“Ta, gue galau nih,” curhat Deandra sembari mengaduk-aduk ice cream yang mulai mencair. Alih-alih memberi komentar, Satya sibuk mengambil gambar Deandra melalui kameranya.
“Ataaaa, lo ngeselin banget sih?” gerutunya ketika tahu Satya mengambil kesempatan. “Sini gue liat, moto-moto tapi nggak pernah dicetak, jangan-jangan jelek lagi hasilnya.”
“Iya, iya,” timpal Satya menghindar dari jangkauan tangan Deandra yang mencoba merebut kameranya. “Ntar gue cetak terus gue kasih lo satu.” Satya mengamankan benda berlensa itu di bangku.
“Bener, ya. Awas kalo bohong!” cerca Deandra.
“Beneran,” sahut Satya meyakinkan. “So, lo galau kenapa lagi?” Sembari menyeruput espresso miliknya.
Deandra mendengus sebelum menimpali Satya, seakan mengingat kembali apa yang menjadi masalahnya.
“Jadian yuk!” ucap Deandra spontan.
“What?” pekik Satya. Setahu dia, pendengarannya masih normal, tapi kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Deandra mengucapkan kata yang, ah, sedikit sensitif.
“Lo kesambet?” Satya menempelkan pungung tangannya pada kening Deandra yang membuat gadis itu mengerlingkan mata.
“Apa sih, gue nggak kenapa-kenapa juga, nggak liat gue sehat gini?” cerocos Deandra menggerutu.
“Kali aja lo kesambet sama penunggu sini, kan ngeri,” timpal Satya berpura-pura ketakutan.
“Sialan lo.”
“Jadi, apa maksudnya ngajak jadian?” Satya tidak habis pikir dengan tawaran gadis itu yang spontan. “Lo nggak punya niatan buat jadiin gue selingkuhan lo, kan?”
“Tau, ah. Pusing gue,” ketus Deandra terlihat frustasi.
“Kenapa sih? Ada masalah?”
“Gue bingung sama perasaan gue sendiri.”
“Karena?” tanya Satya mencari tahu.
“Gue ngerasa bersalah sama Ray, gue udah bikin dia kecewa karena Bian selalu jadi bayang-bayang di antara hubungan gue sama dia.” Deandra mulai sedih.
“Jangan bilang lo belom bisa ngelupain Bian?” Diamnya Deandra mengartikan jika apa yang ia lontarkan benar adanya.
“Ya, ampun, Bee. Sampe kapan sih lo kayak gini terus? Bukan cuma lo yang kesiksa dengan keadaan ini, bahkan orang yang deket sama lo juga kena imbasnya, lo nyadar nggak sih?” Sungguh Satya dibuat geram dibuatnya. Apa yang dipikirkan gadis itu sebenarnya. Kalau saja Deandra itu laki-laki, mungkin saat ini ia sudah memberikan pelajaran untuknya.
“Ini diluar kendali gue, Ta. Gue juga maunya ngelupain Bian, tapi nggak tau kenapa, pas gue ketemu dia, pertahanan gue runtuh saat itu juga,” aku Deandra dengan apa yang ia rasakan saat itu.
“Tunggu, ngapain lo ketemu dia?” Satya menatapnya tajam, berharap jawaban yang Deandra katakan tidak seperti yang ia pikirkan.
“Lo pasti nganggap gue gila kalo tau alasannya,” sahut Deandra lemah.
“Ya. Lo emang udah gila,” cibir Satya.
“Ta, dengerin gue dulu,” pinta Deandra dengan sangat.
“Jadi?”
“Gue tau ini konyol, tapi waktu itu gue reflek dan spontan ngiyain ajakan sepupunya Hanif buatdouble date.”
“Sepupunya Hanif? Oh, Shit. Jangan bilang kalo Bian...” Satya tidak meneruskan ucapannya, takut jika apa yang iya pikirkan benar adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
General Fiction"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...