Sebuah Rencana

4 1 0
                                    

Hari ini Deandra berencana mengajak Ray menyiapkan perlengkapan untuk membuat surat lamaran kerja, dari mengurus surat dari kepolisian juga dari rumah sakit, kemudian membeli alat tulis. Tidak mungkin terus-terusan berdiam diri di rumah sementara gelar sarjananya dibiarkan hanya sebagai nama. Ia juga tidak ingin menjadi tanggungan keluarga, ia ingin menghasilkan uang dari jerih payahnya sendiri.

Setelah setahun mereka menjalin hubungan, Deandra mulai terbiasa dengan perasaannya. Mungkin juga ia sudah membuka hati untuk Ray dan sedikit melupakan Bian. Bahkan setiap akhir pekan, Ray selalu mengajaknya untuk keluar meski sekadar makan atau hanya berjalan-jalan. Ia mulai terbiasa menerima kehadiran Ray dalam hari-harinya. Sepertinya Ray adalah jawaban atas segala harapannya meski diawali dengan ketidaktulusan. Nyatanya, Ray masih bertahan tinggal di hati meski terkadang keputus asaan selalu menghantui.

Setelah mengurus keterangan sehat dari rumah sakit, mereka mampir di sebuah cafe untuk istirahat sebentar sebelum melanjutkan acara membeli beberapa alat tulis, kertas, juga amplop. Lagi pula hari sudah menunjukkan jam makan siang, mengisi perutnya sebentar tidaklah buruk.

Ketika dua pasang mata mereka mencari meja kosong, tiba-tiba terdengar suara memanggil nama Ray dari salah satu meja. Tepatnya tiga meja dari mereka berdiri. Spontan Ray menoleh ke sumber suara, tak ketinggalan juga dengan Deandra.

Deandra mengerjap ketika tahu siapa yang memanggil kekasihnya. Seorang gadis berparas manis melambaikan tangan ke arahnya, tidak, lebih tepatnya pada Ray. Tunggu, ia seperti pernah melihat gadis itu, tapi ia tidak ingat di mana mereka pernah bertemu. Di tengah pikirinnya sibuk mengingat kembali gadis yang terasa familiar itu, ia merasa lengannya tertarik. Ray menuntunnya menghampiri gadis yang memanggilnya dengan sebutan ‘Kak Ray’. Siapa dia? Dan apa hubungan mereka? Ia akan tahu setelah ini, pikirnya.

“Anggi, kamu di sini juga?” sapa Ray setelah mereka berdiri di meja tempat gadis yang di sapa Anggi oleh Ray berada.

“Iya, Kak,” jawab Anggi dengan senyum manisnya. “Duduk di sini aja, cukup kok, meja lain juga pada penuh.” Gadis itu menunjuk dua bangku kosong di depannya. Ray juga Deandra mengikuti arah pandang Anggi setelah sebelumnya memperhatikan suasana cafe yang terlihat ramai karena memang jam-jam itu waktunya pegawai kantor menyerbu tempat makan atau minum untuk memenuhi permintaan perut mereka. Akan memakan waktu jika ia dan Deandra menunggu meja lain kosong. Tidak mungkin juga mencari tempat lain, sementara Anggi menawarkan tempat yang kosong. Setelah menerima anggukan dari Deandra, mereka duduk di meja Anggi yang diperuntukkan untuk empat orang.

“Lo Deandra yang pernah Hanif kenalin ke gue, kan?” tanya Anggi sepeniggal waitress yang telah menulis pesanan Deandra juga Ray.

Deandra mengeryit mendengar pertanyaan Anggi. Dia mengenalnya? Hanif? Anggi? Ia mencoba mengingat siapa saja yang dikenalkan Hanif padanya. Detik berikutnya, ia mendapatkan sinyal tentang gadis itu. Bagaimana ia bisa lupa? Malam itu sudah lama sekali karena memang pertemuan mereka hanya sekali. Tidak pernah bertemu lagi setelah itu.

“Lo sepupunya Hanif?” Deandra begitu histeris setelah mengingat siapa Anggi itu. “Ya, ampun. Sorry, gue bener-bener lupa,” aku Deandra merasa tidak enak.

Anggi tersenyum ramah padanya. “Wajarlah lo lupa, kita kan cuma sekali ketemunya,” timpal Anggi memaklumi.

“Kamu sendiri, sama siapa ke sini? Sendiri?” tanya Ray mengalihkan topik.

Benar, Deandra melupakan hal itu. Sebenarnya sedari tadi ia ingin bertanya dengan siapa Anggi di sana. Karena ia juga melihat minuman di hadapannya masih tersisa banyak. Tidak mungkin jika Anggi memesan dua gelas sekaligus. Namun diurungan niatnya karena tertutup oleh Anggi yang begitu familiar.

Aku Hanya Ingin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang