Langkah Deandra terhenti ketika melihat Satya bersama seorang wanita sedang duduk kursi taman. Ada perasaan kecewa ketika melihat mereka berdua begitu akrab. Ia pikir Satya hanya bersikap seperti itu hanya pada dirinya saja. Ternyata tidak. Anggapannya salah. Nyatanya dia juga akrab dengan wanita lain atau bahkan tidak pada satu wanita. Ah, mungkin memang Satya bersikap seperti itu pada semua orang.
Ya, ampun. Ia menggelengkan kepala mengenyahkan asumsi yang mengotori pikirannya. Terserah Satya ingin bergaul dengan siapa saja, bukan? Apa haknya mengatur dengan siapa laki-laki itu harus berteman? Ia hanya sekadar teman yang sedikit lebih dekat dari teman biasa. Tidak lebih.
Terdengar desahan berat Deandra sebelum kakinya melangkah menghampiri Satya.
“Gue ganggu, ya?” tanya Deandra menyela obrolan Satya bersama –yang mungkin adalah– temannya atau entahlah ia sendiri tidak tahu. Sontak pandangan mereka tertuju ke arahnya.
Satya tersenyum sebelum menimpali sapaan Deandra. Dan orang yang terlihat akrab bersama Satya pamit pergi dengan alasan sudah ada yang menunggunya di lain tempat.
“Ngomong apa sih, lo?” tanya Satya mengernyit. Jelas-jelas dia ada di sini karena Deandra mengajaknya bertemu. “Dia temen kuliah gue dulu. Gue nggak sengaja liat dia di sini, kebetulan dia juga lagi nunggu orang. Jadi, ya gue ajak ngobrol sambil nungguin lo dateng.”
Deandra beralih duduk di tempat yang tadi ditempati oleh wanita yang ia sendiri tidak tahu namanya.
“Kayaknya nggak ada yang nanya siapa dia dan lagi ngapain,” ketus Deandra membuang muka.
“Sok iya lu?” cibir Satya sambil tertawa. Namun Deandra tetap tidak terpengaruh.
“Gue baru telat sepuluh menit,” pungkasnya seperti memberi sinyal letak kesalahan Satya.
“Kenapa jadi sensi gini?” kata Satya menggoda gadis di sebelahnya. “Lagi PMS?”
“Sok tau, deh.”
“Terus kenapa dong?” tanya Satya pura-pura penasaran.
“Nggak pa-pa,” jawab Deandra cepat.
“Biasanya kalo cewek ngomong nggak pa-pa itu artinya lagi kenapa-kenapa,” kata Satya dengan santai.
“Gue bilang nggak pa-pa ya berarti nggak pa-pa. Nggak ada alesan lain, ngerti!” pekik Deandra membuat Satya menarik tubuhnya ke belakang.
“Biasa aja kali, Bee. Nggak usah nge-gas gitu.”
“Lagian lo ngeselin,” ketus Deandra melipat lengan di dadanya.
“Ngeselin tapi juga ngangenin, kan?” goda Satya menahan tawa.
“Boro-boro ngangenin, bikin naik darah terus yang ada.”
“Masa?” Satya mengingat sesuatu. “Terus yang marah pas gue nggak ngasih kabar itu siapa dong?”
Mendengar itu membuat wajah Deandra memerah. Tidak bisa dipungkiri jika ia yang melakukannya. Tapi sikapnya itu spontan tanpa rencana sedikit pun. Ia sendiri juga heran kenapa ia merasa ada yang kurang saat ia tidak mendapat kabar dari orang yang sering membuatnya kesal.
“Bee, kenapa pipi lo merah gitu?” tanya Satya heran. “Lo sakit?” tambahnya polos.
Deandra memegang kedua pipi dengan telapak tangannya. Jangan sampai Satya menyadari jika wajahnya sudah seperti kepiting rebus akibat menahan malu.
“Gue nggak pa-pa,” tampik Deandra. “Sana, jauh-jauh dari gue,” usirnya.
“Galak amat. Terus kalo nggak mau deket sama gue, ngapain lo ngajak ketemuan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
Genel Kurgu"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...