Perahu Kertas

8 2 0
                                    


Setelah hari itu, Deandra sering mengunjungi social media-nya hanya sekadar melihat apakah ada lagi status yang bisa membuat pikirannya terganggu. Dan benar saja, setiap hari ada saja status yang membuat hatinya semakin sakit ketika melihatnya. Bahkan sesekali ada juga foto terpampang jelas di beranda yang membuat jantungnya terasa seperti dihujam ribuan pisau. Sebegitu niatkah wanita itu ingin mengibarkan bendera perang dengan dirinya. Menguji segala kesabarannya.

Jika tidak karena Bian yang memintanya agar tidak termakan umpannya yang akan memperkeruh hubungan antara dirinya, Bian, dan vera. Oh, ya ampun, ingin rasanya ia berteriak meluapkan seluruh emosi. Kesedihan, kemarahan, keputus-asaan pada dirinya sendiri yang tak bisa mengambil keputusan. Hanya berdiam diri menunggu semuanya berakhir bukanlah hal yang mudah. Haruskah ia menunggu sampai hatinya tak lagi bisa bertahan? Sampai kapan? Inikah jawaban perjuangannya selama ini? Akankan semua menjadi sia-sia? Haruskah ia mengibarkan bendera kekalahan pada semua orang jika apa yang ia pertahankan dan ia pilih ternyata hanya sebuah kesalahan? Semua ini benar-benar membuatnya gila.

"Udah lama?" tanya Hanif yang baru saja duduk di salah satu meja payung di sebuah cafe tanpa dosa.

"Nggak selama gue nunggu lo nembak cewek," jawab Deandra malas tanpa melihat bahkan melirik lawan bicaranya. Matanya terus tertuju pada ponsel, dengan ibu jari men-scroll ke- atas dan ke bawah.

"Dasar lo." Hanif sedikit kesal dengan jawaban yang sangat ia hindari. Harus berapa kali ia bilang jika untuk saat ini –setidaknya– ia tidak mau mempunyai hubungan dengan siapapun.

"Lagi ngeliatin apa sih, lo?" tanya Hanif yang merasa terabaikan semenjak detik petama ia mendaratkan tubuhnya di kursi kayu sampai ia hampir menghabiskan minuman pesanannya hingga setengah. "Serius banget sampe nggak sadar kalo ada makhluk hidup di sebelah lo," gerutunya lagi.

Yang ditanya masih saja betah dengan bibir terkatup enggan bersuara.

"Coba gue liat!" tanpa aba-aba Hanif berusaha mengambil ponsel milik Deandra yang beraninya mengabaikannya begitu saja. Namun gerakannya terbaca oleh Deandara sehingga belum sempat tangannya meraih mesin pintar itu, dia segera menjauhkan ponsel dari jangkauan Hanif.

"Jangan mulai deh, Nif!" seringai Deandra kembali pada posisi semula. "Gue lagi nggak mood buat debat," sambungnya.

"Lo kenapa, sih? Aneh banget hari ini. Salah minum obat? Salah makan? Kurang uang jajan? Bilang dong!"

"Berisik, tau. Lagian, ngapain lo sibuk ngurusin gue? Biasanya juga kan lo sibuk main game online sampe jari lo keriting." Deandra masih saja terlihat kesal. "Dan asal lo tau, gue nggak kekurangan dan salah apapun, ok."

"Nggak biasanya lo kayak gini, berantem lagi?" terka Hanif. "Apa nggak capek hampir tiap hari berantem terus?"

"Nif, gue lagi nggak mau bahas apapun juga sekarang. Please, jangan paksa gue!" Deandra memelas berharap sahabatnya bisa mengerti.

"Tapi, De_"

"Nif, please!" sela Deandra, "kali ini aja."

Hanif menghela nafas panjang. Disandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang tak punya kekuatan lagi untuk membantah perkataan Deandra.

"Hff, capek banget gue hari ini." Tiba-tiba Fadi muncul dan ikut bergabung dengan memasang wajah lelahnya. Jangan aneh kenapa tiba-tiba ia bisa muncul di sana. Karena ia adalah salah satu pekerja paruh waktu di cafe itu untuk membantu orang tuanya dalam membiayai kuliah yang tidak sedikit jumlahnya. Dan jam kerja sudah berakhir. Mereka memang sering menghabiskan waktu di cafe itu semenjak mereka dekat. Selain karena nyaman juga karena tempat kerja Fadi ini tidak terlalu mengikat pegawai.

Tak ada sahutan dari kedua temannya dan itu membuatnya bingung. Yang ia terima hanya lirikan tajam dari dua pasang mata yang siap menusuknya kapan saja. Mereka sibuk dengan dunianya yang entah apa itu.

Fadi melihat mereka bergantian mencari jawaban dengan apa yang tengah terjadi. Tidak biasanya dua sahabat ini saling membisu.

"Dean, lo udah tau belom hasil tugas kita waktu itu?" Fadi mencoba membunuh keheningan. "Kita dapet nilai A," ungkapnya dengan wajah sumringah.

"Bagus, deh," sahut Deandra masih dengan wajah datarnya. Melirik sebentar kemudian kembali tertuju pada sesuatu yang menyita perhatiannya.

"Gitu doang?" Fadi tampak kecewa dengan tanggapan yang tidak sesuai dengan harapannya.

"Nif, kenapa sama Dean?" tanya Fadi menyenggol lengan Hanif. Dan yang dilihat matanya, Hanif hanya mengangkat bahu acuh.

"Oh, shit. Gue bisa mati kalo kayak gini caranya." Fadi menggelengkan kepala. Bisa saja ia membeku akibat aura dingin yang keluar dari kedua temannya itu.

"Gue duluan, ya," kata Deandra tiba-tiba setelah beberapa saat yang lalu terjebak dalam kesunyian. Dan, ya. Tanpa persetujuan kedua temannya, Deandra beranjak pergi tanpa memberikan penjelasan apa pun. Meninggalkan makhluk hidup di depannnya kebingungan.

Hanif pun belum sempat membuka mulutnya karena Deandra telah berhambur entah ke mana. Tapi, ekor matanya sempat menangkap ekspresi sahabatnya berubah kaku sesaat sebelum pergi. Dan ketika wanita itu berpamitan, seperti ada tumpukan sumber air di pelupuk matanya. Apakah Deandra berusaha untuk sembunyi? Tapi kenapa? Entahlah. Yang bisa ia lakukan hanya kembali menatap layar sentuh yang menampilkan karakter game dan entah kenapa karakter-karakter itu berubah menjadi sangat membosankan.

Hanif benar-benar tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi pada sahabatnya ini. Tidak biasanya Deandra bersikap seperti itu. jikalau memang ada masalah, biasanya tanpa ragu Deandra pasti akan bicara padanya. Tapi, kenapa hari ini lain?

***

Mengalihkan pikiran agar tidak selalu mengingat titik masalah tidaklah mudah. Mengikuti langkah yang entah akan membawanya ke mana. Angin yang berhembus menerpa tubuh pun tak mampu membawa beban di pundaknya tersapu. Berusaha untuk terlihat tegar meski hati lelah untuk percaya. Tetapi demi sebuah tujuan ia harus memaksa hati agar tetap bertahan.

Di sinilah Deandra berada. Setelah kakinya berjalan tak tentu arah hingga tubuhnya terjebak di dalam metromini yang mengelilingi padatnya kota. Namun sayang yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Sampai ia tersadar jika saat ini dirinya berada di danau tempat di mana ia sering menghabiskan waktu dengan Bian. Betapa ia merutuki kebodohannya sendiri yang tak bisa mengontrol perasaan hingga membawanya pada sesuatu yang kembali melukai hati.

Kembali matanya menatap ponsel yang sedari digenggam, erat bahkan jika benda itu rapuh mungkin sudah hancur saking eratnya. Pandangannya mulai buram karena buliran bening di pelupuk mata sudah memenuhi kapasitas dan mungkin sebentar lagi tak bisa ditampung. Ya, akhirnya Deandra membiarkan air mata meninggalkan jejak di pipi. Andai dengan tetesan air mata bisa menghapus pemandangan di ponselnya, ia akan terus melakukan itu sampai benar-benar pergi. Nyatanya semua itu hanya angan belaka.

Bian terlihat bahagia bersama Vera yang memeluknya manja. Jelas-jelas Bian mengatakan semua itu hanya kebohongan. Tapi bukti-bukti ini mengatakan sebaliknya. Foto itu membuat hatinya sesak. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia seperti orang bodoh yang harus percaya dan berusaha terlihat baik-baik saja?

Deandra menyeka air matanya dengan kasar. Lengannya merogoh ransel dan mengeluarkan sebuah buku lalu menuliskan sesuatu di sana.

Apakah ini jawabanmu?

Jawaban atas perjuangan yang kau janjikan padaku,

Sebegitu mudahnya mengalah dengan keadaan

Hingga kau memilih untuk berhenti,

Berulang kali kau bilang ini bohong,

Tapi kenyataan membuktikan semuanya,

Haruskah aku percaya?

Setelah menuliskan itu, dirobeknya kertas dan dilipat hingga membentuk perahu. Diangkat pundaknya menuju bibir danau lalu membiarkan perahu kertasnya mengarungi genangan air. Melepaskan sesak yang menyiksa. Berharap pesannya akan terbalas oleh sang waktu. Setelah dirasa cukup menuangkan kesedihannya, Deandra memutuskan untuk pulang meski sebenarnya tak ingin.

Aku Hanya Ingin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang