Jangan Pergi!

4 0 0
                                    

Waktu menunjukkan pukul 09.40 ketika Hanif berada di ruang tunggu bandara. Perasaan gelisah terus menyelimuti hati semenjak kakinya melangkah meninggalkan apartemen.  Ditatapnya paspor di tangan dengan bimbang. Haruskah ia melakukan ini? Benarkah ini yang ia inginkan? Apakah ia hanya sengaja lari dari apa yang tak seharusnya ia jauhi? Tidak, keputusannya sudah bulat. Ia tidak bisa kembali, ia harus menjalani hidup baru yang akan menuntunnya menemukan apa yang ia harapkan selama ini meski sebenarnya tidak ingin.

Berkali-kali matanya berkeliaran ke segala arah terutama pintu masuk berharap seseorang sudi menemui untuk terakhir kalinya. Setiap melihat pintu itu, ingin hati kembali, namun ego menahannya, ia harus bisa melawan gejolak yang membuat hati semakin lemah.

Ditengah dilema, suara operator di balik speaker menghenyakkan pikirannya. Pesawatnya fly lima menit lagi dan semua penumpang diminta untuk bersiap. Harapnya pupus ketika tidak menemukan seseorang di pintu masuk. Sepersekian detik ia meyakinkan diri jika akan ada orang yang sudi memberinya salam perpisahan, namun kenyataannya nihil, tidak ada lagi harapan di sana. Dihembuskan nafas penuh kecewa. Mungkin memang orang itu tidak ingin menemuinya lagi. Baiklah, ia harus bisa menerima semua meski ada yang mengganjal sebelum melihat wajahnya.

Dengan rasa berkecamuk, dilangkahkan kaki menjemput masa depan. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, lebih tepatnya hati menyuruhnya berhenti dan memutar tubuh mengikuti naluri. Benar saja, di hadapannya sudah berdiri sosok yang sangat ia tunggu. Deandra, Deandra benar-benar ada di hadapannya sekarang. Gadis itu berlari menghampiri dan langsung merengkuhnya erat.

“Jangan pergi, gue mohon, jangan tinggalin gue,” pinta Gadis itu di tengah isakan tangis. Hanif terdiam, ia hanya bisa menenangkan Deandra dengan membalas pelukannya.

“Lo udah janji selalu ada di samping gue, lo janji jagain gue, dan sekarang lo pergi gitu aja dari gue. Lo nggak peduli lagi sama gue, lo jahat, Hanif. Jahat! Lo tega sama gue.” Tangisan Deandra semakin menjadi. Ingin rasanya memaki laki-laki itu untuk menahan Hanif agar tetap tinggal.

“Ini demi kebaikan kita, Dea,” ucap Hanif  lembut menarik tubuhnya untuk menatap wajah murung Deandra yang dibasahi air mata tanpa henti.

“Kebaikan apa?” sela Deandra. “Jelas-jelas lo mau pergi dan nggak tau sampe kapan lo balik lagi. Kalo lo pergi karena kesel liat gue yang manja, gue yang semaunya sendiri, gue yang keras kepala. Gue mau berubah asal lo tetep di sini. Gue mohon, jangan tinggalin gue!”

Hanif yang tidak tahan melihat air mata yang terus mengalir deras di wajahnya kembali menarik tubuh Deandra ke dalam dekapannya. Kenapa harus sesakit ini untuk meninggalkannya? Kenapa harus ada air mata mengiringi kepergiannya? Jauh di lubuk hati, sebenarnya ia juga tidak ingin meninggalkan sahabatnya, tidak ingin jauh darinya.

Maafin gue, gue terpaksa ngelakuin ini. Gue harap lo bisa ngerti, bisik Hanif dalam hati.

“Jangan pergi!” pinta Deandra lagi penuh harap. Namun, Hanif tidak bisa berbuat banyak.

“Lo akan baik-baik aja, lo pasti baik-baik aja tanpa gue. Ada Ray yang akan jagain lo, gue pergi bukan karena gue nggak peduli sama lo. Tapi kepergian gue untuk kebahagiaan kita. Lo, gue, juga Ray.”

Sebenarnya Deandra tidak mengerti arah ucapan Hanif yang membuatnya bingung. Namun ia tidak ingin bertanya, yang ia ingin hanya menahan Hanif, hanya itu. Dengan sesenggukan yang masih tersisa, Deandra menarik tubuhnya menatap wajah yang akan menghilang dari pandangannya beberapa menit lagi. Kenapa Hanif terlihat baik-baik saja di detik-detik terakhir? Belum cukupkah air mata yang ia keluarkan untuknya? Apakah permohonannya tidak bisa menyentuh hatinya? Deandra berpikiran seperti itu tanpa tahu yang sebenarnya dirasakan oleh Hanif.

“Jaga diri lo baik-baik,” pinta Hanif menggenggam erat jemari sahabatnya. Sudah saatnya ia harus pergi. Kakinya melangkah mundur perlahan, hingga tautan jari mereka terlepas. Dibalikkan tubuhnya membelakangi Deandra yang tak kuasa menahan tangis atas kepergiannya. Tidak, ia harus kuat meski sesak di dadanya semakin menjadi. Untuk pertama kalinya, air mata jatuh dari pelupuk matanya. Ia segera menghapus jejak kelemahan itu, ia tidak ingin terlihat lemah. Ia harus bisa. Tidak ingin menoleh lagi meski Deandra terus memanggil namanya.   

“Maafkan aku,” lirihnya sambil terus melangkah semakin jauh meninggalkan Deandra yang berdiri dengan tangis tanpa henti.

***

Deandra menatap punggung Hanif nanar. Kesal karena tidak bisa menahan lelaki itu untuk tetap tinggal. Untuk ketiga kali, ia harus ditinggalkan orang yang berarti dalam hidupnya. Bian, Satya, dan sekarang Hanif. Akankah ini terus berulang? Tidak bolehkah ia merasakan kasih sayang dari orang di sekelilingnya? Tidak adil, kenapa semesta selalu mengambil apa yang bisa membuatnya bahagia? Ia meratapi diri yang semakin tak berarti tanpa Hanif, Hanif yang selalu ada untuknya, Hanif yang menjadi orang pertama yang menghiburnya di kala sedih, Hanif yang melindungi dari apa pun, Hanif segalanya bagi Deandra. Kenapa dia harus pergi? Kenapa?

“De!” seru Ray dari belakang yang baru sampai mengejar Deandra dan harus berurusan dengan penjaga pintu masuk.

Deandra memutar tubuhnya dan langsung memeluk tubuh Ray, ia butuh sandaran untuk tetap bertahan. Menumpahkan kekesalan, kesedihan, kemarahan dalam dekapan Ray. Saat ini hanya Ray yang dia punya. Setelah semua ini, ia tidak mau kehialangan lagi, tidak ingin.

Sementara Ray, dia tahu bagaimana perasaan kekasihnya saat ini. Dipeluknya Deandra menyalurkan kekuatan untuk gadis itu.

“Dia pergi, Ray. Dia pergi,” ucap Deandra meremas baju Ray meluapkan emosi. Tidak peduli pakaian Ray basah karenanya, ia hanya ingin menangis, itu saja.

Ray mengusap kepala Deandra untuk menenangkan. Matanya tertuju pada Hanif yang siap menghilang di balik pintu. Laki-laki itu menatap ke arahnya, melambaikan tangan seolah mengucapkan salam perpisahan, dan percaya atau tidak, mata itu seolah mengatakan sesuatu, memintanya untuk menjaga Deandra. Ray mengangguk pelan menyanggupi.

Setelah Hanif tidak terlihat lagi, Ray mengajak Deandra yang sudah tidak sehisteris tadi untuk pulang. Ia tidak bisa melihat kekasihnya kacau seperti ini. Ia berjanji akan selalu menjaganya, bukan karena Hanif, ia berjanji untuk dirinya sendiri.

***

Setelah mengantar Deandra pulang, Ray langsung izin untuk pulang juga. Ia memberi waktu pada Deandra untuk menenangkan diri. Suasana hatinya sedang kacau, hanya dengan terus bersamanya gadis itu tidak akan menjadi lebih baik, dia hanya butuh waktu.

Sementara Deandra segera masuk ke dalam rumah, menenggelamkan diri pada ruangan kecil dengan bergelung di atas tempat tidur, menumpahkan air mata kesedihan di sana, meluapkan segala emosi yang membuatnya kacau.

Namun, belum sempat Deandra masuk ke dalam kamar, Yessy memberi tahu jika ada kiriman paket untuknya yang diletakkan di meja belajar. Setelah mengiyakan, Deandra segera masuk dan mencari paket yang dimaksud Yessy.

Sebenarnya ia malas untuk mencari tahu isinya dan dari mana, ia hanya ingin mengadu pada tentang perasaannya saat ini. Tapi rasa penasaran memenangkan tubuhnya. Diambilnya kotak coklat berukuran sedang itu lalu membukanya di tempat tidur.

Terdapat boneka panda yang terlihat begitu menggemaskan, ia juga mendapati bunga tulip berwarna ungu, bunga kesukaannya, tapi dalam keadaan layu bahkan hampir mengering. Diperhatikan kedua benda ditangannya bergantian. Apa maksudnya? Ia mencari petunjuk lagi yang mungkin masih tertinggal dalam kotak. Dan benar saja, ada sepucuk surat di sana. Diambilnya kertas itu dan membaca tiap katanya untuk mengetahui siapa pengirim dan apa maksud dari boneka juga bunga kering itu.

Aku Hanya Ingin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang