Sudah cukup. Sudah cukup untuk hari ini. Deandra tak lagi bisa menahan emosinya. Ia butuh tempat untuk menangis. Dengan bersikap baik-baik saja tidak bisa membantu hatinya lebih tenang. Bahkan membuat hatinya semakin tak terkendali.
Tak peduli beberapa teman memanggil namanya, yang ia ingin hanya pergi dari sana dan lari dari kenyataan jika bisa. Nyatanya semua hanya keinginan yang menjadi angan belaka. Kenyataan akan terus berjalan dengan atau tanpa persetujuan darinya.
Tanpa berhenti, tanpa menoleh. Ia terus melangkahkan kaki dengan tatapan yang kosong hingga sesuatu menarik lengannya keras dan memaksanya berbalik seketika. Sepersekian detik motor melintas dengan laju tepat ke arahnya. Hampir saja nyawanya melayang sia-sia jika tidak ada yang menariknya tepat waktu.
"Kamu nggak apa-apa?"
Tunggu, ia hampir lupa dengan orang yang menolongnya karena shock. Ini semua karena kecerobohannya yang tidak hati-hati.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, ia mencoba mengatur nafas dengan meletakkan telapak tangan tepat di dadanya. Ia menoleh mencari tahu orang yang menolongnya yang sampai detik ini masih memegang kedua pundaknya. Matanya membulat ketika tahu orang di hadapannya adalah...
"Bian?" pekik Deandra tertahan. Kenapa dia di sini? Kenapa dia tidak menghubunginya dulu jika akan datang? Kenapa dia datang di waktu yang kurang tepat? Banyak kenapa di kepala Deandra yang membuat dirinya shock untuk kedua kali.
"Iya, ini aku. Kok kamu kaget gitu liat aku?" tanya Bian tak kalah shock-nya akan sikap Deandra yang bisa dibilang histeris.
Bukan hanya terkejut, untuk saat ini sungguh ia tidak menginginkan kehadirannya. Ia hanya butuh ketenangan. Dengan adanya Bian di sini hanya akan membuat keadaan semakin sulit bagi Deandra untuk mengatur emosinya.
"Kok nggak bilang mau ke sini?" Dan pada akhirnya, hanya itu yang bisa keluar dari mulut Deandra. Berbeda dengan apa yang ingin egonya katakan.
"Pengen ngasih kejutan aja," jawab Bian dengan menampilkan senyuman khasnya yang manis.
Oh, Tuhan. Senyuman itu membuat pertahanannya roboh seketika. Senyum yang memaksanya untuk selalu mempercayai semua apa yang laki-laki ini katakan tanpa bantahan sedikit pun. Bian, kau membuat Deandra gila karenamu.
"Langsung pulang atau_" Bian tidak melanjutkan ucapannya ketika pandangannya mendapati sesuatu memenuhi pelupuk mata Deandra. "Tunggu, kamu nangis?"
Bibir Deandra terkatup rapat. Tipis bahkan hampir tak terlihat, tapi Bian sangat yakin Deandra sedang menahan sesuatu di dalam sana.
"Ada apa?" tanya Bian lagi.
"Ada yang mau aku tanyain," sela Deandra cepat.
"Tentang?" Dahi Bian mengernyit.
"Nggak di sini."
Bian mulai mengerti. Deandra butuh tempat yang tenang agar bisa mengungkapkan isi hatinya dengan leluasa. Ia segera mengajak Deandra menaiki motor miliknya dan meninggalkan kampus.
***
Sepuluh menit berlalu semenjak mereka sampai di taman. Jaraknya tidak terlalu jauh dengan kampus. Tempatnya juga nyaman dan tidak terlalu ramai untuk jam-jam sibuk seperti saat ini. Jadi Dandra tidak perlu menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah karena menahan gejolak di dadanya. Tak ada yang bersuara. Hanya angin sesekali dengan usilnya menyapu wajah dua insan yang sedang dipenuhi tanda tanya.
Deandra menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi wajah ke belakang telinga sebelum bersuara.
"Gimana hubungan kamu sama Vera?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
General Fiction"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...