Hari libur adalah hari terindah, ternyaman, terbebas di dunia karena bisa memanjakan tubuh untuk sekadar bersantai melepas penat dari segala kesibukan yang selalu memenuhi hari-harinya tanpa lelah. Menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan di temani tontonan anime yang selalu menjadi koleksi favoritnya aalah hal yang selalu ditunggu di akhir pekan. Tak lupa camilan menjadi teman yang tidak boleh ditinggalkan.
Hari di mana Hanif bisa merasakan kedamaian sebelum Deandra datang ke apartemen yang sekarang sudah berada di sampingnya sedang menatap layar tipis berukuran 39’inch dengan satu toples makanan ringan di tangannya. Namun ia tahu, jiwa Deandra sedang tidak berada di tempatnya.
Hanif yang terusik karena, pertama, hari liburnya menjadi tidak berkualitas karena waktu yang harusnya digunakan untuk beristirahat dan bermalas-malasan berubah haluan menjadi kegiatan mengintrogasi seseorang yang tidak diundangnya.
Kedua, Deandra datang dengan keadaannya yang kacau membuatnya tidak tahan untuk membiarkan mulutnya terkatup rapat.
Ketiga, ia hanya ingin tidur seharian ini, kenapa harus ada yang mengganggunya?
Awalnya Hanif tidak peduli dan membiarkan sahabat kesayangannya di ruang tengah menikmati tontonan yang menurutnya menarik. Padahal ia sendiri tahu jika pengganggu itu tidak menyukai anime yang menurutnya adalah tontonan konyol yang membodohi penikmatnya karena semua hanya ilusi. Tidak pernah ada karakter nyatanya di dunia ini. Entahlah, dia selalu berasumsi secara spontan, ia tak begitu mempedulikan pemikirannya. Sementara, dirinya akan melanjutkan merebahkan tubuh yang terasa lelah di sofa panjang di samping kanan di mana Deandra mengambil posisi nyamannya.
Mencoba memejamkan mata tidak peduli dengan apa yang akan Deandra lakukan. Namun semua sia-sia ketika setiap matanya mengintip dari celah ujung mata selalu mendapati raut muka sahabatnya dipenuhi aura hitam. Anggaplah ia berasumsi, karena memang ia tidak punya kemampuan untuk melihat aura seseorang. Hanya menerka saja.
Ah, sial. Hanif harus menyerah mengabaikan Deandra. Sangat sulit baginya mengacuhkan gadis itu jika sudah begini. Ia merubah posisi rebahannya menjadi duduk namun tak berpindah sofa.
“Anyways, apa yang bikin lo kacau gini?” Hanif mulai bersuara sambil bersedekap.
Deandra mendesah pelan alih-alih menjawab pertanyaan Hanif.
“Lo dateng ke sini, ganggu waktu istirahat gue, bawa muka yang belum disetrika, cuma buat....” Hanif menirukan apa yang dilakukan Deandra baru saja. “Lo sehat?” cibirnya.
“Rese’, lo.” Deandra melempar bantal kecil yang dicomotnya dari atas sofa kepada Hanif. Namun laki-laki itu dengan gesitnya bisa menangkis serangan Deandra yang tiba-tiba.
“Nggak tau apa kalo gue lagi sedih,” katanya lagi dengan menundukkan kepala.
“Sedih lo nggak bakal jauh-jauh, palingan cowok lagi, iya kan?” kelakar Hanif sembari meraih remote dari atas meja, lalu mengarahkan pada televisi untuk mencari acara yang menurutnya menarik.
“Kalo lo tau, ngapain nanya lagi?” omel Deandra.
“Pengen mastiin aja,” balas Hanif santai dengan mengunyah kacang yang diambilnya dari tangan Deandra tanpa permisi.
“Nif,” panggil Deandra lirih. Hanif hanya menyahutinya dengan sebuah gemingan tanpa menoleh.
“Gue, gue ketemu Bian,” aku Deandra. Sepersekian detik Hanif menghentikan giginya yang sibuk menghancurkan kacang di mulut untuk mencerna pengakuan sahabatnya.
“Terus masalahnya apa? dia ngajak balikan? Terus lo terima? Kalo beneran terjadi, lo sahabat gue yang paling bego,” cerca Hanif memandang Deandra kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
General Fiction"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...