Sepucuk Surat

8 0 0
                                    

Dear Deandra,

Saat lo baca surat ini, mungkin gue lagi tidur di pesawat, atau lagi nyiapin tempat tinggal baru selama di Singapore. Aneh, ya? Biasanya gue selalu ditemenin sama lo tiap kali nyari perlengkapan yang gue butuhin. Biasanya, lo paling bawel milihin barang yang cocok buat gue. Sekarang gue milih sendiri, apa-apa sendiri. Memulai dan menata hidup baru tanpa lo. Kayaknya gue bakalan kangen banget sama kebersamaan kita.

Ternyata kiriman ini dari Hanif, benak Deandra. Air matanya kembali terjatuh mengingat nama itu. Degan kekuatan yang masih ada, ia melanjutkan membaca surat yang ditulis tangan oleh sahabatnya.

Sebelumnya, gue minta maaf karena kepergian gue bikin lo sedih atau bahkan marah. Serius, nggak ada maksud sama sekali buat bikin lo nangis. Gue cuman pengen liat lo bahagia. Jangan nangis lagi, ya!

‘Ya, lo berhasil bikin gue nangis, gue marah sama lo, kesel, benci. Kenapa lo lakuin ini sama gue?’ Deandra menghapus kasar air matanya.

Nggak kerasa ya, udah lebih sepuluh tahun kita sahabatan. Inget nggak, pertama kali kita ketemu? Sama-sama dihukum mungutin daun kering di halaman belakang sama guru BK, harus pake tangan tanpa peralatan apa pun. Lo dihukum karena tidur di jam pelajaran, sementara gue dihukum karena nyoretin dinding pagar belakang.

Tanpa kata, tanpa sapa. Lo asyik sama dunia lo sendiri tanpa sadar kalo yang lo pungut bukan daun kering, melainkan rumput yang sengaja di tanam oleh Pak Kebun. Dan lo tau? Satu kata buat lo saat itu adalah “Cewek Aneh”.

Apalagi saat gue nggak sengaja numpahin sampah di seragam lo, lo marah sejadi-jadinya tanpa mau dengerin penjelasan gue. Lo maki-maki gue seenak hati lo, padahal kesalahan gue nggak sebesar makian yang lo lontarkan. Awalnya gue ikut emosi, gue pengen bales lo. Tapi sesuatu di mata lo bikin gue mengurungkan niat jahat gue. Gue bertanya-tanya, apa kelakuan gue bikin lo sakit hati? Padahal cuman sampah yang nggak sengaja gue tumpahin, tapi lo sampe marah besar.

Gue mencoba minta maaf, tapi lo nolak. gue nggak bisa terima gitu aja, gue mau lo maafin gue, tapi yang ada lo malah nangis di hadapan gue yang nggak tau apa-apa. Gue bingung harus ngapain. Nggak mungkin gue panggil guru, yang ada gue tambah dipojokin. Gue lebih milih nunggu lo selesai sama tangisan tak bersuara punya lo, nunggu  sampe lo mau ngomong. Dan satu kesimpulan yang gue dapet saat nunggu, lo rapuh, lo butuh seseorang, lo butuh sesuatu untuk menumpahkan amarah di hati lo, dan lo ngeluapin emosi ke gue.

Semenjak hari itu, tiap hari, di sekolah gue selalu nyariin lo, nyamperin lo cuman buat bilang “Its gonna be fine”. Lucu memang, tapi entah kenapa, setiap gue bilang itu, lo tersenyum dan itu yang bikin gue seneng. Kita selalu ke mana-mana bareng, berangkat sekolah, pulang sekolah, main, kita pasti sama-sama. Sampai gue tau kalo sebenernya di balik kerapuhan, lo itu manja dan cerewet.

Deandra tersenyum getir membaca bagian yang mengingatkannya akan masa SMA bersama Hanif. Hanif yang ia tahu adalah lelaki terdingin di sekolah ternyata bisa juga tertawa, saling melempar makian dengannya. Hal yang tidak pernah diketahui oleh semua teman sekolahnya. Ia adalah wanita paling beruntung bisa masuk ke dalam kehidupan Hanif yang misterius.

Sampe akhirnya gue terjebak oleh perasaan gue, perasaan yang nggak seharusnya hadir dalam persahabatan kita. Gue sayang sama lo. Mungkin lo sering denger gue bilang sayang sebagai seorang sahabat. Percaya atau nggak, itu semua bulshit, nyatanya, yang sebenernya gue rasain lebih dari sekedar sahabat, gue ingin punya hubungan lebih dari sekedar sahabat. Tapi gue terlalu takut ngungkapin apa yang ada dalam hati gue, gue takut lo pergi, gue takut lo nganggep gue nggak tau diri, dan persahabatan kita hancur hanya karena kecerobohan gue. Friendzone kita bikin gue nggak berkutik.

Aku Hanya Ingin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang