenarnya ingin sekali Deandra memaki orang itu yang dengan lancangnya mengganggu kesendiriannya.
“Kayaknya lo salah orang, deh.” Alih-alih mencari keributan, ia sengaja untuk mengusir secara halus. Itu pun kalau dia peka. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Orang itu tersenyum dengan senyuman yang menurut Deandra sangat sulit diartikan. Apa maksudnya? Ia mengernyit masih tidak mengerti dengan sikap orang di depannya.
“Seinget gue, gue nggak ada janji sama siapa pun di sini, dan lo tiba-tiba dateng seolah udah kenal banget dan tau persis apa yang gue alamin,” ketus Deandra tidak bisa menahan untuk bersikap acuh. “Kalo lo nyari temen buat diajak ngobrol, lo dateng ke orang yang salah. Karena sekarang gue nggak butuh siapa pun.”
“Sayangnya, apa yang gue liat nggak seperti yang lo bilang.” Orang yang belum diketahui namanya itu kembali bersuara.
Tidak sepenuhnya salah. Bohong jika Deandra tidak menginginkan siapapun. Ya, mungkin benar dia punya Hanif yang akan dengan suka rela mendengar segala keluhannya. Tapi, untuk saat ini ia tidak ingin mengeluh akan hal yang sama. Dan mungkin sahabatnya sudah bosan mendengar masalah yang bersangkutan dengan Bian. Akhirnya, ia hanya bisa meluapkan isi hatinya dengan menggoreskan tinta hitam di atas kertas lalu menghanyutkannya. Entah sudah berapa perahu kertas yang sudah mengarungi danau, ia sendiri lupa dan memang tidak ingin mengingatnya. Untuk saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan.
“Nggak kebayang kalo semua orang yang lagi sedih terus dateng ke sini cuma buat perahu-perahuan yang di atasnya bertuliskan masalah yang lagi mereka alami. Bisa-bisa bukan air lagi yang jadi pemandangan, melainkan tumpukan perahu kertas tak bertuan.” Orang itu menoleh ke arah Deandra yang terlihat menghela nafas setelah mendengar penuturannya.
“Lo nyindir gue?” Deandra melirik dengan ekor matanya tanpa menggerakkan kepalanya.
“Nggak,” kilahnya cepat. “Tapi kalo lo ngerasa, gue minta maaf.”
“Lo penasehat?” cetus Deandra.
“Maksudnya?”
“Suka ngasih pencerahan ke orang yang lagi patah hati atau semacamnya. Apa namanya kalo bukan penasehat!?”
Samar tapi pendengarannya bisa menangkap kikikan dari laki-laki itu sembari menggeleng pelan.
“Gue Satya.” Dia menyodorkan tangan memperkenalkan diri. “Tapi orang terdekat gue biasa manggil Ata.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
General Fiction"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...