Mencoba Baik-Baik Saja

7 2 0
                                    


"De, bangun De." Hanif menepuk maraton pipi mulus Deandra yang terkulai di atas meja.

Deandra terlihat bergeming di tempatnya.

"Kalo mau mimpi jangan di sini, lo pikir ini tempat punya nyokab lo?" tambahnya.

"Apa sih lo, Nif," desis Deandra, "dateng-dateng udah ceramah. Gue nggak butuh pencerahan apa lagi dari lo."

"Sialan. Masih mending gue yang bangunin lo. Kalo sampe dosen lo yang killer itu liat anak didiknya tidur di jam kuliah, bisa-bisa lo dapet kerjaan ngitung pemasukan sama pengeluaran semua hotel di Abu Dhabi selama setahun dalam tempo sehari. Mau lo?" seringai Hanif kesal. Yang benar saja, niat baiknya malah di bilang seperti memberi pencerahan. Tapi sebenarnya ia terkekeh mengingat ancaman yang ia lontarkan. Sekejam-kejamnya dosen Deandra, tidak akan mungkin memberi hukuman se–mustahil itu. Tapi jika itu benar terjadi apa jadinya dengan Deandra. Mungkin gadis itu akan mati berdiri. Ia menggeleng keras setelah sebelumnya mengusap wajah membuang bayangan tentang Deandra sambil menunjukkan sedikit gigi putihnya.

"Kenapa lo?" ketus Deandra. "Mau ngetawain gue?"

"Nggak," jawab Hanif cepat. "Ge-er lo." Sambil menoyor kening Deandra.

"Main kasar lo, ya." Deandra bangkit dari duduknya dan mengambil buku tebal yang ia bawa dari rumah. Mengangkatnya ke udara lalu mendaratkan ke kepala Hanif dengan sangat keras hingga terdengar suara "Buk!". Bahkan buah kelapa pun akan seketika terbelah setelah di pukul dengan hanya sebuah buku saking kerasnya.

"Sakit, De," pekik Hanif. Ia tidak peduli anak-anak lain menoleh ke arahnya karena berteriak seperti guru BP mendapati siswanya kabur dari pagar belakang sekolah.

"Itu akibatnya kalo ganggu ketenteraman hidup gue."

"Sejak kapan hidup lo tenteram?" cibir Hanif sambil mengelus kepala yang diras-rasa ukurannya seperti bola basket besarnya hanya dalam hitungan detik. "Bukannya hidup lo kaya drama yang bentar-bentar seneng, bentar-bentar nangis, bentar-bentar berantem, bentar-bentar baikan. Nggak ada abis-abisnya, tau nggak. Ujungnnya gue juga yang ribet."

Deandra tampak berdecak kesal sambil bersiap melayangkan eksekusi selanjutnya. "Mau gue tambah lagi?" ancamnya, "mumpung gue lagi pengen gebukin orang, nih."

"Jangan, jangan." Secepat kilat kedua lengan Hanif menghalangi pergerakan Deandra yang sudah diambang titik emosi tertinggi. Takut-takut jika pukulan yang ia terima akan berlipat ganda, bisa-bisa akan ada banyak bintang melayang di kepalanya.

"Oke, gue nggak bakal ngomong yang macem-macem lagi. Anak gadis nggak baik marah-marah. Seret jodoh baru tau rasa," gurau hanif setelah deandra duduk di tempat semula.

Deandra mendengus kasar dengan tatapan mengintimidasi yang membuat Hanif nyengir kuda.

"De, ke kantin yuk?" ajak Hanif kemudian.

"Males, ah."

"Bentaran. Gue laper, nih. Nggak sempet makan di kost-an," bujuknya.

"Tapi gue lagi males ke sana. Minta temenin Fadi, sana." Deandra memalingkan wajah ke arah jendela yang di penuhi gerombolan mahasiswa seangkatannya.

"Dia shift pagi, bego."

"Ya udah, sendiri aja." Deandra masih enggan untuk mengalah.

"Si Winda bakal ngerecokin makan gue kalo tau gue duduk sendiri."

"Tinggal balik deketin, susah banget hidup lo," gerutu Deandra. "Giliran ada yang naksir, loe-nya kabur."

"Banyak ngomong, lo," timpal Hanif. "Gue nggak mau tau, sekarang lo harus temenin gue makan mie ayam Bu Asih. Nggak ada alasan, nggak ada penolakan!" tambahnya penuh penekanan sambil menarik lengan Deandra agar mengikuti langkahnya. Tak mempedulikan Deandra yeng tergopoh-gopoh menyamakan langkahnya sambil mulut yang terus mengeluarkan umpatan atas kelakuan Hanif yang semaunya sendiri.

Aku Hanya Ingin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang