#Flashback on#
"Kebiasaan deh, manggilnya 'Beo'," gerutu Deandra menghampiri Bian di seberang jalan. Ia baru keluar dari kampus karena mata kuliahnya baru saja berakhir sepuluh menit yang lalu.
"Kan, biar beda. Kamu nggak suka?" Bian memberikan helm pada Deandra setelah gadis itu berada di samping motor kesayangannya.
"Bukannya nggak suka, tapi dari sekian banyaknya panggilan sayang, kenapa kamu milih nama itu. Emangnya aku burung?" Dia tak langsung memakai pelindung kepala yang disodorkan Bian hanya untuk mengajak kekasihnya berdebat.
Bian tertawa geli mendengar penuturan Deandra yang lepas sebelum menyahutinya, "Kamu bukan burung, tapi mulut kamu emang kayak Beo, nggak pernah berhenti ngomong." Ia menyentil ujung hidung Deandra gemas dengan ujung jarinya.
"Kamu ngatain aku?" protes Deandra meski sebenarnya ia juga merasa kalau ia memang tidak pernah bisa berhenti bicara jika sedang bersama Bian. Apapun akan ia bahas agar tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka.
"Nggak, Beo-ku sayang?" Bian mengacak-acak rambut Deandra karena gemas, "Udah, ah. kapan kita perginya kalo kamu terus bahas masalah panggilan doang. Cepet naik, cacing di perut kamu pada demo tuh, minta jatah." Ia mengangkat dagunya menunjuk bagian Perut Deandra dengan senyum jahilnya.
Alih-alih membalas kata-kata Bian, ia lebih memilih memakai helm miliknya dan naik di jok penumpang meski dengan wajah yang masih ditekuk.
Tanpa menunggu interupsi, ia melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Bian yang kosong. Suatu kebiasaan yang sudah mendarah daging dan sulit menghilangkannya.
Bian menatap jemari Deandra yang berpautan di atas perutnya. Senyum tipis terukir di wajahnya sebelum menarik gas meninggalkan kampus Deandra.
Membelah jalanan kota yang padat dan panas. Semua tak dipedulikan, mereka selalu menikmati kebersamaan di mana pun mereka berada. Entah itu di tempat yang tidak romantis sekali pun, mereka akan tetap menikmatinya.
Hanya ingin berdua, menyusuri jalan meski tanpa tujuan. Bahkan, mereka tidak mau tau. Sampai waktu memaksa mereka untuk berpisah.
***
Deandra mendorong pintu hingga terbuka lebar dan menutupnya kala ia telah masuk ke dalam. melenggang menuju ruangan yang dipenuhi barang-barang pribadinya.
Untuk menuju ke sana ia harus melewati ruang tamu dan ruang keluarga. Matanya menangkap kakak pertamanya sedang duduk santai sembari membolak-balik majalah berisikan model-model berpose di depan kamera di sana.
Tak ada niatan untuk menyapa. Bahkan ia tak mempedulikan ketika Yessy-kakaknya-memanggil namanya. Ia terus melangkah dan membanting keras tubuhnya pada pulau busa sesampainya di kamar. Empuk dan nyaman.
Ia mulai memejamkan mata kala pendengarannya menangkap derap kaki mendekati kamarnya. Ia sudah tahu siapa itu. Jadi, tak perlu susah payah membuka mata untuk memastikan.
"Dari mana aja kamu, jam segini baru pulang?" sargah Yessy menyandarkan tubuhnya di sisi pintu.
"Jalan sama temen," jawab Deandra malas. Ia bangkit dari tempatnya, lalu berjalan menuju kotak berukuran melebihi tinggi badannya dan memilih sepotong kain bermotif polkadot untuk mengganti pakaian yang ia kenakan.
"Sama temen apa sama anak berandalan itu?"
Seketika pergerakan Deandra terhenti. Ada rasa tidak suka dengan pernyataan itu. Ia tahu siapa yang kakaknya maksud, dan ia tidak bisa menerima begitu saja.
"Aku capek, Mbak. Aku lagi nggak mau debat sama Mbak. Jadi, jangan mancing emosiku. Dan satu lagi, jangan pernah menyimpulkan sesuatu sebelum Mbak tau kebenarannya." Ia berusaha tenang meski sesuatu di dalam sana sedang memberontak untuk keluar. Ia hanya bisa melampiaskan dengan membanting pintu lemari cukup keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin (Tamat)
General Fiction"Dan itu jadi alasan supaya dia bisa mainin perasaan lo seenaknya?" Hanif sangat geram karenanya. "Cuma itu yang bisa gue lakuin supaya gue bisa terus bareng sama Bian. Gue nggak bisa ngelepasin dia, kehilangan dia gitu aja. Gue nggak mau. Perasaan...