"Demi Dewa. Lo kenal sama nih murid baru?" Adalah Devina, orang yang langsung bertanya demikian begitu ia kembali berpapasan dengan siswi baru—yang rupanya tengah menjadi perbincangan murid satu sekolah—sepulang menimba ilmu.
"Ya kenal." Qila menjawab, sedikit ragu melanjutkan.
Lalu ketika si gadis pusat perhatian tengah berkenalan dan mencoba untuk berbincang akrab dengan Laras dan Devina, Qila hanya memperhatikan. Remaja putri ini adalah tipikal perempuan ideal yang sesungguhnya. Perpaduan kebaikan Laras, kecantikan Rara, serta kepintaran Devina tergabung dalam satu sosok yang mungkin sudah mengalahkan kesempurnaan putri dalam kisah film Disney.
Qila tak merasa iri. Keindahan yang ada dalam diri remaja putri itu tentu sudah menjadi ketentuan Tuhan. Sehingga, salah satu makhluk sepertinya, tidak punya kuasa untuk membenci hal yang demikian.
Namun, ada hal yang mengganggunya; kemunculan si murid baru sekarang.
Dari percakapan keduanya kala istirahat tadi, dapat ia ketahui jika gadis itu sudah merencanakan pindah sedari bulan lalu, tetapi baru terlaksana minggu ini. Mereka dulu yang pernah bermain bersama, kemudian bertemu begitu sudah remaja, tetap tak membuat kesan berbeda dari sikap yang ditunjukkan teman masa kecilnya tersebut.
Jika sedikit mundur ke belakang, Qila sudah pasti akan dengan senang hati menyambut teman baiknya kala bertemu. Mereka pernah sangat dekat sebelum ini. Hanya saja, manusia terlalu cepat berubah. Keadaan sudah tak sama lagi.
Qila—entah mengapa—tak terlalu menyukai kedatangannya sekarang. Seperti yang pernah ia katakan sebelumnya, ia bukan tokoh baik layaknya pemeran utama pada cerita lain. Kini, benaknya bertanya-tanya, mengapa gadis itu harus muncul di tempat yang sama dengannya? Mengapa takdir membawa gadis itu pindah ke sekolah ini?
"Woy, ngelamun aja lo."
Panggilan keras Devina menarik kembali kesadaran Qila. Ia menatap ketiga remaja putri yang ternyata kini tengah menatap ke arahnya. "Kenapa?"
"Ngelamunin apa, Qil?" Laras kemudian bertanya. Gadis itu menatapnya dengan penasaran.
"Mikirin pacar kesayangan ya lo?" Devina menyahut kembali. "Cowok mulu yang ada di pikiran lo."
Ini Devina tidak mengaca atau bagaimana, ya? Sudah jelas gadis itu juga melakukan hal yang sama terhadap abangnya, sedang sekarang ia dengan sengaja saja pura-pura menjadi manusia paling bermartabat sejagat karena ada si murid baru dengan bersikap seolah tidak peduli dengan laki-laki.
"Qila punya pacar?"
Pertanyaan si murid baru spontan mengundang perhatian ketiganya. Gadis itu memandangnya dengan tanda tanya besar yang muncul di air mukanya.
"Ya punyalah. Orang pacarnya terkenal banget samp—"
Devina belum menyelesaikan jawabannya ketika tangan Qila bergerak cepat membungkam mulut Maleficent itu. Tentu saja akibat perbuatannya tersebut, tangannya belepotan ludah korbannya. "Iyuhhh." Segera saja ia menggesek-gesekkan permukaan tangannya pada seragam Devina.
"Lo yang ngelakuin, ngapain harus ngusap ke gue?" Devina protes seraya mengusap bibirnya. Tampak sekali si Maleficent tengah kesal dengan perlakuannya barusan.
"Kamu punya pacar populer, Qil?"
Perhatian Qila kembali terarah pada si murid baru. "Y-ya, bukan pacar juga, sih." Ini kenapa ia menjadi gugup sendiri?
Perlahan mundur satu langkah, Qila menatap ketiga temannya bergantian. "Ngobrolnya lanjut kapan-kapan aja, ya. Aku pulang duluan." Sebelum benar-benar beranjak pergi meninggalkan tempat perbincangan, ia menyempatkan diri menatap Laras dan Devina bergantian. Timbul harapan dalam benaknya, mereka tak akan menyebut apapun mengenai hubungan yang tengah ia jalani dengan seorang—yang entah bagaimana bisa—secara perlahan mengambil sebuah tempat istimewa di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]
Roman pour AdolescentsJadi begini, Qila itu dianggap aneh karena mengejar hati Raka yang dikenal sebagai sosok yang ketus. Sedang Raka, cowok ganteng yang digilai banyak perempuan tersebut, tak pernah membuka hati. Maka jadilah relasi di antara mereka terasa aneh. Sampa...