15. Diajak Nikah?

255 27 0
                                    

Secangkir teh di tangan dan lamunan dari wajah Adira terlihat jelas. Sesekali dia melirik ke arah ibunya yang duduk di atas kasur. Adira menghela napas sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

Mardina hanya terdiam sambil menunggu jawaban sang anaknya. Adira kembali melirik ke arah Ibunya, dan mulai menarik napas dengan panjang.

"Rara nggak kenal sama orang tadi, Bu." Itulah kata pertama yang keluar dari mulut Adira. Adira saat itu duduk di samping kasur Ibunya hanya bisa menatap dengan pandangan mempercayainya. Namun, Mardina hanya diam sambil melihat putri sulungnya.

"Iya. Rara ingat kalau dia yang nolong Rara, trus nggak sengaja ketemu di rumah sakit ini. Rara aja baru tahu namanya sekarang." Mardina hanya diam mendengar penjelasan Adira.

Adira menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mulai melanjutkan pembicarannya. "Dia nolongin Rara waktu dikepung preman-preman. Rara nggak sengaja lihat Abang dipukul lagi karena nggak bisa bayar hutangnya ke preman-preman itu, dan Abang lihat Rara. Abang minta uang ke Rara, tapi nggak Rara kasih. Jadi, Rara milih lari dari malah dikejar. Kayaknya, hutang Abang menjadi-jadi," jelas Adira sambil tertunduk menggenggam erat cangkir ditangannya.

Mardina langsung mengambil cangkir di tangan Adira dan menaruhnya di nakas, lalu menggenggam tangan putrinya itu dengan erat sambil menitikkan air mata.

"Ibu tahu kalau selama ini kamu marah, kesal saat melihat Abang kamu seperti ini. Maafin Ibu ya sayang, karena ibu kamu harus seperti ini. Maafin Ibu," tangis Mardina.

"Rara nggak pernah sedikit pun berpikir Ibu salah. Ibu selalu baik, Ibu selalu benar di mata Rara. Sudah nangisnya Bu, nanti cantiknya Ibu pindah ke Rara," goda Adira menenangkan Ibunya. Mardina hanya tertawa kecil mendengar Adira.

Mardina mengusap air matanya sembari membelai Adira. "Putri kecilnya Ibu sudah besar ya. Sampai Ibu terkejut kalo mau nikah," balas goda Mardina sembari tersenyum.

Adira yang mendengar itu langsung memasang wajah kesal dan berkata, "Jangan dengerin omongan orang nggak dikenal, Bu."

Mardina tertawa dan kembali menggoda Adira.

"Dia serius sama kamu. Gimana?"

"Bu, mana ada anak gadis kesayangan Ibu harus dilamar di rumah sakit?"

"Tapi kamu mau nggak sama si... Az..."

"Azzam."

"Iya, Azzam."

"Nggak Bu, Rara nggak mau nikah dulu sebelum cita-cita Rara tercapai."

"Jangan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan, Ra. Pikirkan baik-baik. Ibu lihat dia anak yang baik, sopan juga."

"Iya Bu."

***

Adira berjalan keluar rumah sakit dengan mengenakan hoddie dan celana jeans dan sepatu. Dia mulai menuju cafe yang tak jauh dari rumah sakit. Terlihat dari kaca cafe ada dua orang wanita yang seumuran dengannya sedang duduk asyik saling mengobrol. Dia langsung mengetuk kaca jendela dan dua wanita itu melambaikan tangan mereka ke arah Adira.

Adira masuk ke cafe dan mulai menuju tempat dua sahabatnya itu. Adira berdiri di depan meja dua sahabatnya itu dan tangannya langsung di tarik Fira dengan cepat dan langsung mematap Adira. Begitu juga dengan Dinda dia langsung Adira tanpa beraloh pandangan.

Seorang pelayan menghampiri meja mereka untuk menanyakan pesanan Adira. Pelayan itu ingin memberikan menu ke Adira. Namun dua sahabatnya itu langsung menyambar tanpa meminta izin ke pemilik pesanan.

"Coklat latte panas satu," sambar Fira dan Dinda. Pelayan itu hanya mengangguk dan menulis pesanannya dan langsung pergi.

"Kalian kenapa sih?" tanya Adira heran.

"Kenapa balik nanya sih? Seharusnya kita yang nanya," jawab Dinda.

"Tau nih, nggak ada petir di siang bolong kok ada lo ngasih tau kita lo diajak nikah?" tanya Fira dengan kesal.

"Memangnya harus menunggu ada petir siang hari baru ngasih tau?" sahut Dinda.

"Nggak gitu juga kali Din," jawab Fira.

Sebelum pertemuan mereka di cafe, Adira memberitahu dua sahabatnya itu kalau dia dilamar seorang pria yang menolong dia dan membiayai rumah sakit Ibunya. Bukan perempuan namanya yang kalau tidak bertanya tanpa spasi saat berita yang mengejutkan bagi mereka.

"Gue yang dilamar aja masih serasa mimpi," ucap Adira sambil tertawa canggung.

"Lo habis syuting drama?" tanya Fira sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Helaan napas Adira terdengar jelas. Dia menaruh kepalanya di atas meja sambil menatap dengan tatapan kosong. Tak lama, pesanan Adira sampai di meja mereka.

"Satu coklat latte," ucap pelayan itu menaruh di meja mereka. Adira hanya mengangguk pelan dan langsung menghabiskan minumannya.

"Astagfirullah Dir, panas minumannya Dir," ucap Dinda yang khawatir saat melihat Adira langsung menghabiskan coklat lattenya.

"Masih kurang panas Din sama otaknya yang bingung dapat lucky or unlucky," sahut Fira.

"Gue masih nggak bingung sama jalan pikiran tuh om-om. Baru ketemu beberapa kali aja udah ngajak nikah. Gue aja baru ngasih tau nama gue hari ini. Walau sebelumnya kayaknya dia tau nama gue dari temennya itu," ucap Adira.

"Lo kenal sama temennya?" tanya Dinda.

"Iya. Gue kenal sama temennya duluan daripada dia. Kenal saling ngobrol aja gitu, sampai-sampai nyokap lo ngira temennya itu pacar gue," jawab Adira.

"Daebak. Jinja? Wah... Wah... Pasti temennya suka sama lo sampai dia mau ketemu sama nyokap lo. Trus si om-om itu malah ngelamar lo duluan. Trus si temennya itu malah berusaha ngalah ngilangin perasaan dia ke lo biar si om-om itu bisa sama lo," tukas Fira sambil tepuk tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ngawur," sahut Adira.

"Akibat terlalu banyak nonton drama," anggukan Dinda dengan wajah masamnya.

"Lah trus gimana?" tanya Fira.

"Yang pasti gue nggak nikah sama dia," tegas Adira.

"Anyway, si om-om itu tua ya? Trus, si temennya otomatis tua juga dong?" tanya Dinda.

"Nggak tua sih, cuma gue aja manggil dia om. Malah kata dia juga sih tuaan temannya dia itu, temannya itu dia anggap kayak kakak dia," jawab Adira.

"Seriusan?" tanya Fira heran.

"Iya. Mungkin sekitar umur 23 trus si temennya itu 25," Adira mengangguk mengiyakan Fira.

"Kok bisa sih?" tanya balik Fira.

"Mungkin muka sama umur mereka ketukar kali," tawa Dinda.

"Hahaha... Bisa jadi tuh," tawa Adira.

"Oh iya, gimana lo di terima nggak di tempat kerjaan lo yang baru?" tanya Dinda dengan antusias.

"Heh? Kerja? Dimana lo kerja Dir? Kok gue nggak tau sih? Kok kalian nggak cerita sih? Ih kalian gitu," tanya Fira dengan kecepatan maksimal.

"Apa sih Fir? Kan gue udah cerita kalo gue rekomendasiin pekerjaan di butiknya tante Alya," sahut Dinda.

"Oh. Kirain ada pekerjaan lain lagi."

"Gimana?" tanya kembali Dinda.

"Di terima dong, lusa bakal kerja disana gue." Adira tersenyum ke arah dua sahabatnya itu. Sorokan dari kedua sahabatnya itu memenuhi cafe tersebut yang membuat seisi orang yang ada di cafe melihat ke arah mereka.

Sadar akan banyak mata tertuju mereka, mereka memelankan sorakan mereka sambil tertawa kecil.

🍒🍒🍒
23:43

Adira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang